Spirit Islam Moderat
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Bulan Mei lalu, saya jadi saksi perhelatan penting berkumpul dan
urun rembuk para tokoh agama dunia guna membangun peradaban yang lebih
bermartabat.
Acara yang diberi tajuk High Level Consultation of World Muslim
Scholars on Wasatiyyah Islam tersebut ingin kembali meneguhkan komitmen para
cendekiawan, ulama, dan tokoh Muslim dunia untuk memerangi gerakan radikalisme
dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Acara ini dihadiri lebih dari 50
negara. Grand Syaikh Al-Azhar Prof Dr Ahmad Muhammad at-Thayyib dalam pidatonya
mengatakan bahwa wasatiyyah (moderat)
itu bukan hanya bermakna menjaga keseimbangan, lebih jauh adalah menegakkan
prinsip kebenaran dan keadilan.
Selang sehari setelah pembukaan acara tersebut, di Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, Grand Syaikh Al-Azhar menekankan kembali pentingnya
perdamaian, keadilan, dan sikap moderatisme atau wasatiyyah. Dalam
kesempatan itu ada yang menarik perhatian ketika ia menyatakan, gerakan
radikalisasi dan takfirisasi, mengafir-ngafirkan orang lain, itu merupakan
kebodohan dalam memahami roh dan substansi agama. Grand Syaikh Al-Azhar dengan
tegas menolak pemahaman agama yang memonopoli kebenaran.
Berkait dengan itu, ia—mengutip Imam al-Asy’ari dalam kitab
Al-Ibanah (1985)—secara tegas mengatakan, wanadinu bian la nukaffir ahadan min ahlil qibalti
bidzanbin yartakibuhu, ’kami tidak mengafirkan siapa pun yang masih
menghadap kiblat, meski dia melakukan dosa besar, sepanjang yang bersangkutan
tak menganggap halal perbuatan-perbuatan dosa tersebut’.
Poin ini penting dan memiliki titik relevansi yang sangat tinggi
dengan kondisi keberagamaan kita hari ini, ketika gerakan yang cenderung
mengafirkan dan anti-liyan menggelinding sedemikian lajunya.
Pandangan-pandangan Grand Syaikh Al-Azhar mengingatkan kita pada
pendapat KH Ahmad Shiddiq (1987) tentang universalisme Islam. Islam memiliki
watak universal dan kosmopolit. Universalisme dan kosmopolitanisme Islam bukan
berarti bahwa Islam mengatur segala-galanya secara rigid, ketat, terperinci,
dan juga seragam. Watak universalisme Islam justru ada pada bervariasinya dalam
mengatur pelbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pandangan yang demikian universal ini, misalnya, tecermin dalam
adagium al-ibrah bi
umumil lafdzhi, la bikhususis sabab (universalitas teks,
partikularitas konteks). Artinya, ajaran Islam tersebut bisa diterapkan secara
universal. Watak universalisme Islam tersebut membuatnya jadi sejalan dengan
nilai-nilai atau kecenderungan-kecenderungan positif yang sudah ada dan sudah
langgeng sebelumnya. Watak universal Islam tersebut berkait-paut dengan tugas
utama Nabi Muhammad SAW, yakni menyempurnakan nilai-nilai positif tersebut.
Maka, Islam sesungguhnya sampai kapan pun tidak bisa
dipertentangkan dengan nilai-nilai positif yang bahkan itu bersumber dari luar
Islam sekalipun. Sebut contoh: demokrasi. Jika ada pihak yang dengan getol
mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kafir dan Pancasila sebagai dasar
negara adalah taghut,
dengan tegas kita katakan bahwa suara lantang tersebut keluar dari mereka yang
tidak memahami dengan jernih dan mendalami ajaran islam.
Negara adalah wujud persekutuan sosial dan kekuasaan yang
merupakan salah satu sarana untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diridai
oleh Allah. Oleh karena itu, Islam harus hadir sebagai instrumen penting untuk
menopang negara dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang lebih
baik.
Islam menjadi spirit yang melebur dan senyawa dengan nilai-nilai
demokrasi yang menjadi sistem bernegara. Islam juga menjadi serbuk yang merasuk
ke dalam Pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara.
Menjadi wasit
Persoalan yang sangat menarik untuk dijadikan renungan bersama bagi
kita adalah pemilihan terminologi wasatiyyah.
Jika selama ini kita cenderung mengartikannya sebagai sikap moderat, dengan
tanpa mengesampingkan makna tersebut, saya ingin mengartikannya sebagai
penengah atau wasit. Dalam konteks ini, saya meyakini bahwa Indonesia sanggup
dan mampu serta memiliki kapabilitas untuk menjadi ”wasit” dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam skala global.
Ini sangat penting dikemukakan: bahwa watak ke-wasatiyyah-an atau
moderatisme itu melekat pada subyek, dan Indonesia memiliki modal dan kemampuan
untuk itu. Wasit adalah mereka yang sudah selesai dengan kepentingan dirinya.
Wasit adalah mereka yang mementingkan keadilan dan kejernihan dalam memandang
sebuah persoalan.
Wasit adalah mereka yang tidak berat sebelah dalam memutuskan
perkara. Wasit tidak memihak pada siapa, tetapi pada apa. Dalam konteks ini,
apa yang dimaksud adalah nilai, cita-cita, dan tujuan bersama, yakni
menciptakan tatanan dunia yang penuh kesejukan dan perdamaian.
Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang, termasuk dalam
menghadapi berbagai peristiwa besar. Pengalaman sejarah itu yang ingin
dipelajari orang lain, termasuk mereka yang jauh-jauh datang dari mancanegara.
Banyak ahli tarekat ingin belajar pada pengalaman Indonesia. Demikian pula para
aktivis dan politisi dunia, termasuk dari Afghanistan, Yaman, dan Jordania,
berusaha mencoba bertukar pengalaman dan belajar bagaimana meleburkan spirit
agama guna merekatkan keutuhan bangsa.
Indonesia memang multietnis, multiagama dan ideologi, tetapi
kerukunan sosial bisa terjaga. Hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan
spiritual yang mendalam serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh bernama
Pancasila. Bandingkan dengan Timur Tengah yang relatif homogen secara agama,
bahkan etnis, tetapi mereka sulit bersatu, bahkan selalu dalam
ketegangan.
Hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos sehingga
rapuh. Tak ada sikap tawasuth (moderat), tawazun (proporsional
berimbang), dan tasamuh (toleran).
Karena itu, mereka ingin belajar kepada kita. Kita pun siap berdialog dan
bertukar pengalaman dengan mereka. Penting dikemukakan, Indonesia siap menjadi
kiblat keberislaman dan keberagamaan yang toleran, penuh kepedulian, tepa
selira, dan tenggang rasa.
Benang merah yang bisa ditarik dari penjelasan di atas adalah
bahwa karakter Islam Indonesia, atau dalam terminologi Nahdlatul Ulama
diistilahkan dengan Islam Nusantara, berwujud spirit kebangsaan dengan spirit
keberislaman dirangkum senada seirama dan sepenarikan napas. Agama—dalam
konteks ini Islam—tidak memiliki kutub yang bertentangan dengan demokrasi,
nasionalisme, dan juga kebangsaan.
Islam adalah agama yang penuh kemuliaan. Maka, bagi mereka yang
mengimplementasikan agama tidak dengan pendekatan dan cara-cara yang mulia,
bisa dipastikan mereka justru jauh dari agama. []
KOMPAS, 6 Juli 2018
A Helmy Faishal Zaini |
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar