Mbah Ngis dan Kepatuhannya kepada Kedua Orang
Tua
Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat
1994)—biasa dipanggil Mbah Ngis—pernah mengungkapkan bahwa kepatuhannya kepada
kedua orang tua melebihi kepatuhan anak-anaknya sendiri kepada beliau. Mbah
Ngis tentu tidak bermaksud menyombongkan diri ataupun pamer, tetapi sekadar
bercerita berdasarkan pengamatannya bahwa tingkat kepatuhan anak-anak Mbah
Ngis kepada kedua orang tuanya masih jauh dari standar beliau.
Mbah Ngis kemudian menceritakan salah satu
kepatuhan beliau terhadap Mbah Abdul Mannan. Setiap kali dipanggil terutama
oleh Mbah Abdul Mannan Putri, Mbah Ngis selalu bergegas menjawabnya. Dalam
keadaan apa pun, Mbah Ngis akan tergopoh-gopoh menghadap ibundanya begitu
mendengar namanya dipanggil. Meski sedang shalat (sunnah), Mbah Ngis
segera menjawab panggilan itu dengan langsung melepas mukena dan membatalkan
shalatnya seraya mengatakan,“Inggih Mbok, wonten dhawuh punapa?” (Iya Ibu, saya
siap, ada perintah apa?)
Menurut Mbah Ngis, sikap seperti itu
didasarkan pada pemahaman beliau terhadap hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan At-Tirmidzi berbunyi:
رِضَا
اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدَيْنِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ
Artinya: “Ridha Allah ada pada ridha kedua
orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua.”
Selain hadits di atas, Mbah Ngis juga
merujuk pada hadits lain yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasaai, Ibn Majah dan
Al-Hakim berbunyi:
الْجَنَّة
تَحْت أَقْدَام الْأُمَّهَات
Artinya: “Surga berada di bawah telapak kaki
ibu.”
Jadi masalahnya Mbah Ngis sangat takut kalau
tidak mendapat ridha kedua orang tua sebab hal itu berarti tidak mendapat
ridha dari Allah SWT. Tanpa ridha kedua orang tua berarti menjadi anak durhaka
dengan neraka sebagai tempatnya kelak di akherat. Mbah Ngis memang sangat takut
terhadap neraka sehingga dalam situasi tertentu gambaran neraka bisa terbayang
sedemikian rupa seolah nyata di pelupuk mata.
Hal itu dapat terlihat ketika Mbah Ngis
bercerita tentang dosa dan neraka, Mbah Ngis terkadang menutup wajah dengan
kedua telapak tangannya karena serasa “melihat” bara api yang sangat besar.
Dilatar belakangi pengalaman seperti itu, Mbah Ngis berulang kali
mengatakan semua dosa anaknya yang berjumlah 13 orang dimaafkan semuanya karena
sebagai ibu Mbah Ngis mengaku tidak akan tega anak-anak yang telah dilahirkannya
dengan taruhan nyawa dibakar di neraka karena durhaka.
Contoh kepatuhan lain adalah Mbah Ngis
dilarang belajar naik sepeda oleh Mbah Abdul Mannan Kakung. Mbah Ngis menurut
saja. Kata Mbah Ngis, dengan mengutip ayahandanya itu, “Perempuan tidak baik pethakilan.”
Larangan semacam ini cukup umum untuk beberapa kalangan pada dekade 1950.
Akibatnya Mbah Ngis kemana saja berjalan kaki meski jarak yang harus
ditempuh cukup jauh. Mbah Ngis tidak mengeluhkan hal itu karena meyakini
sebagai bagian dari kepatuhan kepada orang tua.
Mbah Ngis juga tidak bisa membaca dan menulis
huruf-huruf abjad karena tidak pernah disekolahkan. Hal ini berbeda
dengan saudara-saudara Mbah Ngis, baik laki-laki maupun perempuan yang
kesemuanya mendapatkan kesempatan sekolah dan mondok di pesantren lain. Mbah
Ngis tidak pernah memprotes atas perlakuan berbeda ini sebab beliau
ikhlas dipertahankan tinggal di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga, mengasuh adik-adik dan membantu kedua orang tua bekerja.
Namun demikian, Mbah Ngis bisa berhitung,
membaca dan menulis huruf-huruf Al-Qur’an dengan bimbingan langsung dari Mbah
Abdul Mannan dan Mbah Umar sebagai abang. Mbah Ngis fasih dan lanyah membaca Al
Qur’an meski bukan seorang hafidzah. Mbah Ngis memiliki Kitab Al-Barzanji yang
ditulis tangan sendiri. Khat atau tulisan Arab Mbah Ngis tidak kalah dan bahkan
lebih baik dari pada beberapa dari saudara-saudara Mbah Ngis.
Akhirya, sungguhpun Mbah Ngis sangat patuh
terhadap kedua orang tua terutama ibundanya, Mbah Ngis mengaku tidak sanggup
untuk mufaraqah dengan Mbah Dullah hanya karena persoalan ekonomi. Mbah Ngis
sangat meyakini sungguhpun Allah SWT membolehkan perceraian, tapi Allah sangat
tidak menyukainya. Cinta dan kepatuhan Mbah Ngis kepada Allah SWT di atas
segala cinta dan kepatuhan kepada siapapun dan apapun. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar