Asa Demokrasi
Oleh: Azyumardi Azra
Pemilihan kepala daerah, Jumat (27/6/2018) lalu, memberikan banyak
harapan bagi masa depan demokrasi. Pilkada aman, damai, dan lancar. Sejumlah
fenomena Pilkada 2018 menunjukkan vibrant
democracy—demokrasi hidup dan bergairah. Pilkada 2018 tak sekadar
peristiwa politik, tetapi juga social-cultural
event. Ada tempat pemungutan suara berhias unik dengan petugas
berpakaian adat, superhero, bahkan pocong dan drakula. Semua itu membantah
pesimisme dan apatisme pada demokrasi.
Dalam dua dasawarsa terakhir, pesimisme meningkat terhadap masa
depan demokrasi. Kecemasan ini terkait dengan penguatan populisme politik dan
politik identitas di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Pesimisme
terhadap masa depan demokrasi sebagai sistem dan proses politik juga kian
meningkat dengan kegagalan demokrasi di banyak negara Muslim di Timur Tengah
dan Asia Selatan. Arab Spring sejak akhir 2011 di sejumlah negara berpenduduk
mayoritas Muslim tidak lagi memberi harapan.
Dari beberapa negara Arab yang mengalami Arab Spring, seperti
Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Suriah, dan Irak, kini hanya Tunisia yang menjadi
tumpuan asa tumbuhnya demokrasi di negara berpenduduk mayoritas Muslim di
kawasan Asia Barat dan Afrika Utara (West Asia and North Africa/WANA).
Kecemasan terhadap masa depan demokrasi terkait dengan kesuksesan
sejumlah negara yang menerapkan totalitarianisme ”satu partai tunggal dominan”
pula. China atau Singapura yang menyelenggarakan pemilihan internal partai atau
pemilu nasional bisa lebih efektif memajukan negara dan meningkatkan
kesejahteraan warganya. Di pihak lain, negara yang menerapkan demokrasi
multipartai kompetitif, seperti Indonesia, belum mampu menghasilkan
pemerintahan tingkat nasional dan lokal yang efektif untuk mewujudkan janji
demokrasi. Friksi dan kontestasi politik yang terus berlanjut antara berbagai
kekuatan politik di lembaga legislatif dan eksekutif membuat penyelenggaraan
pemerintahan tidak efektif.
Kedua kecenderungan pokok itu (populisme politik dan demokrasi
liberal tidak efektif) menimbulkan kecemasan lebih lanjut di kalangan pakar dan
aktivis penguatan demokrasi. Masalahnya, jika kecenderungan itu terus
berlangsung, bisa jadi kian banyak warga yang mencari alternatif sistem politik
lain, termasuk otoritarianisme militer atau sipil, atau teokrasi semacam dawlah Islamiyah atau
khilafah.
Di tengah pesimisme itu, sekali lagi, Pilkada 2018 memberikan
banyak pelajaran terbaik dalam demokrasi di negara berpenduduk mayoritas
Muslim. Setelah proses transisi relatif lancar dan damai menuju demokrasi sejak
1999, Indonesia membuktikan, demokrasi tidak hanya kompatibel dengan Islam,
tetapi juga dapat diselenggarakan dengan berkeadaban. Pilkada 2018 juga
menunjukkan tak relevannya politik identitas di Indonesia. Ada koalisi
antarpartai yang melintasi batas ideologis dan religio-politik. Parpol berasas
Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), terlihat nyaman berkoalisi dengan parpol berdasar Pancasila, seperti
Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), atau Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): mengusung pasangan calon sama di provinsi
atau kabupaten/kota.
Gejala lain yang juga menumbuhkan harapan bagi konsolidasi
demokrasi lebih sehat, pemilih kian rasional. Di beberapa daerah, mereka lebih
memilih pasangan calon atas rekam jejak keberhasilan daripada kesetiaan
ideologis tertentu. Hasilnya, pemilih di beberapa tempat menumbangkan oligarki
elite parpol atau dinasti politik. Pada tahap ini, banyak pemilih mulai
menerapkan prinsip demokrasi tentang reward
and punishment kepada
pasangan calon tertentu dan parpol pendukung mereka.
Pilkada 2018 membangkitkan kembali asa pada demokrasi. Ini penting
bagi masa depan demokrasi Indonesia. Optimisme boleh pula dibersitkan dalam
diri pemilih bahwa demokrasi pada Pemilu 2019 juga dapat berlangsung baik,
aman, dan damai. []
KOMPAS, 5 Juli 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN Jakarta; Anggota Komisi
Kebudayaan AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar