Cerita KH. Idham
Chalid Ditahan Belanda
Kiai Idham muda
dikenal sangat aktif. Tahun 1945, ia tercatat sebagai Sekretaris Panitia
Kemerdekaan Daerah kota Amuntai. Pada saat ini pula, Idham didaulat menjadi
Ketua Partai Masyumi Amuntai. Kegiatannya di Masyumi lah yang akhirnya nanti
membawa Kiai Idham melanglang buana di pentas politik nasional. Ia juga pernah
tercatat sebagai anggota Persatuan Rakyat Indonesia, sebuah partai politik yang
didirikan oleh Jepang, dan menjadi Komisaris Daerah Hulu Sungai Utara dan
Selatan Serikat Muslimin Indonesia (Sermi).
Kiai Idham juga
pernah dicalonkan oleh Badan Koordinasi Partai-partai Republiken untuk menjadi
anggota Dewan Daerah Banjar untuk daerah pemilihan Amuntai Utara. Karir Idham
dalam dunia pemerintahan semakin meroket. Tahun 1950, ia diangkat menjadi
anggota parlemen sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) hingga tahun 1955
mewakili Kalimantan.
Pada tahun 1947, Kiai
Idham ikut berjuang melawan Belanda yang berupaya untuk menguasai kembali
Indonesia. Ia bergabung ke dalam Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia
Kalimantan (SOPIK). Tanggal 27 Maret 1949, Kiai Idham ditangkap tentara
Netherland Indies Civil Administration (NICA) karena dianggap yang mendalangi
SOPIK.
Tahun 1949, Kiai
Idham Chalid ditangkap Belanda saat ia bermain catur dengan temannya.
Sebagaimana yang tertera dalam buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid:
Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, ia dituduh melakukan penghasutan
kepada masyarakat agar melawan Belanda. Lalu kemudian, ia dipenjara dalam
sebuah sel tahanan yang hanya ada di seorang. Di dalam penjara, ia
mengalami berbagai macam penyiksaan. Mulai dari ditendang tubuhnya, disetrum,
hingga disuruh minum cairan yang mengakibatkan matanya buta untuk beberapa
saat. Akibat dari penyiksaan tersebut, tulang punggungnya bengkok dan
seringkali terasa sakit saat ia memasuki usia senja.
Di dalam penjara itu
juga, ia juga melihat Belanda yang melakukan penyiksaan kepada tahanan lainnya
tanpa ampunan. Bahkan, suatu ketika ia pernah melihat ada seorang tahanan
perempuan yang disiksa Belanda hingga sampai terkencing-kencing.
Selama 40 hari berada
dalam sel tahanan, ia tidak hanya diperkenankan memakai celana pendek dan tidak
memakai baju. Ini menjadi pukulan telak baginya karena ia juga memiliki
kewajiban untuk melakukan salat.
Sebetulnya, Kiai
Idham adalah anggota Dewan Banjar menjelang terbentuknya Republik Indonesia
Serikat (RIS) ketika ia di tahan Belanda tersebut. Selain Kiai Idham, ada dr.
D.S Diapari dan Hasan Basri yang juga menjadi angota dewan mewakili Kalimantan.
Atas jasa-jasa Kiai
Idham, Pemerintah melalui Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November
2011 mengangkat Kiai Idham menjadi Pahlawan Nasional. Ia merupakan putera
Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Pangeran Antasari
dan Hasan Basry. Dan kini, foto Kiai Idham juga menghiasi pecahan mata uang
Rupiah 5.000. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar