Saat Guru Sufi Perintahkan Dua Muridnya
Angkat Unta ke Atap
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariruddin
Attar menceritakan kisah antara Abu Abdullah bin Khafif dengan dua muridnya.
Diceritakan:
أنه
كان له تلميذان، إسم أحدهما أحمد الكبير والآخر أحمد الصغير، وكان نظر الشيخ
ومحبته إلي الصغير أكثر، والأصحاب غاروا لأجل أن الكبير كان ملازما لمجلس الشيخ
مدة أكثر من الصغير، وكانت له رياضات ومجاهدات، فعلم الشيخ بغيرتهم وأراد
امتحانهم، فقال يوما لأحمد الكبير: احمل البعير الذي برك علي خانقاه، واصعد به الي
السطح، فقال: يا شيخ هل يمكن ذلك مع ثقل البعير وضعفي، قال الشيخ: فلا إذن، ثم
التفت إلي الصغير وأمره بحمل البعير علي كتفه والصعود به إلي السطح، فقام وشد وسطه
بمشد وذهب إلي البعير واجتهد في حمله غاية طاقته ووسعه، فقال الشيخ: اترك، فإن
المقصود قد حصل، ثم قال للأصحاب البتة: أنا أعلم أن الإنسان لا يقدر علي حمل
البعير، لكن الكبير قد دخل من باب الإعتراض ولإنكار ولم يقبل الأمر، والصغير شرع
في الإمتثال واجتهد مقدار وسعه، وظاهر الحال دليل علي باطنه.
Imam Ibnu Khafif mempunyai dua murid. Satu
dipanggil Ahmad al-Kabir (lebih tua) dan satunya lagi dipanggil Ahmad
al-Shaghir (lebih muda). Imam Ibnu Khafif lebih mencintai Ahmad al-Shagir.
Sahabat-sahabat Ahmad al-Kabir cemburu (iri), dengan alasan Ahmad al-Kabir
lebih lama menjadi murid Imam Ibnu Khafif, menjalankan tugas-tugasnya dengan
baik, banyak melakukan riyadlah dan mujahadah diri.
Imam Ibnu Khafif mengetahui kecemburuan
mereka dan berencana melakukan pengujian. Suatu hari Imam Ibnu Khafif berkata
kepada Ahmad al-Kabir, “Bawalah unta itu ke atap Khanqah (ribat sufi).”
Ahmad al-Kabir menjawab, “Wahai guru,
bagaimana mungkin membawa unta seberat itu ke atap Khanqah dengan tenagaku yang
lemah?”
“Jika begitu, kau tidak perlu melakukannya,”
kata Imam Ibnu Khafif.
Kemudian Ibnu Khafif beralih kepada Ahmad
al-Shaghir, memerintahkannya membawa unta dengan pundaknya naik ke atap
Khanqah. Ahmad al-Shaghir bergegas berdiri, mengikat pinggangya dan menggulung
lengan bajunya. Ia berlari menuju unta, berusaha mengangkatnya dengan
mengerahkan seluruh tenaganya. Melihat itu Imam Ibnu Khafif berkata, “Sudahlah,
cukup. Tujuan dari perintahku telah menuai hasil.”
Lalu Ibnu Khafif berkata kepada
sahabat-sahabat Ahmad al-Kabir:
“Aku sangat tahu bahwa manusia tidak akan
mampu mengangkat unta. Tapi Ahmad al-Kabir telah masuk dari pintu keberatan dan
penyangkalan, serta tidak menerima perintah yang kuberikan. Sedangkah Ahmad
al-Shaghir, dengan sigap melaksanakan perintahku dan berusaha mengangkatnya
sekuat tenaga. Apa yang ditampakkan zahirnya adalah tanda bagi keadaan
batinnya.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh
Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi,
2009,hlm 665).
****
Kisah di atas selain bercerita tentang
ketakziman seorang murid yang mematuhi gurunya, pun merupakan gambaran besar
tentang bagaimana seharusnya hubungan hamba dengan Tuhannya. Ketika berhubungan
dengan Tuhan, seorang hamba tidak perlu menanyakan motif Tuhan dalam memberikan
cobaan, memerintahkan sesuatu atau melarang sesuatu. Serahkan semuanya kepada
Tuhan. Apalagi Tuhan dengan jelas mengatakan (hadits qudsi), “Anâ ‘inda dzanni
‘abdî bî—Aku tergantung persangkaan hambaKu kepadaKu.”Hadits qudsi tersebut
memberi kita pengetahuan agar kita berhati-hati dalam mempertanyakan motif
Tuhan. Jangan sampai kita menyangka yang tidak-tidak kepadaNya.
Di sisi lain, Allah berfirman (Q.S.
al-Baqarah [2]: 286): “lâ yukallifu Allah nafsan illâ wus’aha—Allah tidak
akan membebaniseseorang di luar kemampuannya.” Ayat ini memiliki makna yang
sangat luas dan dalam. Agar tidak sampai berburuk sangka kepada Allah, kita
harus mengetahui salah satu makna ayat tersebut. Salah satu maknanya adalah,
ketika seseorang mendapatkan ujian dari Allah, artinya Allah telah percaya
dengan kemampuan orang tersebut menyelesaikannya, karena Allah tidak akan
memberikan cobaan yang melebihi kemampuan hambaNya.Persoalannya terletak pada
bagaimana kita menjaga kepercayaanNya itu.
Ahmad al-Shaghir, dalam hal ini, merupakan
contoh yang baik. Ia melaksanakan perintah gurunya tanpa keraguan sedikit pun.
Tidak peduli perintah itu masuk akal atau tidak. Dengan kecerdasannya, ia pasti
tahu mengangkat unta sebesar itu ke atap Khanqah adalah tidak mungkin. Tapi,
ketidak-mungkinan tidak mencegahnya untuk mematuhi perintah gurunya. Berbeda
dengan Ahmad al-Kabir, pengetahuannya tentang ketidak-mungkinan itu mencegahnya
untuk mematuhi perintah gurunya.
Hal ini tidak berbeda dengan Iblis yang
merasa lebih tahu dari Allah. Perasaan lebih tahu itulah yang menghalanginya
untuk mentaati perintah Allah ketika disuruh bersujud kepada Adam, selain
merasa dirinya lebih mulia. Akan tetapi, jika diamati lebih dalam, dosa
terbesar Iblis bukan kesombongan antarsesama makhluk (dirinya dengan Adam),
melainkan dosa kesombongan mempertanyakan keputusan Allah yang menetapkan Adam
lebih mulia darinya. Karena itu, ketika Iblis dinyatakan bersalah dan diusir
dari surga, ia tidak berusaha memohon ampunan Allah, malah mengancam akan
menyesatkan anak cucu Adam. Sementara Adam, ketika ia bersalah memakan buah
khuldi, ia dan Hawa langsung memohon ampunan Allah dengan mengatakan (Q.S.
al-A’raf [7]: 23):
رَبَّنَا
ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jikalau Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Oleh karena itu, kita harus meningkatkan
kepatuhan kita kepada Allah, menyerahkan segalanya kepadaNya. Menjalankan
perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kita tidak perlu mempertanyakan keputusan
Tuhan. Sebab, banyak sekali hal yang tidak ada jawabannya di dunia ini, seperti
kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita lahir, tapi kita bisa memilih
bagaimana cara kita menyikapi dan mensyukurinya. Toh, kita sudah terlanjur ada.
Berbuat kebaikan dan kebajikan merupakan manifestasi terbaik dari keberadaan
kita. Bukankah Imam Husein bin Manshur al-Hallaj pernah mengatakan:
من
عرف الحقيقة في التوحيد سقط عنه لما وكيف
“Orang yang telah mengetahui hakikat Tauhid,
akan musnah darinya pertanyaan semacam ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’.” (Abdul Karim
Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Beirut:
Darul Kutub, 2001, hlm 47).
Wallahu a’lam..
[]
Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar