Al-Qahir: Khalifah yang Menjadi Pengemis dan Dicongkel Kedua
Matanya
Oleh: Nadirsyah Hosen
Setelah Khalifah ke-18 Abbasiyah, al-Muqtadir Billah, dipenggal
kepalanya, maka dibai’atlah al-Qahir Billah sebagai Khalifah ke-19. Sayang, nasibnya
pun berakhir tragis. Siapkan diri Anda, wahai pembaca yang budiman, untuk
membaca lanjutan catatan ngaji sejarah politik Islam ini. Berat, sungguh berat
membaca kekuasaan yang ditegakkan atas nama kitab suci tapi pelaksanaannya jauh
dari maslahat.
Biasanya saya mengutip dari Imam Thabari dan Imam Suyuthi. Kali
ini, saya hendak mengawali ngaji kita dengan mengutip dari buku Prof Dr Hamka
yang berjudul Sejarah Umat
Islam. Agar jangan ada yang menuduh saya mengada-ngada atau mengira
saya sengaja menjelek-jelekkan kisah khilafah ini. Kita simak langsung apa kata
ulama besar Indonesia ini.
Buya Hamka menulis:
“Al-Qahir, sebagai gelarnya, yaitu gagah perkasa. Hebat dan
disegani orang, lagi gampang menumpahkan darah. Sayang sekali, di samping
keberaniannya, ada pula kekurangannya, yaitu loba kepada harta benda dan sangat
keras siasatnya.”
Buya Hamka, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu
melanjutkan:
“Sebaik dia mulai memerintah dengan segera disuruhnya orang
merampas harta benda perempuan gundik yang selama ini bermaharajalela di dalam
istana. Ibunya al-Muqtadir (Khalifah sebelumnya) pun tidak terkecuali dari
penggeledahan. 60 ribu dirham uang yang didapati di tangannya, padahal negeri
sedang kekurangan belanja buat tentara. Bukan main kejam hukuman yang
dijatuhkan oleh al-Qahir terhadap ibu al-Muqtadir itu. Kakinya digantungkan
sebelah dan yang sebelah lagi terlepas ke bawah, lalu disiksa dengan berbagai
macam siksaan dan mati beberapa hari kemudian.”
Para pembaca setia kolom ini tentu masih ingat saya kisahkan dalam
tulisan sebelumnya bahwa al-Qahir ini sempat memberontak, namun dimaafkan oleh
al-Muqtadir. Tapi, kemudian ketika pemberontakan yang kedua kali berhasil,
al-Qahir naik ke takhta kekuasaan, namun sama sekali tidak mau memaafkan
al-Muqtadir dan keluarganya. Malah keluarga al-Muqtadir diusir, disiksa, dan
dibunuh dengan keji.
Dan sebenarnya al-Muqtadir dan al-Qahir ini saudara satu bapak,
tapi berbeda ibu. Jadi, ibu al-Muqtadir yang disiksa dan dibunuh oleh al-Qahir,
seperti yang diceritakan Buya Hamka, itu sebenarnya merupakan ibu tiri dari
al-Qahir sendiri.
Nama lengkapnya Muhammad bin al-Mu’tadhid. Panggilannya Abu
Manshur. Gelarnya al-Qahir Billah. Menurut Imam Suyuthi, sesaat setelah
Khalifah al-Muqtadir dibunuh, Jenderal Mu’nis dan tentara menanyakan kepada
Muhammad bin al-Muktafi tentang kesiapannya menjadi khalifah. Namun, dia
menolaknya dan menganggap pamannya, yaitu al-Qahir, yang lebih berhak. Al-Qahir
yang memang sejak pemberontakan sebelumnya sudah berambisi tentu saja langsung
mengiyakan ketika ditanya kesiapannya sebagai khalifah.
Al-Qahir menjelma menjadi pemimpin yang ditakuti. Gelarnya pun
ditambah dengan al-Muntaqim
min a’da’illah (yang melakukan balas dendam kepada musuh-musuh
Allah). Gelar itu pula yang dia cantumkan pada mata uang yang dibuatnya. Dia
memerintahkan semua jenis musik dan nyanyian serta minuman keras dilarang. Dia
tangkapi para penyanyi dan menghancurkan alat musik mereka.
Namun, sayangnya, menurut Imam Suyuthi, dia sendiri pernah tidak
bisa bangun akibat mabuk minum minuman keras dan suka sekali mendengarkan jenis
nyanyian. Kelihatannya al-Qahir ini jenis pemimpin yang tidak satu antara kata
dan perbuatan. Melarang rakyatnya mabuk dan mendengarkan musik, padahal dia
sendiri melakukannya.
Ibn al-Atsir juga memberi catatan bahwa para budak yang pandai
menyanyi disuruh dijual oleh al-Qahir karena menyanyi itu haram. Namun, dia
melakukan itu karena dia sendiri yang akan membeli para budak yang sudah dijual
dengan murah tersebut. Soalnya al-Qahir sendiri menggemari nyanyian. Ibn
al-Atsir kemudian menggarisbawahi dengan kalimat “Na’udzubillah min hadzihil akhlaq” (Kita
berlindung kepada Allah dari akhlak seperti ini).
Apa kata Imam Thabari tentang al-Qahir? Tidak ada. Imam Thabari
sudah wafat pada tahun 310 Hijriah atau tahun 923 Masehi. Isi kitab Tarikh Thabari pada jilid
kesepuluh berakhir pada kisah tahun 302 Hijriah di masa Khalifah al-Muqtadir
berkuasa. Sehingga kisah khalifah berikutnya tidak bisa lagi kita rujuk dari
Tarikh thabari. Syukurlah, kitab Tarikh
al-Khulafa Imam Suyuthi, al-Bidayah
wan Nihayah karya Imam Ibn Katsir, dan lainnya seperti al-Kamil fit Tarikh karya
Ibn al-Atsir masih memberi kita informasi otentik tentang sejarah khilafah
berikutnya.
Kembali ke pemerintahan al-Qahir, Ibn katsir menceritakan bahwa
kepala rumah tangga istana (al-Hajib)
yang bernama Ali bin Bulaiq melaknat Khalifah pertama Dinasti Umayyah, yaitu
Mu’awiyah, di mimbar masjid. Rupanya kebiasaan turun temurun melaknat lawan
politik diteruskan sampai masa al-Qahir ini. Mimbar masjid menjadi sangat
politis dan isinya penuh dengan cacian terhadap lawan politik.
Di Indonesia, khalifah belum berdiri saja mimbar masjid sudah
dipakai untuk bicara politik praktis. Pantas kalau kita pun turut berucap: “Na’udzubillah min hadzihil akhlaq”.
Naiknya al-Qahir tidak terlepas dari keberhasilan pemberontakan
Jenderal Mu’nis yang berkolaborasi dengan Ibn Muqlah, sang wazir, terhadap
khalifah sebelumnya. Namun, mereka tidak senang dengan gaya kepemimpinan
al-Qahir. Menurut Imam Ibn Katsir, pendapatan mereka berkurang drastis selama
berada di bawah al-Qahir. Itu sebabnya mereka berencana untuk menurunkannya
dari posisi Khalifah. Pikir mereka, bukankah mereka yang mengangkat al-Qahir,
tentu mudah pula menurunkannya.
Ibn Muqlah dan Mu’nis, diikuti oleh Ali bin Bulaiq, menginginkan
Muhammad bin al-Muktafi yang menjadi khalifah. Sayangnya, al-Qahir mencium
rencana konspirasi ini.
Jenderal Mu’nis berhasil dengan licik ditangkap dan dibunuh atas
perintah al-Qahir. Ali bin Bulaiq dan anaknya lari. Tapi, pasukan al-Qahir
menemukan Ali bin Bulaiq dan anaknya, kemudian menyembelih mereka—kata Ibn
Katsir—seperti menyembelih kambing. Kepala mereka lantas diberikan ke anjing.
Al-Muktafi ditempatkan di dinding yang diapit dua bangunan sempit. Namun, dia
bertahan hidup. Sementara itu, Ibnu Muqlah berhasil kabur dan bersembunyi.
Karena marah, al-Qahir memerintahkan agar rumah Ibnu Muqlah dibakar habis,
begitu juga kediaman para pemberontak lainnya.
Al-Qahir berseru kepada penduduk Baghdad bahwa itulah hukuman
untuk mereka yang mengkhianati Khalifah dan membuat kerusakan di dalam negara.
Al-Qahir mungkin lupa bahwa dia pun bisa naik sebagai khalifah lewat
pemberontakan berdarah. Kok, sekarang berlagak suci? Tsumma na’udzubillah min hadzihil
akhlaq!
Yang kita saksikan mayoritas dari naik-turunnya khalifah itu lewat
pertumpahan darah. Darah yang tumpah akan dibalas dengan pertumpahan darah
berikutnya. Begitu terus. Semua dilakukan atas nama kekuasaan suci yang bernama
khilafah.
Al-Qahir juga membunuh Ibnu Ishaq bin Ismail an-Nubakhti, yang
sebelumnya mendukung kepemimpinan al-Qahir. Jadi, kalau bukan karena rebutan
kekuasaan, apa pasalnya sampai al-Qahir membunuh orang ini?
Menurut Imam Suyuthi, itu karena terjadi persaingan memperebutkan
seorang budak perempuan. Gara-gara ini kepala Ibnu ishaq dipenggal, lantas
dilempar ke dalam sumur. Luar biasa!
Kekejaman demi kekejaman ini membuat tentara mulai muak. Ibnu
Muqlah—yang dalam sejarah juga dikenal sebagai ahli kaligrafi—keluar dari
persembunyiannya dan mulai memprovokasi para tentara untuk memberontak. Mereka
berhasil mendatangi istana dan menangkap al-Qahir yang gagal melarikan diri.
Tentara kemudian membai’at Abul ‘Abbas Muhammad bin al-Muqtadir sebagai
Khalifah. Mereka memberinya gelar ar-Radhi Billah. Kemudian, al-Qahir dipaksa
untuk menyatakan pengunduran dirinya. Namun, al-Qahir ngeyel dan menolak mundur
karena merasa dia masih Khalifah yang sah.
Seorang hakim bernama Abu al-Husein mengatakan al-Qahir sudah
dimakzulkan dan wajib hukunya mengikuti Khalifah yang baru, yaitu ar-Radhi
Billah. Lantas Khalifah ke-20 Dinasti Abbasiyah ini mengatakan biar saya yang
menangani al-Qahir yang masih ngeyel.
Lalu, menurut Imam Suyuthi, sang Khalifah baru mencungkil kedua mata al-Qahir
dengan paku yang sangat panas.
Buya Hamka menceritakan akhir kekuasaan al-Qahir:
“…sedang baginda duduk di dalam istana, masuklah seperangkatan
serdadu ke dalam istana, lalu khalifah mereka tangkap dan pangkatnya
ditanggali, kemudian itu kedua matanya dicungkil sehingga kedua mata itu
tanggal dan tergantung-gantung di kedua belah pipinya. Setelah itu dikurung di
dalam satu penjara gelap di dalam istana. Kemudian itu dilepaskan pula menjadi
seorang buta yang hina, sampai mati.”
Muhamamd al-Isfahani berkata: “al-Qahir dicopot karena perilakunya
yang tercela dan tindakannya yang banyak menumpahkan darah.” Ulama lain,
ash-Shuli berkata, “al-Qahir sosok pemarah yang banyak menumpahkan darah, jelek
kelakuannya dan plin-plan dalam mengambil kebijakan, serta seorang pemabuk.”
Al-Qahir tidak dbunuh karena mungkin kematian terlalu enak buat
dia. Dibiarkanlah dia menderita dalam kebutaan. Sebelas tahun kemudian dia
sempat dilepas dari penjara, lantas menjadi pengemis di kota Baghdad, namun
kemudian kembali ditangkap dan dipenjara sampai wafat dalam kehinaan. Dia hanya
berkuasa kurang dari dua tahun—lebih lama menderita dalam penjara.
Bagaimana? Masih mau lanjut menyimak kisah khalifah berikutnya?
Tunggu sampai Jum’at berikutnya, insya
Allah. []
GEOTIMES, 09 Maret 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar