Hukum Islam dalam Hukum Nasional
Oleh: Moh Mahfud MD
Banyak orang yang salah memahami, atau sengaja memelintir, sebuah
isu atau pernyataan yang sebenarnya sudah jelas struktur logika dan
argumentasinya. Masalah keberlakuan hukum Islam di dalam kerangka hukum
nasional yang pernah saya kemukakan, misalnya, bisa dielaborasi sebagai contoh.
Dalam sebuah dialog interaktif di televisi, saya pernah mengutip
pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar di Indonesia
keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan agar
hukum-hukum di Indonesia bisa memuat aspirasi Islam.
Pernyataan saya itu dipertentangkan dengan pernyataan saya
yang lain ketika saya mengatakan, ada upaya untuk memberlakukan hukum Islam
sebagai hukum yang eksklusif dengan gerakan tertentu yang berbau radikal. Di
media sosial kemudian dikembangkan isu bahwa saya membuat pernyataan yang tidak
konsisten. Padahal, pernyataan saya itu panjang dan konsisten tetapi
diamputasi.
Memotong pernyataan
Para pembuat hoax sengaja
memotong pernyataan yang saya ucapkan secara jelas. Saya mengutip
pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum Islam
berlaku di Indonesia, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan (DPR, presiden,
gubernur, dan lain-lain) agar aspirasi hukum Islam masuk ke dalam hukum
Indonesia.
Pernyataan ini dipotong begitu saja dari sambungannya yang tak terpisahkan,
yakni isi pernyataan Bung Karno yang disadur dengan kalimat, ”Begitu juga jika
orang-orang Kristen ingin agar letter-letter Kristen
menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga
perwakilan diduduki oleh orang-orang Kristen.” Sambungan kalimat penting inilah
yang diamputasi dari keseluruhan pernyataan saya.
Selain jelas bahwa kutipan pernyataan saya adalah dalam konteks
untuk memilih pemimpin, jelas juga bahwa upaya perjuangan merebut kursi-kursi
kepemimpinan nasional dan daerah di sejumlah lembaga negara berlaku juga bagi
para pemeluk agama-agama lain.
Eklektisasi hukum
Pernyataan Bung Karno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan
sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang saya
kutip tersebut jelas memberi dua kesimpulan.
Pertama, bukan hanya orang-orang Islam yang berhak memperjuangkan
hukum agamanya, tetapi juga pemeluk agama-agama lain: Protestan, Katolik,
Hindu, Buddha, dan sebagainya. Nilai-nilai hukum agama dan keyakinan serta
budaya apa pun bisa masuk ke dalam hukum nasional melalui proses yang
demokratis.
Kedua, pembentukan hukum nasional kemudian diolah melalui proses
eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai
agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sawa’ (pandangan
yang sama) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk
kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.
Produk dari proses eklektisasi itu kemudian bisa dikelompokkan
menjadi dua. Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum,
yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa
membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Dalam hal khusus tentu
bisa berlaku perkecualian sesuai dengan asas ”lex specialis derogat legi generali”.
Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku
hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan penduduk.
Sebenarnya hukum perdata Islam dan Adat sudah diberlakukan sejak zaman kolonial
Belanda (1848) sehingga sejak dulu pun kita sudah mempunyai lembaga peradilan
agama.
Hukum-hukum publik yang harus sama itu, misalnya, hukum tata negara,
hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum lingkungan, hukum pemilu, dan
sebagainya. Adapun dalam lapangan hukum perdata, misalnya, ada hukum
perkawinan, hukum peribadatan (ritual), hukum waris dan wasiat, hukum
penguburan jenazah, dan sebagainya.
Ada juga hukum-hukum agama di bidang keperdataan yang dituangkan
di dalam UU tetapi hanya untuk memfasilitasi dan memproteksi bagi yang ingin
melakukannya tanpa memberlakukan (mewajibkan atau melarang) substansinya,
misalnya UU Zakat, UU Ekonomi Syariah, UU Haji, dan sebagainya, yang
keberlakuan substansinya tetap berdasar kesukarelaan. Itu pun tetap harus
melalui proses eklektisasi.
Dengan demikian, nilai-nilai hukum agama bisa menjadi sumber hukum
dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum (sumber hukum materiil) tetapi tidak
otomatis menjadi sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau hukum
yang berdiri sendiri.
Sumber hukum materiil tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum
formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa
menjadi hukum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang
menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan
keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum.
Nilai-nilai hukum agama apa pun bisa masuk ke dalam hukum publik
(nasional) jika disepakati oleh lembaga legislatif dalam proses eklektisasi.
Adapun hukum privat (perdata) bisa berlaku dengan tanpa harus dijadikan hukum
formal. Untuk hukum-hukum Islam yang tidak bisa menjadi hukum publik,
nilai-nilai substantifnya tetap bisa dimasukkan, yakni maqashid al syar’i atau
tujuan syariahnya yang meliputi kemaslahatan umum dan tegaknya keadilan.
Di sinilah kemudian Gus Dur pernah memberikan ilustrasi tentang
pluralisme (hukum) bahwa ibarat kita hidup di sebuah rumah besar, hukum perdata
berlaku sepenuhnya di kamar masing-masing agama, tetapi hukum publiknya adalah
hukum bersama (unifikasi)
yang dibuat secara eklektis yang disepakati sebagai hukum nasional.
Menjaga keutuhan bangsa
Saya berpendapat bahwa bagian hukum perdata dari syariat Islam
tidak perlu dijadikan bentuk resmi seperti dijadikan UU atau perda.
Sebab, tanpa dijadikan UU atau perda pun, hukum perdata Islam sudah berlaku
sesuai dengan asasnya, yakni berdasar kesadaran dan kesukarelaan
penganutnya. Ketika saya menyebut bahwa ada gerakan radikal dalam upaya
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, sebenarnya radikal bukan dalam arti
terorisme. Radikalisme tidak selalu atau bahkan berbeda dari terorisme.
Di dalam pengertian umum, radikal diartikan, antara lain, sebagai
upaya membongkar sistem yang sudah disepakati. Tentu saja hal itu boleh
dilakukan, tetapi juga harus melalui proses eklektisasi untuk mengubah sistem
itu. Kita perlu menjaga keutuhan bangsa Indonesia ini bukan dengan adu kuat
karena besarnya kursi di lembaga perwakilan sebab cara itu bisa menimbulkan
perpecahan.
Dulu isu Perda Syariah telah menimbulkan reaksi yang agak
mengganggu. Di Manokwari pernah digagas ”Perda Manokwari Kota Injil”. Beberapa
waktu yang lalu di Bali ada gerakan ”Bali hanya untuk Hindu” yang disertai
larangan adanya kompleks kuburan untuk orang-orang Islam atau
hambatan bagi kegiatan komunitas Muslim di beberapa tempat tertentu di
sana. Gerakan ini dipelopori oleh anak muda yang kini menjadi pejabat
negara sesuai dengan hak konstitusionalnya. Di Kalbar ada ungkapan
”Kalimantan untuk Dayak”.
Saya pernah bertanya kepada anggota DPRD Manokwari yang datang
berkonsultasi kepada saya tentang format hukum Manokwari Kota Injil, ”Mengapa
Anda punya ide seperti itu?” Jawabnya, ”Kalau di Jawa (dia menyebut Jawa) orang
membuat Perda Syariah, masak kami tak boleh membuat Perda Injil?”
Tegakah kita membiarkan bangsa ini terpecah hanya karena itu?
Bukankah hukum perdata agama itu sudah berlaku tanpa harus dijadikan UU atau
perda? []
KOMPAS, 22 Juni 2018
Moh Mahfud MD | Ketua
Umum APHTN-HAN Se-Indonesia; Ketua Dewan Pertimbangan DPP Ikatan Sarjana
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar