Ketika Guru Sufi
Perintahkan 7 Muridnya Sembelih Ayam
Sebagai seorang guru
tasawuf, Syekh Atho' Assilami sangat disegani oleh para muridnya. Meskipun
hanya berjumlah tujuh orang, ada saja salah satu di antaranya yang menjadi
kesayangan Syekh Atho'. Namanya Ibrahim.
Dasar maslah hati,
mau disimpan bagaimanapun kecintaan Syekh Atho' pada Ibrahim tetap terbaca oleh
keenam murid lainnya. Praktis, hal itu menimbulkan kecemburuan tersendiri di
kalangan mereka.
Syekh Atho' ternyata
menyadari hal itu. Namun, ia pun juga tak ingin menimbulkan perselisihan dengan
menjelaskan secara panjang lebar kelebihan Ibrahim dibanding teman
seperjuangannya itu. Takut jikalau itu malah tidak objektif dan terlalu
dilebih-lebihkan. Yang justru, nantinya malah akan meningkatkan rasa
kecemburuan di antara mereka, para muridnya.
Akhirnya, Syekh Atho'
pun memiliki cara yang lebih elegan. Dipanggilnya ketujuh muridnya untuk diberi
tugas. Ia berkata kepada murid-muridnya,
"Wahai anak-anakku.
Sembelihlah ayam ini, namun jangan sampai ada siapa pun yang mengetahuinya.
Siapa pun ia," perintah Syekh Atho' tegas.
Setelah kesemuanya
menerima ayam dan sebilah pisau, ketujuh muridnya lalu dipersilakan untuk
mencari tempat sesuka mereka. Tanpa pikir panjang dan tunggu lama, murid-murid
itu pun bergegas mencari lokasi yang tepat, yang tersembunyi, yang—menurut
mereka—tidak akan terlihat oleh siapa pun.
Tak selang beberapa
lama, satu per satu murid Syekh Atho' pun kembali dengan membawa ayam yang
telah terpotong lehernya. Sambil berkata congkak bahwa mereka yakin tak ada
siapa pun yang mengetahuinya.
Tetapi, setelah
sekian lama, ada salah satu murid Syekh Atho' yang tak kunjung kembali. Ya, ia
adalah Ibrahim, murid kesayagannya. Semua temannya heran, mengapa ia begitu
bodohnya mencari lokasi tersembunyi, batin teman-temannya.
Berbeda dengan Syekh
Atho', ia justru tampak tenang sekali. Ternyata, beberapa saat kemudian Ibrahim
kembali dengan ayam yang masih hidup. Tanpa pisau yang berdarah, dan ayam yang
masih juga bersih.
Syekh Atho' pun
dengan bangga lantas bertanya, "Wahai Ibrahim, mengapa ayammu masih hidup?
Bukankah aku perintahkanmu untuk menyembelihnya?"
"Maaf sang guru,
bukannya saya hendak melawan perintah Anda. Namun, saya benar-benar tak bisa
menyembelih ayam ini tanpa diketahui siapa pun. Bagaimanpun juga, saya tidak
bisa mengingkari hati nurani saya bahwa di mana pun saya berada, Allah akan
tetap melihat apa yang saya kerjakan," jawab Ibrahim dengan lugunya.
Sontak, seluruh
temannya tertunduk malu. Bagaimana mereka begitu yakin, jika tidak ada siapa
pun yang melihat perlaku mereka. Padahal sang guru telah mendidik hatinya
sedemikian rupa, agar mereka selalu menancapkan Allah dalam relung
sanubari.
Lewat kejadian itu
pun, para murid akhirnya sadar mengapa sang guru begitu sayang terhadap
Ibrahim. Dan sejurus dengan kesadaran mereka, Ibrahim lantas dipersilakan duduk
di samping gurunya itu. Sedang Syekh Atho' tanpa berkata apa pun, kembali
terpejam dan melanjutkan dzikirnya. []
Kisah ini disarikan
dari buku “Menuju Ketenangan Batin”, kumpulan karya tulis KH M Cholil Bisri
(Kompas, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar