Khalifah Ar-Radhi Billah: Awal Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Oleh: Nadirsyah Hosen
Inilah Khalifah ke-20 Dinasti Abbasiyah. Disebut-sebut sebagai
Khalifah Abbasiyah terakhir yang berkuasa penuh (the real khalifah). Setelah masanya,
Khalifah Abbasiyah lainnya hanya sekadar nama, tanpa kekuasaan yang nyata.
Bagaimana kisahnya? Mari kita simak bersama lanjutan ngaji sejarah politik
Islam.
Nama Khalifah Ar-Radhi Billah (934-940 M) adalah Abu Al-Abbas
Muhammad bin Al-Muqtadir bin Al-Mu’tadhid bin Thalhah bin Al-Mutawakkil. Sesaat
setelah al-Qahir, Khalifah ke-19 dipaksa turun dari jabatannya, ar-Radhi
dibai’at menjadi Khalifah, dan kemudian mencongkel kedua mata al-Qahir yang
masih ngeyel
tidak mau jabatannya hilang.
Nasib tragis dialami al-Qahir yang dipenjara dan kemudian
terlunta-lunta menjadi pengemis buta, sebelum kembali masuk penjara dan
meninggal dengan kondisi hina. Akankah nasib ar-Radhi lebih baik?
Ibnu Muqlah, mantan pejabat di masa al-Qahir, yang kemudian
memberontak dan mendukung naiknya ar-Radhi, diangkat oleh khalifah yang baru
sebagai wazir. Ibn Muqlah berperang penting dalam periode awal kekhalifahan
ar-Radhi. Menurut Imam Suyuthi, atas perintah Khalifah ar-Radhi, Ibn Muqlah
menuliskan semua kejahatan al-Qahir dan kemudian membacakannya di depan publik.
Mengapa itu dilakukan?
Ar-Radhi membutuhkan legitimasi mengapa seorang khalifah dapat
diturunkan dari posisinya. Dalam teori, khalifah hanya bisa turun kalau yang
bersangkutan meninggal. Ini dikarenakan tidak ada masa jabatan seorang khalifah
yang fiks. Khalifah berkuasa seumur hidup. Maka, ada yang menjabat hanya dalam
hitungan bulan, dan ada pula yang menjabat sampai 20 puluh tahun, tergantung
berapa lama dia bisa bertahan hidup.
Dalam kasus al-Qahir, dia tidak dibunuh, melainkan disiksa belasan
tahun hingga wafat mengenaskan. Itu sebagai bentuk balas dendam atas kekejaman
al-Qahir, yang dianggap terlalu ringan kalau dia langsung dibunuh. Karena itu,
ar-Radhi perlu menunjukkan kepada rakyat betapa jeleknya kelakuan al-Qahir
sehingga dia pantas untuk diturunkan dan kemudian dibiarkan hidup dengan
menderita. Itulah sebabnya Ibn Muqlah membacakan daftar kejelekan al-Qahir
kepada publik.
Ar-Radhi sesungguhnya mewarisi kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang
sudah tercabik di sana-sini. Praktis Khalifah hanya berkuasa di Ibu Kota
Baghdad, dan pengaruhnya sudah sangat menipis—untuk tidak mengatakan telah
habis—di berbagai provinsi. Para gubernur seakan telah menjadi penguasa
independen di wilayah mereka masing-masing.
Ibn al-Atsir pengarang kitab al-Kamil
fit Tarikh menjelaskan situasi ini saat Basrah di bawah pengaruh
Muhammad Raiq. Khazastan dan Ahwaz dikuasai Abdullah Buraidi. Iran dipimpin
oleh Ali bin Buwayh dengan gelar Imadud Daulah, sementara Kerman dikontrol oleh
Abu Ali bin Ilyas. Mosul dikuasai Muhammad bin Tafaj. Bahrain diambil alih oleh
Abu Tahir Qaramati.
Di samping itu, ada dua penguasa lain yang mengklaim sebagai
pemimpin umat Islam, yaitu Ubaydillah al-Mahdi Billah, yang berkuasa di Afrika
Utara (909-934 M) dan dikenal sebagai penguasa Dinasti Fatimiyah. Ini adalah
penguasa dari kelompok Syi’ah Ismailiyah. Cukup lama Dinasti Fatimiyah ini
berkuasa, sekitar 262 tahun, dari mulai tahun 909 hingga tahun 1171. Dikabarkan
pada masa Dinasti Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar di Mesir berdiri.
Pada saat ar-Radhi menjadi Khalifah, Ubaydillah al-Mahdi ini wafat.
Imam Suyuthi menyerang keras kelompok ini dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa.
Misalnya, menurut beliau, klaim bahwa pemimpin Dinasti Fatimiyah berasal dari
keturunan Ali bin Abi Thalib itu palsu. Karena sebenarnya kakeknya adalah
seorang Majusi. Imam Suyuthi mengutip al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani untuk
menguatkan pendapatnya mengenai Dinasti Fatimiyah ini.
Ibn Katsir dalam al-Bidayah
wan Nihayah juga berpendapat sama mengenai silsilah Ubaydillah ini.
Ibn Katsir mengutip Ibn Khallikan yang mengatakan bahwa para muhaqqiq telah
mengingkari klaim nasab Ubaydillah ini. Ibn Katsir kemudian mengajukan
komentarnya sendiri: “Aku berpendapat bahwa telah tertera oleh lebih dari satu
pakar, di antaranya Syekh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Qadhi al-Baqilani, dan
al-Quduri bahwa semuanya mendakwa tidaklah benar silsilah nasab tersebut.
Bahkan sebenarnya orang tua dari Ubaydillah itu seorang Yahudi.” (Juz 11, hal.
204).
Sekadar menjelaskan buat mereka yang tidak akrab dengan nama-nama
ulama yang disebutkan Ibn Katsirdi di atas, Ibn Khallikan (1211-1282 M) adalah
seorang ulama bermazhab Syafi’i yang terkenal dengan catatan biografisnya
terhadap tokoh-tokoh besar masa lalu.
Ibn Khallikan menulis kitab berjudul Wafayat al-A’yan wa Anba Abna az-Zaman. Abu
Hamid al-Isfarayini, yang dipanggil Syekh oleh Ibn Katsir, adalah seorang ahli
fiqh bermazhab Syafi’i yang tinggal di Baghdad. Beliau merupakan guru dari Imam
al-Mawardi, pengarang kitab fiqh siyasah terkenal, al-Ahkam as-Sulthaniyah.
Al-Qadhi Baqilani, yang dikutip oleh Imam Suyuthi dan Ibn Katsir,
juga bukan nama sembarangan dalam literatur keislaman. Lahir pada tahun 950 dan
wafat tahun 1013, gelar al-Qadhi di depan namanya karena memang beliau pernah
menjadi seorang hakim. Beliau bermazhab Maliki, dan seorang pembela akidah
Asy’ariyah yang sangat terkenal.
Nama terakhir adalah al-Quduri. Beliau adalah Abul Husayn Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Hamdan. Seorang ahli fiqh bermazhab
Hanafi, yang juga tinggal di Baghdad dan wafat pada tahun 1037 Masehi.
Lihatlah bagaimana Ibn Katsir mengutip pendapat ulama dari tiga
mazhab yang berbeda. Begitulah para ulama jaman old. Kalau sekarang kita berbeda sedikit saja
kita sudah dicaci-maki di media sosial.
Sengaja sedikit saya urai nama-nama ulama di atas karena banyak
yang tidak mengenal nama-nama ulama klasik. Misalnya, kutipan saya akan kitab
klasik para ulama, dalam berbagai artikel saya, dianggap angin lalu bahkan ada
yang bilang hanya sekadar dongeng.
Lebih celaka lagi ada yang menganggap tulisan-tulisan saya yang
mengutip para ulama klasik itu sebagai tulisan orang liberal. Apa mau
menganggap para ulama yang saya kutip itu sebagai liberal? Janganlah karena
Anda tidak sanggup membantah atau menyodorkan data sejarah yang berbeda terus
kemudian mencaci maki.
Saya sudah sebutkan nama penguasa pertama di atas, yaitu
Ubaydillah al-Mahdi dari Dinasti Fatimiyah. Penguasa kedua adalah Abdurrahman
III yang disebut sebagai Khalifah di Cordoba, Spanyol. Beliau merupakan
keturunan Dinasti Umayyah. Itulah sebabnya kekuasaannya disebut pula sebagai
Dinasti Umayyah jilid kedua yang berkuasa di Spanyol dari tahun 929 hingga
tahun 1031.
Salah satu simbol kejayaan Islam masa lalu ada pada wilayah
Cordoba ini di mana gairah ilmu pengetahuan begitu bergelora, diikuti dengan
menjamurnya karya seni, arsitektur, dan berbagai elemen peradaban lainnya.
Cordoba ini terpisah dan independen dari pusat kekuasaan khilafah Dinasti
Abbasiyah.
Singkat cerita, pada masa ar-Radhi berkuasa, bukan saja berbagai
provinsi menjadi otonom yang lepas dari jalur komando kekhilafahan Baghdad,
namun juga ada dua dinasti lain di Afrika Utara dan di Cordoba yang mengklaim
sebagai khalifah. Artinya, saat itu umat Islam memiliki tiga khalifah yang
berbeda: Baghdad, Spanyol, dan Afrika Utara.
Jadi, kalau sekarang umat Islam terpecah dalam berbagai
negara-bangsa, ya gak masalah, kan? Lha,
wong pada masa khilafah dulu saja ada beberapa pemimpin yang
menguasai wilayah yang berbeda? Paham ora,
son?
Bahkan sekitar empat tahun di masa Khalifah ar-Radhi jamaah tidak
bisa berangkat haji karena Mekkah tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh Khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Hajar Aswad pun masih belum kembali ke tempatnya semula
di Ka’bah karena dicuri pemberontak seperti pernah saya ceritakan dalam tulisan
lalu.
Jadi, kalau sekarang ada yang berargumen bahwa kita membutuhkan
khilafah untuk menolong umat Islam di Palestina, Suriah, dan Yaman, mereka lupa
bahwa di masa khalifah zaman old
sempat kehilangan Hajar Aswad dan jamaah tidak bisa naik haji karena jalur yang
tidak aman. Barulah pemberontak Qaramithah membolehkan jamaah naik haji setelah
meminta jamaah membayar uang cukai masing-masing sebanyak lima dinar. Inilai
pungutan pertama bagi jamaah haji.
Sebelum diteruskan, perlu saya umumkan bahwa akan segera terbit
kumpulan tulisan saya tentang ngaji sejarah politik Islam ini. Judulnya, Islam Yes, Khilafah No!: Doktrin dan
Sejarah Politik Islam dari Khulafa ar-Rasyidin hingga Umayyah.
Bahasan mengenai Dinasti Abbasiyah akan diselesaikan dan dikompilasi untuk buku
jilid kedua.
Diterbitkannya buku jilid pertama ini untuk memenuhi saran dan
harapan para pembaca setia yang menginginkan untuk bisa membacanya lebih mudah
dan runtut. Monggo
dipesan sebelum kehabisan!
Kembali ke kisah Khalifah ar-Radhi. Abu Bakr Muhammad bin Yahya
as-Suli menulis catatan penting yang berjudul Akhbar ar-Radhi wa al-Muttaqi. Saat itu
as-Suli adalah pembimbing di dalam istana yang mengajari sejumlah pangeran
Abbasiyah, termasuk dua orang yang kelak menjadi khalifah, yaitu ar-Radhi dan
al-Muttaqi. Dalam catatan as-Suli, Abul Abbas (yang kemudian dikenal sebagai
Khalifah ar-Radhi) sangat menyukai sastra. As-Suli mengenalkan berbagai karya
sastra sejak Abul Abbas masih belia.
Imam Suyuthi mengabarkan bahwa ar-Radhi seorang penyair yang fasih
serta senang bergaul dengan para ulama, luas ilmunya, dan seorang yang
dermawan. Ar-Radhi juga disebut-sebut sebagai khalifah terakhir yang memiliki
syair yang dibukukan, dan khalifah terakhir yang mampu melakukan khutbah
Jum’at.
Inilah sebabnya para sejarawan menganggap ar-Radhi adalah khalifah
terakhir Dinasti Abbasiyah yang masih punya kekuasaan secara nyata, meski hanya
terbatas di ibu kota. Setelahnya, Khalifah hanya sekadar nama dan simbol
belaka.
Kekuasaan jatuh kepada Amir al-Umara. Ini posisi penting yang baru
dibuat di masa Khalifah al-Muqtadir, tapi lambat laun kemudian semakin menguat
dan akhirnya mengontrol kekuasaan secara penuh, sementara Khalifah hanya
layaknya boneka saja.
Buya Hamka dalam bukunya, Sejarah
Umat Islam, menulis, “Sejak adanya Amir al-Umara itu hapuslah
kekuasaan sama sekali dari Khalifah. Khalifah hanya diberi gaji saja menurut
kesukaan Amir al-Umara.” Semoga Buya hamka tidak dianggap liberal gara-gara menulis
fakta sejarah yang menyakitkan ini.
Khalifah ar-Radhi jatuh sakit dan kemudian meninggal pada usia 31
tahun. Nasibnya lebih baik ketimbang al-Qahir yang merana dan tersiksa hingga
wafat. Beliau digantikan oleh al-Muttaqi, sebagai Khalifah ke-21 Abbasiyah.
Kita akan lanjutkan ngaji sejarah politik Islam berikutnya, dengan izin Allah.
[]
GEOTIMES, 16 Maret 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar