Jumat, 06 Juli 2018

Azyumardi: Asa Demokrasi


Asa Demokrasi
Oleh: Azyumardi Azra

Pemilihan kepala daerah, Jumat (27/6/2018) lalu, memberikan banyak harapan bagi masa depan demokrasi. Pilkada aman, damai, dan lancar. Sejumlah fenomena Pilkada 2018 menunjukkan vibrant democracy—demokrasi hidup dan bergairah. Pilkada 2018 tak sekadar peristiwa politik, tetapi juga social-cultural event. Ada tempat pemungutan suara berhias unik dengan petugas berpakaian adat, superhero, bahkan pocong dan drakula. Semua itu membantah pesimisme dan apatisme pada demokrasi.

Dalam dua dasawarsa terakhir, pesimisme meningkat terhadap masa depan demokrasi. Kecemasan ini terkait dengan penguatan populisme politik dan politik identitas di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Pesimisme terhadap masa depan demokrasi sebagai sistem dan proses politik juga kian meningkat dengan kegagalan demokrasi di banyak negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan. Arab Spring sejak akhir 2011 di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak lagi memberi harapan.

Dari beberapa negara Arab yang mengalami Arab Spring, seperti Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Suriah, dan Irak, kini hanya Tunisia yang menjadi tumpuan asa tumbuhnya demokrasi di negara berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara (West Asia and North Africa/WANA).

Kecemasan terhadap masa depan demokrasi terkait dengan kesuksesan sejumlah negara yang menerapkan totalitarianisme ”satu partai tunggal dominan” pula. China atau Singapura yang menyelenggarakan pemilihan internal partai atau pemilu nasional bisa lebih efektif memajukan negara dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Di pihak lain, negara yang menerapkan demokrasi multipartai kompetitif, seperti Indonesia, belum mampu menghasilkan pemerintahan tingkat nasional dan lokal yang efektif untuk mewujudkan janji demokrasi. Friksi dan kontestasi politik yang terus berlanjut antara berbagai kekuatan politik di lembaga legislatif dan eksekutif membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif.

Kedua kecenderungan pokok itu (populisme politik dan demokrasi liberal tidak efektif) menimbulkan kecemasan lebih lanjut di kalangan pakar dan aktivis penguatan demokrasi. Masalahnya, jika kecenderungan itu terus berlangsung, bisa jadi kian banyak warga yang mencari alternatif sistem politik lain, termasuk otoritarianisme militer atau sipil, atau teokrasi semacam dawlah Islamiyah atau khilafah.

Di tengah pesimisme itu, sekali lagi, Pilkada 2018 memberikan banyak pelajaran terbaik dalam demokrasi di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Setelah proses transisi relatif lancar dan damai menuju demokrasi sejak 1999, Indonesia membuktikan, demokrasi tidak hanya kompatibel dengan Islam, tetapi juga dapat diselenggarakan dengan berkeadaban. Pilkada 2018 juga menunjukkan tak relevannya politik identitas di Indonesia. Ada koalisi antarpartai yang melintasi batas ideologis dan religio-politik. Parpol berasas Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terlihat nyaman berkoalisi dengan parpol berdasar Pancasila, seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), atau Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): mengusung pasangan calon sama di provinsi atau kabupaten/kota.

Gejala lain yang juga menumbuhkan harapan bagi konsolidasi demokrasi lebih sehat, pemilih kian rasional. Di beberapa daerah, mereka lebih memilih pasangan calon atas rekam jejak keberhasilan daripada kesetiaan ideologis tertentu. Hasilnya, pemilih di beberapa tempat menumbangkan oligarki elite parpol atau dinasti politik. Pada tahap ini, banyak pemilih mulai menerapkan prinsip demokrasi tentang reward and punishment kepada pasangan calon tertentu dan parpol pendukung mereka.

Pilkada 2018 membangkitkan kembali asa pada demokrasi. Ini penting bagi masa depan demokrasi Indonesia. Optimisme boleh pula dibersitkan dalam diri pemilih bahwa demokrasi pada Pemilu 2019 juga dapat berlangsung baik, aman, dan damai. []

KOMPAS, 5 Juli 2018
Azyumardi AzraProfesor UIN Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar