Ketika Guru Tarekat Tolak Temui KH Hasyim
Asy’ari
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
kitabnya At-Tibyân fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arhâm wal Aqârib wal Ikhwân bercerita:
Sungguh, aku pernah melihat dengan dua mata
kepalaku sendiri. Ada orang alim, cendekia dalam bidang agama. Ia begitu tekun
beribadah. Kehidupan malamnya diselimuti ibadah. Sedang siangnya, ia jalani
dengan berpuasa.
Orang satu ini tak pernah berbicara kecuali
saat darurat. Hanya saat terpaksa saja ia mau berbicara. Haji sudah berulang
kali ditunaikan. Hingga ulama ini sudah menjadi guru thariqah Al
Naqsyabandiyah.
Waktu yang dimiliki, sebagian ia habiskan
untuk uzlah, menjauh dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Ia tak pernah
keluar rumah kecuali dalam rangka shalat jamaah dan mengajar dzikir kepada
masyarakat.
Anehnya, orang ini, saat sampai di masjid,
justru malah marah-marah kepada segenap hadirin dengan deraian kalimat kotor
yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia segera bergegas, beranjak kembali pulang
ke rumahnya dengan segera.
Suatu saat, ia kedatangan tamu menteri,
meminta doa kiai ini supaya kehidupan Pak Menteri menjadi enak. Sejumlah uang
diberikan, dan diterima kiai ini dengan baik, disambut penuh keakraban, lembut
serta penuh kedekatan.
Beberapa hari setelah itu, aku datangi
rumahnya. Aku berdiri tepat di depan rumah yang ia singgahi. Berdiri sangat
lama. Ku panggil ia berulang kali, tak kunjung mendapat jawaban. Hingga ada
seorang wanita keluar dari dalam rumah menyapaku dari balik daun pintu.
“Saudaramu tak berkenan keluar menemui siapa
pun,” kata wanita ini mengutarakan, bahwa orang yang hendak kutemui memang
berada di dalam namun tak mau menemui tamunya.
“Tolong bilangkan ke dia ya. Saudaranya,
Muhammad Hasyim Asy’ari ingin menemuinya. Hendaknya ia keluar. Kalau sampai tak
mau keluar, aku akan keluarkan ia secara paksa,” begitu kataku pada wanita
tersebut.
Wanita itu menjauh dari arah aku berbicara,
lalu menyampaikan pesanku kepada pria yang ku maksud. Sejenak kemudian, kiai
ini pun datang.
“Hai Saudaraku. Aku dapat kabar, engkau itu
katanya begini, begitu?” tanyaku.
“Hal apa yang mendorong sampean melakukan
hal tersebut?”
“Begini,” pria ini mulai menjawab. Setiap
kali aku melihat manusia, yang tampak dalam pandangan mataku, orang-orang
selalu tidak tampil dengan wajah asli mereka. Di mataku, yang terlihat, mereka
tampak seperti kera.
Kujawab laki-laki itu, “Barangkali, setan
telah menyihir pandangan kedua bola mata sampean. Ia telah menggoda hatimu,
membisiki dirimu, ‘eh, janganlah kamu keluar ke mana-mana. Biar masyarakat
yakin, kamu itu termasuk walinya Allah. Dengan itu, orang-orang akan
berbondong-bondong sowan ke rumahmu untuk meminta berkah dan membawa banyak
amplop serta barang bawaan lain’. Oleh karena itu, cobalah, aku minta engkau
renungkan ini. Aku berharap engkau segera insaf.”
Aku lantas menyitir hadits Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam yang berpesan kepada Abdullah bin Umar bin Ash
sebagai berikut:
وَاِنَّ
لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Artinya: “Sesungguhnya, tamumu mempunyai hak
yang harus kamu penuhi.”
Selain itu, Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam juga berpesan:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”
Selang beberapa hari, orang ini datang ke
rumah, menemuiku. Sejenak, ia kemudian berkata “Iya, Anda benar, Saudaraku.
Sekarang, aku tinggalkan aktivitas uzlah, kegiatan menyendiriku dari
kerumunan ramainya manusia. Aku melakoni hidup sebagaimana layaknya masyarakat
pada umumnya.”
Proses ini kemudian ia jalani hingga ia
meninggal dunia.
***
Cerita langsung dari pendiri Nahdlatul Ulama
ini banyak memberi pelajaran kepada kita. Di antaranya, pertama,
menyendiri dengan tidak mau bergumul bersama masyarakat luas dengan perasaan,
kita lebih baik dari orang lain, sedangkan orang di sekitar kita semuanya
buruk, tidak layak dikumpuli, merupakan tindakan yang kurang tepat.
Kedua, kita perlu
menggunakan dalil dari satu sudut pandang lain. Jika benar-benar ada orang yang
menurut kita tidak baik yang datang ke rumah, kita tidak boleh hanya mengamati
sudut ketidakbaikan orang tersebut lalu kita tidak mau menemuinya. Pakailah
dalil bahwa tamu mempunyai hak untuk dihormati sebagaimana dalam hadis di atas
tanpa pandang bulu siapa saja tamu kita.
Ketiga, pentingnya hidup
bersosial, berkumpul dengan orang banyak. Supaya kita terbiasa menyikapi
perbedaan. Orang yang tidak mau bergumul, ia akan merasa paling shalih sendiri,
ia tidak pernah melihat keshalihan-keshalihan orang lain sebab ia menutup mata
dengan tidak mau berkumpul dengan manusia.
Keempat, kita perlu waspada
atas kelebihan-kelebihan kita. Jangan-jangan itu adalah tipu daya setan yang
mengancam keberadaan kita. []
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar