Jumat, 13 Juli 2018

BamSoet: Hasil Pilkada Tak Linier dengan Pilpres


Hasil Pilkada Tak Linier dengan Pilpres
Oleh: Bambang Soesatyo

Baru saja kita telah sukses melaksanakan Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018 lalu. Tahun 2018 dan 2019 dapat dikatakan sebagai "Tahun Politik", karena perhelatan pemilu dilaksanakan secara serentak, sejak Pilkada hingga Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden pada 2019 yang akan datang. Pemilu 2019 bahkan akan menjadi pemilu pertama di Indonesia dimana Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dilaksanakan secara serentak. Tentunya ini akan menjadi sejarah demokrasi yang penting di negeri ini.

Pasca Pilkada Serentak 2018, banyak wacana yang menganalisis, membahas, dan mengira-ngira terkait bagaimana arah koalisi parpol pada Pemilu 2019. Sebelum Pilkada Serentak 2018 dilaksanakan, banyak yang memperkirakan bahwa hasil dari pilkada ini akan dapat memetakan atau setidaknya menggambarkan secara umum bagaimana kira-kira bentuk koalisi parpol dalam Pemilu 2019, terutama pada Pemilihan Presiden.

Pada kenyataannya, hasil Pilkada Serentak 2018 banyak yang mengejutkan publik. Kandidat-kandidat yang didukung partai-partai terbesar tidak seluruhnya memenangkan arena pertarungan pilkada. Kombinasi kemenangan yang terjadi begitu "cair". Kombinasi antara dukungan parpol terhadap Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang begitu fleksibel di lapangan menunjukkan bahwa Pilkada Serentak 2018 sungguh sulit untuk dijadikan barometer bagi pelaksanaan Pemilu 2019.

Hal tersebut karena peta koalisi dalam Pilkada Serentak 2018 sangat bervariasi. Partai pemerintah dan partai oposisi banyak yang bekerja sama memasangkan calon-calon mereka. Ada yang menang, dan ada pula yang kalah. Ada calon yang didukung parpol terbesar memenangkan ajang pertarungan, tetapi itu tidak mutlak terjadi. Pilkada Serentak kali ini memang sangat unik dan kadang membingungkan masyarakat awam.

Demikianlah politik. Untuk kepentingan yang lebih luas atau lebih besar, kepentingan pribadi dan golongan harus dikesampingkan. Yang penting adalah bagaimana mengusung calon yang dipandang mampu, representatif, memiliki kapasitas dan kapabilitas unggul dalam memperjuangkan aspirasi rakyat daerah.

Dari Pilkada Serentak 2018 masyarakat dapat belajar bahwa pada pelaksanaan pilkada, partai hanyalah salah satu faktor kecil kekuatan yang menopang kekalahan atau pun kemenangan kandidat. Salah satu kekuatan penting yang menentukan kemenangan adalah siapa kandidat atau figur yang maju. Kekuatan partai belum tentu mencerminkan kekuatan kandidat secara langsung.

Selanjutnya, kita harus sadar bahwa Pilkada 2018 tidak bisa dijadikan acuan secara utuh pada peta Pilpres 2019. Level antara pilkada dan pilpres jauh berbeda. Karakter pilkada dengan pilpres berbeda, tidak linier.

Dalam pilkada pastinya dipengaruhi oleh karakteristik dan kekhasan masing-masing daerah. Kalahnya pasangan calon di daerah yang justru merupakan lumbung suara bagi partai politik pengusung paslon bersangkutan menjadi contoh faktor tersebut. Kalau pun antara hasil pilkada dan hasil pemilu yang akan datang kita paksaan saling berkorelasi, hasilnya tidak faktual.

Kepentingan politik lokal seringkali bersangkutan dengan persoalan primordial politik di masing-masing daerah. Perkawanan politik antarpartai di daerah berbeda dengan perkawanan politik partai di nasional.

Sulitnya memetakan koalisi parpol pada Pemilu 2019 jika didasarkan pada hasil dan peta koalisi parpol pada Pilkada Serentak 2018 juga didasarkan pada faktor dari sisi pemilih di Indonesia. Harus diingat bahwa perilaku pemilih di Indonesia sangat mudah berubah. Tetapi paling tidak, ada pembelajaran penting dari hasil Pilkada Serentak 2018 dalam menghadapi Pemilu 2019, baik itu Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden.

Pembelajaran itu adalah bahwa jika mengusung calon kepala daerah dari kader partai sendiri, keberhasilan kader partai terpilih sebagai kepala daerah di Pilkada 2018 ini menunjukkan mesin partai di daerah tersebut bisa diandalkan. Apalagi jika kader partai yang terpilih bukan tokoh terpopuler ataupun memiliki elektabilitas tertinggi. Jika memang tokoh yang diusungnya tidak berhasil menjadi kepala daerah, momen seperti ini berharga untuk mengevaluasi critical point yang perlu diperbaiki.

Dengan demikian, success rate tinggi di Pilkada 2018 yang diikuti hampir 80% pemilih tentu akan memunculkan kepercayaan diri bagi setiap parpol yang terlibat di dalamnya. Mereka pun bakal bisa menakar, sejauh mana kekuatan dan ketahanan mesin partai mereka dalam mengarungi pertarungan di Pileg dan Pilpres 2019. Dan, seberapa tinggi daya tawar mereka dalam berkoalisi dengan partai lain dalam memajukan calon presiden ataupun calon wakil presiden. Ini sangat penting dalam strategi politik.

Pembelajaran lainnya dari Pilkada Serentak 2018 adalah bahwa konstelasi politik nasional tidak lagi hanya tergantung kepada keputusan elite politik tingkat nasional semata. Tapi, harus pula memperhatikan dinamika dan aspirasi yang berkembang di tingkat daerah. Pilkada 2018 merupakan sarana penting, bukan sekadar memanaskan dan mengetes mesin partai, melainkan mengecek efektivitas sosok tokoh nasional dalam mengangkat elektabilitas tokoh-tokoh calon kepala daerah dan partai di daerahnya. Jika memang terbukti ampuh, barulah sosok tokoh nasional ini pantas untuk dipertimbangkan untuk melaju di kontestasi politik nasional. Jika sebaliknya, kita harapkan memberikan pentas kepada tokoh yang lebih pantas.

Kondisi tersebut merupakan momentum positif bagi demokrasi Indonesia. Semakin meluasnya spektrum sumber yang mempengaruhi pentas politik negara ke daerah, tidak lagi berpusat pada level nasional, menjadikan calon pemimpin nasional bakal lebih tanggap terhadap permasalahan di daerah-daerah. Bukan sekadar memandang dari kejauhan, melainkan mencoba memahaminya dari dekat, sebagai bekal sebelum melaju di pentas nasional.

Dan, yang paling penting, besar harapan kita tokoh-tokoh politik nasional tidak sekadar mengedepankan pragmatisme untuk kepentingan kelompok apalagi pribadi mereka. Mereka semestinya juga mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan dunia dalam menentukan calon pemimpin nasional yang mereka usung dan koalisi yang mereka bentuk. Mereka perlu memberikan contoh dalam berpolitik dengan menggunakan cara-cara beretika dan pantas, menjauhi kampanye hitam, apalagi politik uang. Karena, tanggung jawab merekalah untuk menjaga momentum positif yang kita miliki saat ini, sebagai fondasi bagi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik. []

DETIK, 12 Juli 2018
Bambang Soesatyo | Ketua DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar