Alegria Sepak Bola
Oleh: Sindhunata
Dua superstar sepak bola, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo,
dipaksa angkat kaki lebih awal dari Rusia. Kini, akankah Neymar menjadi
megabintang ketiga yang terusir dari Rusia?
Duel dua superstar bola itu sungguh dinanti-nantikan. Publik bola
menanti dengan berdebar-debar, akankah Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo jadi
berduel di perempat final? Memang suasana stadion akan lain apabila dua
superstar itu tampil.
Tiap kali Messi tampil, fans Argentina
menghadiri pertandingan seperti sedang merayakan ibadat misa. Dalam ”misa
Messi”, fans Argentina
bagaikan tersulap. Tiap sentuhan dan operan bola Messi dihormati dengan penuh
bakti. Demikian pula dengan Ronaldo, lebih-lebih apabila ia melakukan tendangan
bebas atau penalti. Bagi fans Portugal,
momen itu seperti saat konsekrasi, peristiwa paling puncak dalam ritual ibadat
misa.
Ternyata ”ibadat bola pada Sabtu malam dan Minggu pagi” yang lalu
menjadi tragedi bagi keduanya. Dua superstar bola itu tidak jadi ketemu.
Keduanya telah terusir dari Piala Dunia 2018 setelah Argentina ditekuk
Perancis, 3-4, dan Portugal tunduk di kaki Uruguay, 1-2.
Messi dan Ronaldo telah menghilang dari panggung Piala Dunia. Kini
tinggal Neymar Jr. Akankah superstar Brasil ini menyusul mereka berdua? Neymar
memang juga seorang superstar. Ia pindah ke Paris Saint-Germain di Perancis
antara lain karena ia tidak mau selalu berada di bawah bayang-bayang Messi dan
Ronaldo di Spanyol. Piala Dunia 2018 adalah panggung di mana ia hendak
menunjukkan kehebatannya, lebih daripada kedua superstar itu.
Ia harus tampil prima. Tidak hanya dalam hal kehebatan bermain,
tetapi juga dalam hal ketampanan fisiknya. Maka, tak segan-segan sebelum
penampilan perdananya melawan Swiss, ia mendatangkan penata rambutnya secara
khusus ke Rostov-on- Don. Rambut atasnya jadi amat modis, seperti jerami yang
dihairspray. Ada
juga yang mengatakan, rambutnya jadi seperti spageti.
Sayang, di hadapan fans Brasil,
penampilan fisik superstarnya itu ternyata belum diimbangi benar dengan
penampilan bolanya yang prima. Malah di mata mereka, Neymar masih seperti
pemain yang bingung. ”Neymar adalah sebuah bundelan saraf”, begitu harian Estado de Sao Paulo meringkaskan
kekacauan permainan Neymar ketika melawan Kosta Rika.
Pada laga kedua grup melawan Kosta Rika, Neymar mendapat kartu
kuning karena ia membanting bola, marah terhadap keputusan wasit Bjorn Kuipers.
Di bawah pelatih Tite, dalam 13 pertandingan, Neymar sudah menabung lima kartu
kuning. ”Ia harus lebih bisa mengontrol diri,” tulis koran Folha di negerinya.
Ia juga sempat beradegan teatrikal, minta tendangan penalti,
karena dijatuhkan oleh bek Kosta Rika, Giancarlo Gonzalez, di daerah berbahaya.
VAR membatalkan keputusan wasit yang semula menyetujui Neymar.
Neymar juga sempat memarahi keras rekannya, Thiago Silva, yang
mengembalikan bola ke lawan untuk memberi kesempatan lawan menangani pemainnya
yang mungkin cedera. Neymar menganggap Silva tak perlu melakukan hal itu karena
Kosta Rika sudah terlalu banyak membuang waktu.
”Ia sangat mencela saya, ya, saya mengertinya, dia nervous,” kata Silva.
Memang sulit menilai Neymar. Ia terombang-ambing di antara watak narsistis,
gemar beraksi teatrikal, dan nervous.
Pada akhir pertandingan melawan Kosta Rika itu, ia terlepas dari semua
ketegangan yang harus ditanggungnya. Ia menangis. ”Saya bilang kepadanya, baik
kamu menangis. Dia harus lepas dari tekanan yang membebani dirinya,” tutur
Silva.
”Ia adalah superstar kami. Tak mudah baginya jika ia harus menanggung
semua beban ini di pundaknya. Kami berusaha membagi tekanan-tekanan pada pundak
kami masing-masing. Namun, betapa pun, Neymar memang berbeda dari kami semua,”
kata pemain sayap Brasil, Douglas Costa.
Pelatih Tite menguatkan, Neymar akan bermain makin baik dari
pertandingan ke pertandingan. ”Ia adalah manusia. Dalam turnamen ini, ia masih
akan meraih kehebatannya,” hibur Tite.
Sebagai superstar, Neymar memang lebih beruntung daripada Messi
dan Ronaldo. Messi dan Ronaldo boleh hebat, tetapi kesebelasan Argentina dan
Portugal sedang loyo. Neymar beruntung karena berada dalam kesebelasan Brasil
yang sedang prima. Di bawah komando Tite, Brasil memang menjadi favorit yang
harus disegani.
Setelah lama di-drill dalam
ketegangan bermain di bawah Luiz Felipe Scolari dan Dunga, Brasil di bawah Tite
berhasil kembali pada kredo bolanya, yakni permainan indah penuh alegria, atau
kegembiraan bermain bola.
Menurut Zico, mantan kapten Brasil, Tite telah membebaskan sepak
bola Brasil dari ketakutannya. Pemain Brasil tidak lagi takut membuat kesalahan
dalam bermain. Terpenting, Brasil kembali memainkan sepak bola kolektifnya.
Dengan kolektivitas, Brasil terbebas dari ketergantungan pada peran istimewa
Neymar, yang sering menjadi beban tidak hanya bagi Neymar sendiri, tetapi juga
bagi kesebelasan secara keseluruhan.
Kejutan Meksiko
Neymar dan kawan-kawannya kelihatan boleh bernapas sedikit lega.
Di fase gugur ini, Meksiko adalah lawan yang sudah sering mereka tundukkan.
Namun, mereka harus ingat, Meksiko bisa bermain dengan tak terduga. Dan dengan
ketakterdugaan itu, mereka memukul juara bertahan Jerman.
”Meksiko mempunyai taktik yang sama sekali lain daripada dugaan
kita,” komentar Manajer Jerman Oliver Bierhoff.
Menjelang Piala Dunia 2018, skuad Meksiko sempat dilanda krisis
kepercayaan. Publik bola Meksiko marah terhadap anak- anak asuhan pelatih Juan
Carlos Osorio karena mereka kedapatan mengadakan fiesta orgy bersama
dengan 30 wanita penghibur. Kemarahan itu sejenak terlupakan karena prestasi
skuad Meksiko.
Bersama Hirving Lozano, striker tajam yang membukukan 17 gol bagi
juara Liga Belanda, PSV Eindhoven, Meksiko seperti menghadapi tugas yang
mustahil malam ini. Namun, jika berhasil melumpuhkan Brasil, anak-anak Osorio
itu akan ikut terdaftar sebagai kesebelasan yang membukukan catatan bahwa Piala
Dunia 2018 ini tampaknya bukan panggung bagi superstar.
Memang, andaikan Meksiko berhasil mengalahkan Brasil, berarti
mereka sekaligus mengusir Neymar sebagai superstar ketiga yang harus menyusul
dua superstar, Messi dan Ronaldo, keluar dari panggung Piala Dunia di Rusia
ini. []
KOMPAS, 2 Juli 2018
Sindhunata | Wartawan, Pencinta Sepak Bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar