Senin, 16 Juli 2018

Kang Komar: Memecah Ombak Politik


Memecah Ombak Politik
Oleh: Komaruddin Hidayat

Setelah Pilkada Serentak 2018 usai, kita sekarang diajak memasuki babak baru menghadapi Pemilu 2019. Saya ingin membuat metafora, kekuatan kelompok politik yang ikut berkompetisi dalam pemilu mendatang ini masing-masing ibarat pulau beserta penghuninya.

Tiap pulau diterpa ombak kiriman dari pulau yang lain berupa kritik dan serangan mulai dari yang lunak dan sopan sampai yang kasar. Serangan bahkan ada yang berbau fitnah dan pembunuhan karakter yang bertujuan melemahkan lawan.

Ada lagi serangan yang menggunakan jargon dan retorika keagamaan yang melibatkan figur dan massa keagamaan. Semakin mendekati bulan dan hari pemilu, hantaman ombak itu mungkin akan membesar dan destruktif.

Adalah hal yang lumrah saja sesungguhnya setiap menjelang kontestasi dan pertandingan bola, misalnya, para suporter dan penjudi menjadi gaduh saling ejek. Suporter tim masing-masing  mengelu-elukan jagonya dan memandang remeh kelompok lawan. Begitu pun dalam pemilu, suasana batin masyarakat menjadi heboh karena siapa pun yang menang kontestasi, kebijakannya nanti akan memengaruhi hajat hidup orang banyak.

Belakangan ini kehebohan yang mengemuka bukannya mengupas kualitas teknokratik dan leadership para calon, melainkan citra dan afiliasi ideologi keagamaan masing-masing. Implikasinya para calon lalu terdorong membangun citra bahwa dirinya sangat dekat dengan jajaran para ulama.

Mereka berusaha mengakomodasi tokoh-tokoh agama atau ulama dalam gerbong politiknya untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan masyarakat bahwa jagonya pro-agama atau setidaknya tidak anti-agama. Mengingat masyarakat Indonesia sangat plural dan dikenal religius, fenomena di atas wajar-wajar saja. Sangat bisa dimaklumi asalkan jangan mengorbankan kapabilitas dan kredibilitas sebagai pemimpin bangsa.

Situasi yang menonjolkan identitas keagamaan ini bisa berimplikasi pada tiga kemungkinan. Satu, konflik dan perang agama dalam medsos dan panggung politik akan mereda karena tiap kelompok kontestan didukung komunitas ulama. Tak ada alasan untuk membuat dikotomi "Partai Allah" dan "Partai Setan".

Dua, bisa saja muncul perang jargon dan ayat-ayat agama antarpendukung parpol kontestan. Sesama mereka yang mengaku ulama akan perang pernyataan semata karena beda gerbong politik. Akan muncul kampanye yang membedakan antara ulama "beneran" yang berada di jalan lurus dan ulama "palsu" yang sesat jalan.

Tiga, heboh isu agama hanya berperan sesaat dan lebih menonjol semata untuk menjaring massa pendukung sehingga melupakan kapabilitas jagonya dalam hal manajemen, kepemimpinan, dan kemampuan teknokratik untuk membangun bangsa. Pendeknya, sentimen "kesamaan iman" bisa menggeser kapabilitas dan integritas jagonya.

Dari ketiga kemungkinan itu, semoga saja kondisi sosial-politik berjalan dinamis, tetapi tetap damai. Kalaupun terjadi riak-riak gelombang yang menghantam bibir pantai, kekuatannya tidak besar yang bisa membuat porak-poranda bangunan yang ada.

Dengan tersebarnya ulama di semua kekuatan politik, posisi ulama itu bagaikan batu besar di pantai yang mampu memecah ombak besar sebelum menghantam daratan. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat secara ideologis semua parpol itu hampir mirip.

Parpol yang dahulunya berada di ujung kanan dan di ujung kiri semuanya bergeser ke tengah. Tak lagi relevan memperhadapkan antara Islam dan Pancasila, antara nasionalisme dan Islamisme.

Pengalaman pilkada serentak yang lalu juga mengindikasikan bahwa koalisi antarparpol itu bersifat sangat cair. Tak berlaku lagi ideologi aliran yang konsisten dari pusat sampai ke daerah.
Koalisi lebih didasarkan pada kalkulasi pragmatik untung rugi pada wilayah masing-masing, bukannya berdasarkan platform ideologi. Ini semua semoga akan membuat ketegangan politik tidak berlangsung mengeras. []

KORAN SINDO, 13 Juli 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar