Jumat, 13 Juli 2018

(Ngaji of the Day) Cara Mengenal Hadits Dhaif


Cara Mengenal Hadits Dhaif

Dalam membaca kitab hadits, sering kali kita menemukan beberapa istilah. Salah satunya adalah hadits dhaif. Lalu apa sebenarnya hadits dhaif tersebut? Dalam kesempatan kali ini, kami akan membahas hadits dhaif.

Pengertian hadits dhaif secara etimologi adalah lawan kata dari "qawiyun" (kuat) yaitu lemah. Lemah yang dimaksud dalam konteks ini adalah lemah yang ma’nawy. Menurut Mahmud Thahan dalam Taisyiru Muthalahil Hadits, lemah itu ada dua; yaitu lemah hissiy dan ma’nawy.

Secara terminologi, seperti yang disampaikan Ibnus Shalah yang dikutip oleh Imam As-Suyuthi dalam Tadribur Rawi adalah ma lam yajma’ sifat as-shahih wal hasan, yaitu yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.

Definisi ini dikritisi oleh Ibnu Daqiq. Menurutnya, telah dianggap cukup definisi tentang hadits dhaif dengan hanya menyebutkan yang kedua sebagaimana ungkapan Ibnus Shalah (ma lam yajma’ sifat hasan).

Pendapat Ibnu Daqiq ini didukung oleh Imam Al-Bayquni dalam bait syairnya yang menyebutkan:

وكل ما عن رتبة الحسن قصر # وهو الضاعف وهو أقسما كثر

Dengan kata lain, tidak jauh beda dengan pendapat Ibnu Daqiq akan tetapi Al-Bayquni menjelaskan bahwa yang dimaksud kehilangan syarat-syarat hasan adalah terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu hilang syarat hadits hasan.

Hadits dhaif juga memiliki sifat-sifat yang berbeda tergantung parahnya kedhaifan riwayatnya dan kelemahannya seperti halnya hadits shahih, yaitu dhaif, dhaif jiddan, al-wahiy, mungkar dan bagian yang paling rendah adalah maudhu’.

Di bawah ini adalah contoh hadits dhaif yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari jalan sanad Hakim Al-Astram, yang di-jarh atau divonis dhaif oleh para ulama.

من أتي حائضا أو إمرأة أو كاهنا فقد كفر بما أنزل علي محمد

Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi seorang haid, atau perempuan atau seorang dukun, maka ia telah kufur atas hal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.”

Setelah meriwayatkan hadits di atas Imam At-Tirmidzi pun menjelaskan lebih rinci dalam syarahnya bahwa ia tidak mengetahui hadits tersebut kecuali dari sanad Hakim Al-Astram dari Abi Tamimah Al-Hujaimy dari Abi Hurairah. Bahkan Imam Bukhari pun mengatakan bahwa hadits ini dhaif dari segi sanadnya. Hal ini memang terbukti karena dalam sanadnya ada Hakim Al-Atsram yang telah didhaifkan oleh para ulama.

Lalu bagaimana caranya kita mengetahui bahwa seorang rawi tersebut dhaif atau tidak. Pertama, meneliti apakah semua perawi memiliki riwayat yang sambung, yakni dengan cara meneliti riwayat guru-murid dari kitab tarajum seperti Tadzhibul Kamal karya Al-Mizi atau Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar dan lain sebagainya.

Kedua, mencari apakah perawi tersebut adil dan dhabit atau tidak, dengan melihat kritik dari para ulama terhadap para rawi tersebut, apakah ia divonis tsiqah (terpercaya), katsirul khata’ (banyak salah), dhaif (lemah) dan lain sebagainya. Ketiga, meneliti apakah terdapat illat, yaitu secara kasat mata terlihat sahih tapi ketika diteliti kembali banyak kerancuan. Salah satu ulama yang ahli dalam ilmu ini adalah Imam At-Tirmidzi. Keempat, membandingkan dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah, apakah terjadi perbedaan matan atau tidak, jika berbeda maka periwayatan perawi yang lebih tsiqah tersebut yang lebih dipilih (mahfudz), sedangkan periwayatan rawi yang kurang tsiqah disebut syadz.

Lalu bagaimana selanjutnya ketika sudah diketahui bahwa hadits tersebut dhaif. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits dhaif ini.

Ajaj Al-Khatib dalam Ushul Hadits menjelaskan tiga perbedaan pendapat terkait status kehujahan hadits dhaif.

Pendapat pertama, hadits dhaif tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan sebagainya.

Pendapat kedua, dipandang baik mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.

Pendapat ketiga, hadits dhaif sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.

Di antara tiga pendapat di atas, pendapat kedua ini yang dipilih jumhurul ulama. Tetapi pendapat itu harus memenuhi beberapa syarat yang dipaparkan Imam Ibnu Hajar. Pertama, kedhaifan hadits tersebut tidak termasuk syadid. Kedua, termasuk hadits yang bisa diamalkan. Ketiga, ketika mengamalkan, tidak meyakini ketetapan hadits tersebut akan tetapi dengan ihtiyat (hati-hati). Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar