Selasa, 03 Juli 2018

Zuhairi: Masa Depan Erdoganisme


Masa Depan Erdoganisme
Oleh: Zuhairi Misrawi

Recep Tayyip Erdogan memenangkan Pemilu Presiden dan Pemilu Parlemen yang baru digelar, Minggu, 24 Juni lalu. Ia mendapatkan 52,5 persen, mengalahkan tokoh oposisi, Muharrem Ince dari Partai Rakyat Republik (CHP). Erdogan menjadi pemimpin Turki modern yang tak tergoyahkan. Muharrem Ince belum mendapatkan tempat di sebagian besar warga Turki.

Sementara Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), partai yang dipimpin Erdogan dalam Pemilu Parlemen meraih 42,5 persen suara. Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang berkoalisi dengan AKP mendapatkan 11 persen suara. Itu maknanya, Erdogan menguasai eksekutif dan legislatif, sehingga ia dapat mengontrol penuh ranah eksekutif dan legislatif.

Pencapaian Erdogan ini semakin mengukuhkan kekuasaannya di Turki untuk 5 tahun yang akan datang. Transformasi Turki dari sistem parlementer ke sistem presidensial telah memperpanjang napas kekuasaan Erdogan jelang memasuki 100 tahun Turki modern pada 2023 nanti.

Dalam konteks yang lebih terang-benderang, kemenangan tersebut semakin memuluskan doktrin Erdoganisme dalam Turki modern. Sejak Pemilu 2002, Erdogan selalu memenangkan pertarungan politik melalui pemilu. Jadi kemenangan Erdogan sangat spesial karena diraih melalui proses politik yang demokratis.

Erdogan yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Walikota Istanbul berhasil memikat warga Turki karena kepemimpinannya yang berhasil menyulap Kota Istanbul sebagai salah satu destinasi wisata yang mendunia. Istanbul merupakan titik temu antara tradisionalitas dan modernitas. Ia menjadi warisan tradisi masa lalu, tetapi juga entitas masa kini yang modern. Dari Istanbul, akhirnya Erdogan berhasil menempati istana di Ankara, ibukota Turki.

Selama memimpin Turki, Erdogan dikenal sebagai "Bapak Pembangunan" karena berhasil menyulap wilayah pinggiran Turki menjadi kota-kota modern, termasuk mampu meningkatkan pendapatan negara dari sektor pariwisata, manufaktor, pertanian, dan lain-lain. Karenanya, muncul doktrin baru dalam Turki modern dengan sebutan "Erdoganisme", karena kekuasaan dan pengaruh Erdogan yang kuat dalam Turki modern. Bahkan, popularitas Erdogan ditengarai dapat mengalahkan atau menenggelamkan Mustafa Kemal yang mendapatkan gelar "Ataturk", yaitu bapak Turki modern.

Pada masa Dinasti Ottoman, Turki di bawah sistem khilafah atau Sultanisme. Lalu, tumbangnya Dinasti Ottoman pada 1923, Turki di bawah kekuasaan Mustafa Kemal yang kemudian melahirkan doktrin Kemalisme yang ditandai dengan fundamen sekularisme yang dikawal penuh oleh militer. Sejak AKP berkuasa dalam Pemilu 2002, Erdogan menjadi ikon baru Turki modern dengan melahirkan doktrin Erdoganisme.

Menurut Ihsan Yilmaz dan Galib Bashirov (2018), setidaknya ada empat parameter yang mengukuhkan doktri Erdoganisme di Turki modern. Pertama, Erdogan berhasil memenangkan pemilu melalui proses politik yang demokratis. Tetapi dominasi AKP dalam pemilu sejak 2002 hingga sekarang ini menimbulkan pertanyaan, karena melemahnya peran oposisi. Utamanya sejak Pemilu 2015 lalu, Erdogan dianggap tidak memberikan ruang yang adil dan bebas terhadap oposisi, termasuk juga merepresi media yang melakukan peran kontrol terhadap kebijakannya. Karena itu, Erdogan dianggap sebagai pemimpin otoriter yang terpilih melalui instrumen demokrasi (electoral authoritarianism).

Kedua, Erdogan berhasil menggunakan komunikasi politik yang "populis". Ia selalu menempatkan dirinya sebagai "penyambung lidah" rakyat versus kaum elite yang korup. Meskipun sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, pihak oposisi mencurigai adanya bau korupsi di lingkaran keluarga Erdogan dan AKP. Tapi komunikasi populis Erdogan mampu menyihir warga Turki, terutama pendukung utamanya. Jika kita berjalan-jalan ke Turki, maka warga Turki akan menyebut Erdogan sebagai orator ulung, karena berhasil memukau dan memikat warga dengan komunikasi politik yang sangat populis.

Ketiga, Erdogan berhasil meyakinkan kelompok konservatif dengan agenda-agenda keislaman. Diyanet yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan keagamaan di Turki telah menjadi instrumen yang paling ampuh untuk memastikan aspirasi warga Muslim Turki dapat disalurkan di tengah restriksi doktrin Kemalisme. Besarnya pengaruh Diyanet inilah yang dicurigai dapat menguburkan kukuhnya doktrin Kemalisme di Turki yang secara ketat memisahkan antara urusan agama dan urusan politik.

Keempat, Erdogan berhasil mendesain sistem ekonomi yang memberikan ruang terbesar bagi AKP dan keluarganya, sehingga kue ekonomi mampu dikendalikan secara mutlak. Erdogan mampu membentuk para pengusaha Muslim atau kelas menengah Muslim, sehingga menjadi basis kekuatan utamanya dalam setiap pemilu.

Maka dari itu, Erdoganisme bukanlah isapan jempol. Kekuasaan dan pengaruh Erdogan begitu kuat di dalam tubuh AKP dan Turki modern. Tapi, persoalannya bagaimana masa depan Erdoganisme?

Dalam pemilu yang baru digelar, kita melihat pemandangan yang menarik, di mana pihak oposisi mampu mengkonsolidasikan kekuatannya. Muharrem Ince berhasil meraih 30 persen suara. Itu artinya Erdogan tidak bisa menggunakan doktrinnya secara berlebihan untuk memaksakan kehendaknya. Apalagi AKP hanya mendapatkan 42,5 persen dalam pemilu terakhir, yang pastinya mendapatkan kerentanan. Jika partai nasionalis yang berkoalisi dengan AKP menarik dukungannya, maka akan menjadi bencana awal bagi Erdogan.

Maka dari itu, Erdogan harus mampu membaca dan mendengarkan aspirasi dari pendukung sekaligus oposisi. Saat ini Turki sedang memasuki masa-masa sulit, khususnya dalam sektor ekonomi akibat melemahnya mata uang Lira terhadap dolar AS, dan inflasi yang lumayan tinggi. Sikap Erdogan yang makin otoriter akan menjadi hidangan empuk bagi pihak oposisi untuk mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menjungkalkan kursi Erdogan.

Dengan demikian, Erdogan sedang memasuki masa-masa yang tidak mudah. Ia hanya bisa selamat jika mampu mengentaskan krisis ekonomi yang sedang dihadapi Turki saat ini. Jika tidak, maka bola akan terus bergulir deras untuk mengganggu tampuk kekuasaan Erdogan. Dan, Erdoganisme hanya akan menjadi mimpi buruk bagi warga Turki. []

DETIK, 28 Juni 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar