Mengenang Habib Ahmad
bin Abdullah bin Thalib al-Atthas Pekalongan
Komplek pemakaman
Sapuro Pekalongan yang terletak di Kelurahan Sapuro Kebulen Kecamatan
Pekalongan Barat, sekitar 200 meter dari jalan utama Pekalongan hampir
dipastikan setiap harinya tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang dari
berbagai penjuru kota di Tanah Air.
Puluhan kendaraan
rombongan peziarah yang menggunakan bis selalu memadati area parkir yang
tersedia di sekitar komplek pemakaman seorang ulama besar yakni Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib al-Atthas.
Meski tidak termasuk
ulama yang tercantum dalam kelompok Walisongo, Habib Ahmad bin Abdullah bin
Thalib al-Athas tercatat sebagai seorang ulama besar yang membawa pengaruh
terhadap perkembangan agama Islam di kawasan Pantura Barat.
Maka dapat dipastikan
setiap rombongan wisata ziarah walisongo, makam Habib Ahmad selalu menjadi
tujuan peziarah yang akan menuju Makam Sunan Gunung Jati Cirebon atau menuju
makam Sunan Kalijogo Demak.
Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib al-Athas dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman pada
tahun 1255 H. Pada masa kecilnya, beliau mendapat didikan langsung dari orang
tuanya beliau adalah Al-Habib Abdullah bin Thalib al-Aththas dan asy-Syarifah
Zaenah Binti Ahmad AlKaf dalam bidang agama.
Setelah dirasakan
cukup menimba ilmu dari ayahnya, beliau kemudian meneruskan menuntut ilmu
kepada para ulama besar yang ada di Hadramaut.
Setelah ditempa oleh
para ulama besar bahkan para Quthb yang ada di Hadramaut saat itu, keinginan
beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus. Hasrat beliau
untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehingga untuk itu beliau kemudian
melakukan perjalanan ke kota Makkah.
Beliau banyak
menjumpai ulama-ulama besar yang tinggal di kota Makkah saat itu. Kesempatan
baik ini tak beliau sia-siakan. Beliau berguru kepada mereka.
Habib Ahmad dengan
giat dan tekun mengambil ilmu dari mereka. Sehingga tak terasa sudah 12 tahun
beliau jalani untuk menimba ilmu disana. Beliau terus mengembangkan
keilmuannya, sehingga kapasitas beliau sebagai seorang ulama diakui oleh para
ulama kota Makkah saat itu.
Beliau kemudian
dianjurkan oleh guru beliau, As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk
memulai terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Mula-mula beliau
berdakwah di pinggiran kota Makkah. Beliau tinggal disana selama 7 tahun. Dalam
kurun waktu itu, kegiatan dakwah selalu aktif beliau lakukan disana.
Kemudian beliau
berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan dakwah beliau ke Indonesia. Beliau
sampai di sini diperkirakan sekitar tahun 1295-1300 H. Setibanya beliau di
Indonesia, beliau menuju ke kota Pekalongan dan menetap di sana.
Di kota Pekalongan
beliau selalu aktif meneruskan kegiatan-kegiatan dakwahnya. Beliau tidak ambil
pusing dengan urusan-urusan duniawi. Semua fikrah beliau semata ditujukan untuk
kepentingan dakwah. Waktu beliau selalu terisi dengan dakwah, ibadah,
dzikir kepada Allah dan rajin membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Selain itu,
ilmu beliau selalu tampak bercahaya, terpancar melalui akhlak beliau yang
mulia.
Beliau selalu
berperilaku baik, penyayang dan lemah lembut terhadap sesama. Akan tetapi
itupun tidak meniadakan sikap beliau yang selalu ber-nahi mungkar. Jika beliau
melihat seseorang yang melakukan suatu kemungkaran, beliau tidak
segan-segan untuk menegurnya.
Perkataan-perkataan
yang keluar dari mulut beliau, selalu beliau ucapkan dengan shiddiq. Beliau
tidak perduli terhadap siapapun jika ada hak-hak Allah yang dilanggar di
hadapan beliau. Sehingga berkat beliau, izzul Islam wal Muslimin tampak terang
benderang, menyinari kota Pekalongan.
Di samping itu, dari
sebagian jasa-jasa baik beliau, beliau membangun beberapa masjid dan madrasah
Salafiyah, yang berjalan pada thariqah para Salaf beliau yang shaleh. Rumah
beliau selalu penuh dengan tamu dan beliau sambut dengan ramah-tamah. Inilah
akhlak beliau yang mensuri-tauladani akhlak dan perilaku Datuk-Datuk beliau.
Dalam amaliyah
keseharian, sebagaimana yang ditulis dalam kitab “Taj Al-A’ras” karya al-Habib
al-Quthb Ali Bin Husein al-Aththas diceritakan, Habib Ahmad tidak pernah
meninggalkan sholat tahajud setiap harinya dan di dalamnya selalu membaca satu
juz Al Qur’an dan satu juz lagi dibaca saat sholat dhuha.
Membaca ratib yang
disusun Habib Umar Bin Abdurrahman Alatas dan membaca wirid karangan habib
Abdullah Al Haddad adalah pekerjaan setiap pagi dan sore Habib Ahmad.
Rumah almarhum
sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian
depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan, juga menampung
ratusan para jamaah dari luar kota.
Habib Bagir sendiri
merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib Ahmad bin
Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad, seminggu sebelum acara khaul.
Sehari menjelang
khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih
Bukhari, salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada
murid-muridnya selama almarhum hidup.
Imam Bukhari, yang
lahir di Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama
16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring hadits
itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya.
Ketelitiannya dalam
periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits belakangan menempatkan kitab
Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang
muktabar.
Pada puncak acara
khaul, yang berlangsung setiap tanggal 14 Sya'ban, dibacakan manakib atau
riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas.
Ia dilahirkan di kota
Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai
Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama, ia melanjutkan menuntut ilmu
kepada para pakar dan ulama terkenal lainnya.
Kemudian, ia menimba
ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan
tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota Suci itu, namun guru
yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi
Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini Dahlan.
Yang belakangan ini,
adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang memiliki banyak murid dan santrinya.
Baik dari Mekah sendiri maupun negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh
ulama dan kiai dari Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan,
Madura, dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan
kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh ulama
Betawi akhir abad ke-19.
Di antara murid atau
orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani,
seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi, pengarang kitab-kitab kuning. Di
antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di
Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.
Setelah usai dan
lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara
mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu ditugaskan untuk berdakwah dan
mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran Nabi ini, ia dicintai dan dihormati
segala lapisan masyarakat, karena berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.
Setelah tujuh tahun
mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa
lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke
Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut
ke Indonesia, di samping untuk berdagang juga menyebarkan agama.
Setibanya di
Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilainya
masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah hatinya untuk
menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kakinya di kota ini,
ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab
(kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun dan memperluas masjid tersebut.
Di samping menjadi
imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Alquran dan kitab-kitab
Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Diba’i, Barjanzi, wirid dan
hizib di waktu-waktu tertentu, sehingga semakin marak jama’ah Masjid Wakaf
sejak kehadiran Habib Ahmad.
Beliau juga dikenal
sebagai hafidh (penghapal Alquran). Ilmu Habib Ahmad memang sangat luas, namun
ilmu itu bukan sekedar dikuasai dan tidak diamalkan.
Selain diamalkan,
Habib Ahmad tidak pernah menyombongkan ilmunya, melainkan selalu tampil dengan
rendah hati, suka bergaul, jujur, sabar, istiqomah dan disiplin dalam
menjalankan agama.
Melihat suasana
pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak
untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya berseberangan dengan Masjid
Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak
menghasilkan ulama-ulama.
Madrasah ini, yang
didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan
perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian berkembang di kota-kota
lain.
Menurut sejumlah
orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka yang hidup
pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu),
suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.
Kendati demikian,
kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, Beliau tidak dapat mentolerir terhadap
hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang meremehkan soal agama, seperti
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurut Habib Bagir,
kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang tegas-tegas menentang setiap
melihat kemungkaran, tidak peduli yang melakukannya itu orang awam atau pejabat
tinggi.
Sebagai contoh
disebutkan, para wanita tidak akan berani lalu lalang di depan kediamannya
tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli wanita Muslim, maupun
wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala bila lewat di tempat
kediamannya.
Pernah seorang isteri
residen Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan
tutup kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini
sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan.
Bahkan, setiap perayaan
yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai perempatan selatan
sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak dibunyikan karena akan melewati
rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap perjudian dan perzinahan, sehingga
hampir tidak ada yang berani melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.
Keberaniannya dalam
menindak yang munkar itu, rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di
Hadramaut.
”Saya heran dengan
Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat Islam di negeri asing,
negeri jajahan lagi,” kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang ulama dari
Hadramaut.
Sikap inilah yang
membuatnya menjadi tokoh yang diperhitungkan. Sebaliknya, beliau menangis bila
mengingat bahwa kelak kita akan menjadi penghuni kubur. Sebab umur kita pendek,
dan hidup di dunia ini lebih banyak tipuan.
Beliau juga dikenal
sebagai orang yang luas ilmunya, sehingga menguasai permasalahan yang ada di
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, beliau sangat sopan dan dicintai
banyak orang. Beliau memberikan teladan, sangat kuat amalannya, baik yang wajib
maupun yang sunah.
Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Al-Atthas dikenal dengan keketatannya pada kaidah pakaian
wanita muslim. Orang-orang di kota Pekalongan tahu betul akan hal itu, dan para
wanitanya tidak pernah berani berjalan di antara rumahnya dan masjid tanpa
menutupi tubuhnya secara ketat.
Pada suatu hari,
seorang wanita asing berpakaian impor, yang tampaknya tak memahami keadaan,
berjalan di lokasi itu tanpa menutup kepala. Ia berpapasan dengan Habib Ahmad
bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, dan tiba-tiba sang sufi memukul wanita itu
dengan tongkatnya.
Bagi Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Al-Atthas, itu merupakan kewajiban yang harus beliau
lakukan.
Orang-orang
mengerumuni wanita itu dan menjelaskan situasinya, meminta ia melupakan
kejadian itu. Namun, wanita tersebut mengadukan hal itu ke kantor polisi yang
di kepalai seorang Belanda.
Kepala polisi
memerintahkan para pembantu polisi Jawa yang muslim untuk menangkap Habib Ahmad
bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Mereka tahu betul siapa Sufi tersebut, dan
memilih menolak perintah kepala polisi Belanda itu.
Si kepala polisi
menjadi tertarik dan pergi ke rumah Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib
Al-Atthas sendiri. Namun ia kembali dan tidak melakukan apapun.
“Pada mulanya saya
mau menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Tapi saya melihat
dua ekor Harimau berada di sebelah kanan dan kirinya.” Kata kepala polisi
kepada anak buahnya.
Beliau dikenal
sebagai orang yang sangat wara dan zuhud. Beliau terpelihara dengan peliharaan
yang agung, terjaga dengan penjagaan yang sempurna, sehingga tidak masuk pada
dirinya sesuatu yang dapat mengotorinya.
Jika akan datang
sesuatu itu kepadanya, beliau mendapatkan penjelasan-penjelasan ilahiyah,
mengetahuinya atau diberi tahu baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Demi
kehati-hatian pula beliau tak mau menerima sesuatu dari seseorang kecuali dari
orang yang baik pergaulannya dan benar niatnya.
Selama bertahun-tahun
beliau tinggal dalam kehidupan yang susah, memakan makanan yang sangat
sederhana dan tidak ingin bersenang-senang menikmati kehidupan kecuali sekedar
untuk menopang kebutuhan hidup.
Suatu ketika beliau
menitipkan uang dalam jumlah yang besar kepada seseorang, kemudian uang itu
hilang semuanya, ketika diberi tahu beliau hanya tertawa sedikitpun tidak
menunjukkan perubahan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kejadian
itu.
Beliau juga tidak
suka bergurau baik dalam perbuatan maupun ucapan dan selalu menghindari gurauan
dalam semua majelisnya, sehingga yang ada di dalam majelisnya hanyalah
kesungguh-sungguhan. Aib orang tidak pernah disebut dalam majelisnya, dan tidak
ada pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, majelisnya sepenuhnya merupakan
majelis ilmu, petunjuk, dzikir, peringatan, dan da’wah.
Hatinya yang jernih
membuatnya diberikan anugerah dapat memberitakan hal-hal yang ghaib. Beliau
memiliki karamah-karamah yang besar yang menguatkan usahanya yang mulia untuk
meraih keridhoan Allah SWT, namun beliau tidak mau membicarakannya sedikit
pun.
Pada suatu hari
karena suatu urusan seorang pencintanya dimasukan ke penjara, kemudian beliau
diberi tahu, ‘fulan pencinta Habib ditahan, semoga Allah membebaskannya.”
Mendengar itu beliau berkata,’hari ini ia akan makan siang bersama kita!”.
Ketika jamuan makan siang dihidangkan hari itu, ternyata pencintanya itu
benar-benar datang, makan siang bersama mereka karena telah bebas dari
penjara.
Orang mengenal beliau
sebagai sosok yang bagus ahklaknya, mulia perangainya, penyayang, dan belas
kasih kepada sesama. Beliau orang yang baik dalam bersahabat, menyenangkan
dalam bergaul dan tidak mengerjakan atau mengucapkan sesuatu kecuali yang
diizinkan oleh syara’.
Namun apabila
larangan-larangan Allah dilanggar beliau sangat marah dan marahnya belum reda
sampai beliau dapat mengubah kemungkaran itu dengan tangannya.
Beliau adalah seorang
yang adil, tidak melampaui batas, mengetahui hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, beliau tidak lalai dari hak orang terhadap dirinya,
tetapi toleran dalam hak-hak dirinya dan menggugurkannya dari orang lain dan
tidak memandang bahwa dirinya memiliki hak terhadap orang lain.
Habib Ahmad yang
kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl Surabaya, pada akhir
hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh, hingga
tidak dapat berjalan. Sejak itu ia mengalihkan kegiatannya di kediamannya,
termasuk shalat berjamaah dan pengajian.
Ketika telah sempurna
waktu yang dibatasi baginya dalam kehidupan dunia dan telah sampai puncak
keinginan, beliau pun rindu pada alam malakut yang tertinggi, beliau menderita
demam. Ketika berada dalam sakitnya beliau tenggelam dalam arus lautan
ma'rifattullah,
terkadang beliau
mengatakan “Ash-shalah ash-shalah (shalat,shalat), dekatkanlah air
wudhuku.”Itu berlangsung selama 20 hari 20 malam, hingga ruhnya berpisah dengan
jasadnya yang suci pada malam ahad tanggal 24 Rajab tahun 1347 Hijriyah (6
januari 1929) Inna lillahi wa ilaihi raji’un, dalam usia 92 tahun, dan
dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kota Pekalongan.
Namun peringatan
khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam
Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri puluhan ribu orang, tidak jarang dari
luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Masyarakat
berbondong-bondong mengiringi kepergian beliau menghadap Allah. Derai keharuan
sangat terasa, membawa suasana syahdu.
Selang setahun
kepergian beliau, untuk menghidupkan kembali kesuri-tauladan dan mengenang
jasa-jasa baik beliau, setiap tahun di kota tersebut diadakan Haul beliau. Haul
tersebut banyak dihadiri oleh berbagai kalangan umat Islam. Mereka
berduyun-duyun dari berbagai kota hadir disana, demi mengenang kehidupan
beliau, demi menjemput datangnya nafaahat dan imdaadat. Radhiyallahu
anhu wa ardhah. []
(Muiz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar