Senin, 02 Juli 2018

Mahfud MD: Hukum Islam dalam Hukum Nasional


Hukum Islam dalam Hukum Nasional
Oleh: Moh Mahfud MD

Banyak orang yang salah memahami, atau sengaja memelintir, sebuah isu atau pernyataan yang sebenarnya sudah jelas struktur logika dan argumentasinya. Masalah keberlakuan hukum Islam di dalam kerangka hukum nasional yang pernah saya kemukakan, misalnya, bisa dielaborasi sebagai contoh.

Dalam sebuah dialog interaktif di televisi, saya pernah mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar di Indonesia keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan agar  hukum-hukum di Indonesia bisa memuat aspirasi Islam.

Pernyataan saya itu  dipertentangkan dengan pernyataan saya yang lain ketika saya mengatakan, ada upaya untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang eksklusif dengan gerakan tertentu yang berbau radikal. Di media sosial kemudian dikembangkan isu bahwa saya membuat pernyataan yang tidak konsisten. Padahal, pernyataan saya itu panjang dan konsisten tetapi diamputasi.

Memotong pernyataan

Para pembuat hoax sengaja memotong pernyataan yang  saya ucapkan secara jelas. Saya mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum Islam berlaku di Indonesia, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan (DPR, presiden, gubernur, dan lain-lain) agar aspirasi hukum Islam masuk ke dalam hukum Indonesia.

Pernyataan ini dipotong begitu saja dari sambungannya yang tak terpisahkan, yakni isi pernyataan Bung Karno yang disadur dengan kalimat, ”Begitu juga jika orang-orang Kristen ingin agar letter-letter Kristen menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Kristen.” Sambungan kalimat penting inilah yang diamputasi dari keseluruhan pernyataan saya.

Selain jelas bahwa kutipan pernyataan saya adalah dalam konteks untuk memilih pemimpin, jelas juga bahwa upaya perjuangan merebut kursi-kursi kepemimpinan nasional dan daerah di sejumlah lembaga negara berlaku juga bagi para pemeluk agama-agama lain.

Eklektisasi hukum

Pernyataan Bung Karno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang saya kutip tersebut jelas memberi dua kesimpulan.
Pertama, bukan hanya orang-orang Islam yang berhak memperjuangkan hukum agamanya, tetapi juga pemeluk agama-agama lain: Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Nilai-nilai hukum agama dan keyakinan serta budaya apa pun bisa masuk ke dalam hukum nasional melalui proses yang demokratis.

Kedua, pembentukan hukum nasional kemudian diolah melalui proses eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sawa’ (pandangan yang sama) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.

Produk dari proses eklektisasi itu kemudian bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum, yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Dalam hal khusus tentu bisa berlaku perkecualian sesuai dengan asas ”lex specialis derogat legi generali”.

Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan penduduk. Sebenarnya hukum perdata Islam dan Adat sudah diberlakukan sejak zaman kolonial Belanda (1848) sehingga sejak dulu pun kita sudah mempunyai lembaga peradilan agama.

Hukum-hukum publik yang harus sama itu, misalnya, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum lingkungan, hukum pemilu, dan sebagainya. Adapun dalam lapangan hukum perdata, misalnya, ada hukum perkawinan, hukum peribadatan (ritual), hukum waris dan wasiat, hukum penguburan jenazah, dan sebagainya.

Ada juga hukum-hukum agama di bidang keperdataan yang dituangkan di dalam UU tetapi hanya untuk memfasilitasi dan memproteksi bagi yang ingin melakukannya tanpa memberlakukan (mewajibkan atau melarang) substansinya, misalnya UU Zakat, UU Ekonomi Syariah, UU Haji, dan sebagainya, yang keberlakuan substansinya tetap berdasar kesukarelaan. Itu pun tetap harus melalui proses eklektisasi.

Dengan demikian, nilai-nilai hukum agama bisa menjadi sumber hukum dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum (sumber hukum materiil) tetapi tidak otomatis menjadi sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau hukum yang berdiri sendiri.

Sumber hukum materiil tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa menjadi hukum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum.

Nilai-nilai hukum agama apa pun bisa masuk ke dalam hukum publik (nasional) jika disepakati oleh lembaga legislatif dalam proses eklektisasi. Adapun hukum privat (perdata) bisa berlaku dengan tanpa harus dijadikan hukum formal. Untuk hukum-hukum Islam yang tidak bisa menjadi hukum publik, nilai-nilai substantifnya tetap bisa dimasukkan, yakni maqashid al syar’i atau tujuan syariahnya yang meliputi kemaslahatan umum dan tegaknya keadilan.

Di sinilah kemudian Gus Dur pernah memberikan ilustrasi tentang pluralisme (hukum) bahwa ibarat kita hidup di sebuah rumah besar, hukum perdata berlaku sepenuhnya di kamar masing-masing agama, tetapi hukum publiknya adalah hukum bersama (unifikasi) yang dibuat secara eklektis yang disepakati sebagai hukum nasional.

Menjaga keutuhan bangsa

Saya berpendapat bahwa bagian hukum perdata dari syariat Islam  tidak perlu dijadikan bentuk resmi seperti dijadikan UU atau perda. Sebab, tanpa dijadikan UU atau perda pun, hukum perdata Islam sudah berlaku sesuai dengan asasnya, yakni berdasar kesadaran dan  kesukarelaan penganutnya. Ketika saya menyebut bahwa ada gerakan radikal dalam upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, sebenarnya radikal bukan dalam arti terorisme. Radikalisme tidak selalu atau bahkan berbeda dari terorisme.

Di dalam pengertian umum, radikal diartikan, antara lain, sebagai upaya membongkar sistem yang sudah disepakati. Tentu saja hal itu boleh dilakukan, tetapi juga harus melalui proses eklektisasi untuk mengubah sistem itu. Kita perlu menjaga keutuhan bangsa Indonesia ini bukan dengan adu kuat karena besarnya kursi di lembaga perwakilan sebab cara itu bisa menimbulkan perpecahan.

Dulu isu Perda Syariah telah menimbulkan reaksi yang agak mengganggu. Di Manokwari pernah digagas ”Perda Manokwari Kota Injil”. Beberapa waktu yang lalu di Bali ada gerakan ”Bali hanya untuk Hindu” yang disertai larangan adanya kompleks kuburan untuk orang-orang Islam atau hambatan bagi kegiatan komunitas Muslim di beberapa tempat tertentu di sana. Gerakan ini dipelopori oleh anak muda yang kini menjadi pejabat negara sesuai dengan hak konstitusionalnya. Di Kalbar ada ungkapan ”Kalimantan untuk Dayak”.

Saya pernah bertanya kepada anggota DPRD Manokwari yang datang berkonsultasi kepada saya tentang format hukum Manokwari Kota Injil, ”Mengapa Anda punya ide seperti itu?” Jawabnya, ”Kalau di Jawa (dia menyebut Jawa) orang membuat Perda Syariah, masak kami tak boleh membuat Perda Injil?”

Tegakah kita membiarkan bangsa ini terpecah hanya karena itu? Bukankah hukum perdata agama itu sudah berlaku tanpa harus dijadikan UU atau perda? []

KOMPAS, 22 Juni 2018
Moh Mahfud MD | Ketua Umum APHTN-HAN Se-Indonesia; Ketua Dewan Pertimbangan DPP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar