Selasa, 10 Juli 2018

(Tokoh of the Day) Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athas, Pekalongan - Jawa Tengah


Mengenang Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas Pekalongan


Komplek pemakaman Sapuro Pekalongan yang terletak di Kelurahan Sapuro Kebulen Kecamatan Pekalongan Barat, sekitar 200 meter dari jalan utama Pekalongan hampir dipastikan setiap harinya tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang dari berbagai penjuru kota di Tanah Air.

Puluhan kendaraan rombongan peziarah yang menggunakan bis selalu memadati area parkir yang tersedia di sekitar komplek pemakaman seorang ulama besar yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas.

Meski tidak termasuk ulama yang tercantum dalam kelompok Walisongo, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athas tercatat sebagai seorang ulama besar yang membawa pengaruh terhadap perkembangan agama Islam di kawasan Pantura Barat.

Maka dapat dipastikan setiap rombongan wisata ziarah walisongo, makam Habib Ahmad selalu menjadi tujuan peziarah yang akan menuju Makam Sunan Gunung Jati Cirebon atau menuju makam Sunan Kalijogo Demak.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athas dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman pada tahun 1255 H. Pada masa kecilnya, beliau mendapat didikan langsung dari orang tuanya beliau adalah Al-Habib Abdullah bin Thalib al-Aththas dan asy-Syarifah Zaenah Binti Ahmad AlKaf dalam bidang agama. 

Setelah dirasakan cukup menimba ilmu dari ayahnya, beliau kemudian meneruskan menuntut ilmu kepada para ulama besar yang ada di Hadramaut. 

Setelah ditempa oleh para ulama besar bahkan para Quthb yang ada di Hadramaut saat itu, keinginan beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus. Hasrat beliau untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehingga untuk itu beliau kemudian melakukan perjalanan ke kota Makkah. 

Beliau banyak menjumpai ulama-ulama besar yang tinggal di kota Makkah saat itu. Kesempatan baik ini tak beliau sia-siakan. Beliau berguru kepada mereka. 

Habib Ahmad dengan giat dan tekun mengambil ilmu dari mereka. Sehingga tak terasa sudah 12 tahun beliau jalani untuk menimba ilmu disana. Beliau terus mengembangkan keilmuannya, sehingga kapasitas beliau sebagai seorang ulama diakui oleh para ulama kota Makkah saat itu.

Beliau kemudian dianjurkan oleh guru beliau, As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk memulai terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah. 

Mula-mula beliau berdakwah di pinggiran kota Makkah. Beliau tinggal disana selama 7 tahun. Dalam kurun waktu itu, kegiatan dakwah selalu aktif beliau lakukan disana.

Kemudian beliau berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan dakwah beliau ke Indonesia. Beliau sampai di sini diperkirakan sekitar tahun 1295-1300 H. Setibanya beliau di Indonesia, beliau menuju ke kota Pekalongan dan menetap di sana.

Di kota Pekalongan beliau selalu aktif meneruskan kegiatan-kegiatan dakwahnya. Beliau tidak ambil pusing dengan urusan-urusan duniawi. Semua fikrah beliau semata ditujukan untuk kepentingan dakwah.  Waktu beliau selalu terisi dengan dakwah, ibadah, dzikir kepada Allah dan rajin membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Selain itu, ilmu beliau selalu tampak bercahaya, terpancar melalui akhlak beliau yang mulia. 

Beliau selalu berperilaku baik, penyayang dan lemah lembut terhadap sesama. Akan tetapi itupun tidak meniadakan sikap beliau yang selalu ber-nahi mungkar. Jika beliau melihat seseorang yang melakukan  suatu kemungkaran, beliau tidak segan-segan untuk menegurnya. 

Perkataan-perkataan yang keluar dari mulut beliau, selalu beliau ucapkan dengan shiddiq. Beliau tidak perduli terhadap siapapun jika ada hak-hak Allah yang dilanggar di hadapan beliau. Sehingga berkat beliau, izzul Islam wal Muslimin tampak terang benderang, menyinari kota Pekalongan.

Di samping itu, dari sebagian jasa-jasa baik beliau, beliau membangun beberapa masjid dan madrasah Salafiyah, yang berjalan pada thariqah para Salaf beliau yang shaleh. Rumah beliau selalu penuh dengan tamu dan beliau sambut dengan ramah-tamah. Inilah akhlak beliau yang mensuri-tauladani akhlak dan perilaku Datuk-Datuk beliau.

Dalam amaliyah keseharian, sebagaimana yang ditulis dalam kitab “Taj Al-A’ras” karya al-Habib al-Quthb Ali Bin Husein al-Aththas diceritakan, Habib Ahmad tidak pernah meninggalkan sholat tahajud setiap harinya dan di dalamnya selalu membaca satu juz Al Qur’an dan satu juz lagi dibaca saat sholat dhuha. 

Membaca ratib yang disusun Habib Umar Bin Abdurrahman Alatas dan membaca wirid karangan habib Abdullah Al Haddad adalah pekerjaan setiap pagi dan sore Habib Ahmad.

Rumah almarhum sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan, juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. 

Habib Bagir sendiri merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad, seminggu sebelum acara khaul.

Sehari menjelang khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari, salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada murid-muridnya selama almarhum hidup. 

Imam Bukhari, yang lahir di Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama 16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring hadits itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya. 

Ketelitiannya dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.

Pada puncak acara khaul, yang berlangsung setiap tanggal 14 Sya'ban, dibacakan manakib atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. 

Ia dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama, ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal lainnya.

Kemudian, ia menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota Suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini Dahlan. 

Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang memiliki banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri maupun negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai dari Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan, Madura, dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh ulama Betawi akhir abad ke-19.

Di antara murid atau orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi, pengarang kitab-kitab kuning. Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.

Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.

Setelah tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping untuk berdagang juga menyebarkan agama.

Setibanya di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah hatinya untuk menetap di kota tersebut.  Saat pertama menginjakkan kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun dan memperluas masjid tersebut.

Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Alquran dan kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Diba’i, Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu, sehingga semakin marak jama’ah Masjid Wakaf sejak kehadiran Habib Ahmad. 

Beliau juga dikenal sebagai hafidh (penghapal Alquran). Ilmu Habib Ahmad memang sangat luas, namun ilmu itu bukan sekedar dikuasai dan tidak diamalkan. 

Selain diamalkan, Habib Ahmad tidak pernah menyombongkan ilmunya, melainkan selalu tampil dengan rendah hati, suka bergaul, jujur, sabar, istiqomah dan disiplin dalam menjalankan agama.

Melihat suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. 

Madrasah ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian berkembang di kota-kota lain.

Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.

Kendati demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, Beliau tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang meremehkan soal agama, seperti menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. 

Menurut Habib Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran, tidak peduli yang melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.

Sebagai contoh disebutkan, para wanita tidak akan berani lalu lalang di depan kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala bila lewat di tempat kediamannya. 

Pernah seorang isteri residen Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. 

Bahkan, setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.

Keberaniannya dalam menindak yang munkar itu, rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. 

”Saya heran dengan Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi,” kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang ulama dari Hadramaut.

Sikap inilah yang membuatnya menjadi tokoh yang diperhitungkan. Sebaliknya, beliau menangis bila mengingat bahwa kelak kita akan menjadi penghuni kubur. Sebab umur kita pendek, dan hidup di dunia ini lebih banyak tipuan. 

Beliau juga dikenal sebagai orang yang luas ilmunya, sehingga menguasai permasalahan yang ada di masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, beliau sangat sopan dan dicintai banyak orang. Beliau memberikan teladan, sangat kuat amalannya, baik yang wajib maupun yang sunah.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas dikenal dengan keketatannya pada kaidah pakaian wanita muslim. Orang-orang di kota Pekalongan tahu betul akan hal itu, dan para wanitanya tidak pernah berani berjalan di antara rumahnya dan masjid tanpa menutupi tubuhnya secara ketat.

Pada suatu hari, seorang wanita asing berpakaian impor, yang tampaknya tak memahami keadaan, berjalan di lokasi itu tanpa menutup kepala. Ia berpapasan dengan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, dan tiba-tiba sang sufi memukul wanita itu dengan tongkatnya.

Bagi Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, itu merupakan kewajiban yang harus beliau lakukan.

Orang-orang mengerumuni wanita itu dan menjelaskan situasinya, meminta ia melupakan kejadian itu. Namun, wanita tersebut mengadukan hal itu ke kantor polisi yang di kepalai seorang Belanda. 

Kepala polisi memerintahkan para pembantu polisi Jawa yang muslim untuk menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Mereka tahu betul siapa Sufi tersebut, dan memilih menolak perintah kepala polisi Belanda itu.

Si kepala polisi menjadi tertarik dan pergi ke rumah Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas sendiri. Namun ia kembali dan tidak melakukan apapun.

“Pada mulanya saya mau menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Tapi saya melihat dua ekor Harimau berada di sebelah kanan dan kirinya.” Kata kepala polisi kepada anak buahnya.

Beliau dikenal sebagai orang yang sangat wara dan zuhud. Beliau terpelihara dengan peliharaan yang agung, terjaga dengan penjagaan yang sempurna, sehingga tidak masuk pada dirinya sesuatu yang dapat mengotorinya. 

Jika akan datang sesuatu itu kepadanya, beliau mendapatkan penjelasan-penjelasan ilahiyah, mengetahuinya atau diberi tahu baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Demi kehati-hatian pula beliau tak mau menerima sesuatu dari seseorang kecuali dari orang yang baik pergaulannya dan benar niatnya. 

Selama bertahun-tahun beliau tinggal dalam kehidupan yang susah, memakan makanan yang sangat sederhana dan tidak ingin bersenang-senang menikmati kehidupan kecuali sekedar untuk menopang kebutuhan hidup. 

Suatu ketika beliau menitipkan uang dalam jumlah yang besar kepada seseorang, kemudian uang itu hilang semuanya, ketika diberi tahu beliau hanya tertawa sedikitpun tidak menunjukkan perubahan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kejadian itu. 

Beliau juga tidak suka bergurau baik dalam perbuatan maupun ucapan dan selalu menghindari gurauan dalam semua majelisnya, sehingga yang ada di dalam majelisnya hanyalah kesungguh-sungguhan. Aib orang tidak pernah disebut dalam majelisnya, dan tidak ada pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, majelisnya sepenuhnya merupakan majelis ilmu, petunjuk, dzikir, peringatan, dan da’wah. 

Hatinya yang jernih membuatnya diberikan anugerah dapat memberitakan hal-hal yang ghaib. Beliau memiliki karamah-karamah yang besar yang menguatkan usahanya yang mulia untuk meraih keridhoan Allah SWT, namun beliau tidak mau membicarakannya sedikit pun. 

Pada suatu hari karena suatu urusan seorang pencintanya dimasukan ke penjara, kemudian beliau diberi tahu, ‘fulan pencinta Habib ditahan, semoga Allah membebaskannya.” Mendengar itu beliau berkata,’hari ini ia akan makan siang bersama kita!”. Ketika jamuan makan siang dihidangkan hari itu, ternyata pencintanya itu benar-benar datang, makan siang bersama mereka karena telah bebas dari penjara. 

Orang mengenal beliau sebagai sosok yang bagus ahklaknya, mulia perangainya, penyayang, dan belas kasih kepada sesama. Beliau orang yang baik dalam bersahabat, menyenangkan dalam bergaul dan tidak mengerjakan atau mengucapkan sesuatu kecuali yang diizinkan oleh syara’. 

Namun apabila larangan-larangan Allah dilanggar beliau sangat marah dan marahnya belum reda sampai beliau dapat mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. 

Beliau adalah seorang yang adil, tidak melampaui batas, mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, beliau tidak lalai dari hak orang terhadap dirinya, tetapi toleran dalam hak-hak dirinya dan menggugurkannya dari orang lain dan tidak memandang bahwa dirinya memiliki hak terhadap orang lain. 

Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan pengajian.

Ketika telah sempurna waktu yang dibatasi baginya dalam kehidupan dunia dan telah sampai puncak keinginan, beliau pun rindu pada alam malakut yang tertinggi, beliau menderita demam. Ketika berada dalam sakitnya beliau tenggelam dalam arus lautan ma'rifattullah, 

terkadang beliau mengatakan “Ash-shalah ash-shalah (shalat,shalat), dekatkanlah air wudhuku.”Itu berlangsung selama 20 hari 20 malam, hingga ruhnya berpisah dengan jasadnya yang suci pada malam ahad tanggal 24 Rajab tahun 1347 Hijriyah (6 januari 1929) Inna lillahi wa ilaihi raji’un, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kota Pekalongan. 

Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri puluhan ribu orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Masyarakat berbondong-bondong mengiringi kepergian beliau menghadap Allah. Derai keharuan sangat terasa, membawa suasana syahdu. 

Selang setahun kepergian beliau, untuk menghidupkan kembali kesuri-tauladan dan mengenang jasa-jasa baik beliau, setiap tahun di kota tersebut diadakan Haul beliau. Haul tersebut banyak dihadiri oleh berbagai kalangan umat Islam. Mereka berduyun-duyun dari berbagai kota hadir disana, demi mengenang kehidupan beliau, demi menjemput datangnya nafaahat dan imdaadat. Radhiyallahu anhu wa ardhah. []

(Muiz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar