Ketika Ahmad bin Khudriya Kedatangan Pencuri
Dalam Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar
mencatat salah satu kisah sufi besar dari Balkh. Di kitab itu diceritakan:
أن
سارقا دخل بيته, ودار في أطرفه, ولم يجد شيئًا فَأراد أن يخرج فقال له أحمد: يا
فتي, خذ الدلوَ واستق الماء من البئر وتوضّأ واشتغل بالصلاة وقف هنا, فإن رزقني
الله تعالي شيئا أعطيك لئلا تخرج من عندنا محروما. ففعل السارق ما أمر به الشيخ,
ففي الغد جاء رجل وأتي بمئة دينار, ووضعه بين يدي الشيخ, فقال الشيخ للسارق: حذ
هذا, فإنه جزاء لصلاتك ليلة واحدة. فظهرت للسارق حالة عجيبة, ووقعت رجفة علي
أعضائه وشرع في البكاء, وقال: أخطأت الطريق لأنّي عملت لله تعالي ليلة واحدة
فأكرمني بهذا. فتاب ورجع إلي الله تعالي ببركة حسن خلق أحمد.
Ada pencuri masuk di rumah Imam Ahmad bin
Khudriya. Ia mencari ke setiap sudut rumah tapi tidak dapat menemukan apa-apa.
Ia memutuskan pergi meninggalkan rumah (dengan kecewa), kemudian Imam Ahmad
berkata kepadanya:
“Wahai pemuda, ambillah ember dan timbalah
air dari sumur. Berwudulah, lalu laksanakan shalat. Tinggallah di sini. Jika
Allah memberikan rizki kepadaku, akan kuberikan kepadamu, agar kau tidak keluar
dari rumahku dengan tangan hampa.”
Pencuri itu mengikuti saran Imam Ahmad bin
Khudriya. Di pagi harinya, datang seorang laki-laki membawa seratus dinar dan
memberikannya kepada Imam Ahmad. Kemudian Imam Ahmad bin Khudriya berkata
kepada pencuri itu:
“Ambillah ini. Sesungguhnya, ini adalah upah
untuk shalatmu malam tadi.”
Pencuri itu terkejut kagum. Tubuhnya bergetar
dan air matanya tumpah. Ia berucap:
“Aku telah mengambil jalan yang salah. Aku
hanya bekerja satu malam untuk Tuhan, dan Tuhan memuliakanku dengan ini.”
Pencuri muda itu bertaubat dan kembali ke
jalan Allah berkat kehalusan pekerti Imam Ahmad bin Khudriya rahimahu Allah.
(Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad
al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm
372).
Orang-orang shalih adalah orang-orang yang
menyembah Tuhan dengan cita rasa tinggi. Cita rasa yang hadir dari penyisihan
kelalaian (ghaflah) dalam mengingat dan menghadirkanNya di hati dan gerak
kehidupan. Dengan menyisihkan lalai, manusia selalu teringat tujuan Tuhan
mengutus nabiNya, “makarim al-akhlaq” atau “mashalih al-akhlaq”, yang keduanya
bermakna hampir sama, “menyempurnakan kemuliaan akhlak” dan “memperindah
kebaikan akhlak.” Selama manusia menggenggam teguh hal itu, dimanapun dan kapanpun
Ia berada, tujuan diutusnya Nabi Muhammad akan selalu membaur dalam
kehidupannya.
Ketika seseorang telah sampai pada keluhuran
pekerti, Ia tidak akan takut pada apapun. Kepasrahan adalah jalan hidupnya.
Seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Khudriya (145-240 H), Ia tidak takut
pencuri itu akan menyakitinya. Ia memutuskan keluar dan menyapanya, merasa
bersalah karena tidak bisa memberikan apa-apa pada pencuri muda itu (orang yang
membutuhkan).
Kemudian, tanpa keraguan sedikit pun, Ia
menyuruh pencuri muda itu mengambil wudlu dan shalat, memintanya tinggal di
rumahnya hingga Ia mendapatkan rizki untuk diberikan kepadanya. Seorang tamu
yang membutuhkan, tidak layak pulang tanpa membawa apa-apa.
Apa yang dilakukan Imam Ahmad, bukan hal
mudah. Perbuatannya mengandung banyak arah kebaikan. Yang pertama, tidak dapat
membantu orang yang membutuhkan adalah bercak hitam bagi keluhuran pekerti. Ia
sering mengatakan: “man khadama al-fuqara’ ukrima bi tsalatsah al-asya’a, bi
al-tawadlu’ wa husn al-adab wa sakhawah al-nafs—orang yang melayani orang-orang
miskin pasti dimuliakan dengan tiga hal: ketawadluan, kebagusan pekerti dan
kemurahan hati.” (Ibnu Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya, Kairo: Maktaba al-Khaniji,
1994, hlm 37). Andai Ia gagal memuliakan pencuri yang membutuhkan itu, ia akan
kehilangan tiga kemuliaan tersebut.
Kedua, menjanjikan pemberian dengan syarat
tertentu,membuat pencuri itu merasakan ibadah di saat menanti anugerah. Apa
yang dilakukannya berdasarkan kalkulasi yang jelas. Ia yakin betul akan
mendapatkan rizki dari Allah, jika tidak hari ini, masih ada besok dan besoknya
lagi.
Dengan membiarkannya tinggal di rumahnya,
pemuda itu mendapatkan makanan darinya, melihat kehidupannya, dengan syarat Ia
menjalankan shalat seperti yang diperintahkan Imam Ahmad. Hal ini mempermudah
pemuda itu dalam membuka hatinya, menjamu kehadiran hidayah dari yang Maha
Suci, Allah SWT.
Ketiga, tanpa rasa berat sedikit pun, Imam
Ahmad bin Khudriya memberikan semua uangnya, seratus dinar. Hal ini membuat
pencuri muda itu kaget sekaligus terharu. Tubuhnya gemetar dan air matanya
mengalir deras. Wajah Imam Ahmad yang menampakkan keberlepasannya terhadap
harta benda menjadi pembuka bagi keharuan pencuri itu.
Ditambah pemilihan bahasanya yang menarik,
dengan mengatakan: “Ambillah ini. Sesungguhnya, ini adalah upah untuk shalatmu
malam tadi.”Dengan kalimat itu, Imam Ahmad hendak memberikan pelajaran bahwa
menyembah Tuhan adalah kenikmatan tiada tara, melebihi dunia beserta isinya,
apalagi sekedar uang seratus dinar.
Pendekatan akhlak dalam menyentuh hati
seseorang mengalahkan berbagai macam pendekatan lainnya, termasuk mengalahkan
pendekatan mukjizat. Banyak nabi yang dianugerahi mukjizat luar biasa tapi
keberhasilan dakwahnya tidak seperti Nabi Muhammad Saw, seorang nabi yang
jarang menampakkan keajaiban mukjizat, tapi menampilkan akhlak mulia yang sukar
disanggah oleh suara hati.
Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin
Khudriya dalam menjalani kehidupannya, yaitu meneladani Nabi Muhammad Saw.
Dan,kisah di atas adalah bukti keluhuran pekertinya. Karena itu, wajar saja
jika Fariduddin Attar memandang taubatnya pencuri itu oleh sebab, “bi barakati
husn khuluq Ahmad—berkat kehalusan pekerti Ahmad bin Khudriya.” Pertanyaannya
adalah, sudahkah kita memperhalus budi pekerti kita? Wallahu a’lam... []
Muhammad Afiq Zahara, Alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar