Bineka Embrio
Indonesia
Judul
: Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian
Penulis
: Munawir Aziz
Penerbit
: PT Elex Media Komputindo
Cetakan
: Pertama, 2017
ISBN
: 978-602-04-5100-8
Tebal
: xvii + 220 halaman
Peresensi
: Fathoni Ahmad
Adagium yang begitu
masyhur di Nusantara yang diutarakan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma
yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Mpu Tantular
yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang pujangga ternama Sastra
Jawa. Ia hidup pada pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk).
Bhinneka Tunggal Ika
merupakan sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin
sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno. Kakawin Sutasoma
merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno
dengan aksara Bali.
Bisa dibayangkan,
pada tahun 1300-an atau abad ke-14 tersebut, seorang Mpu Tantular sudah
menyadari keberagaman masyarakat Nusantara zaman Majapahit dulu. Pandangan ini
bukan semata khayalan seorang penyair dan sastrawan, tetapi hasil perenungan
mendalam Mpu Tantular terkait realitas sosial-masyarakat kala itu.
Tulisan ini tidak
bermaksud menerangkan histori Mpu Tantular. Namun, mengawali ulasan buku Merawat
Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian karangan Munawir Aziz
ini agaknya tepat ketika mengingat kembali sosok Mpu Tantular, sang pencetus Bhinneka
Tunggal Ika yang saat ini digenggam erat oleh lambang negara Garuda serta
bangsa Indonesia.
Dalam beberapa
kesempatan, penulis resensi ini seringkali mengungkapkan bahwa krisis identitas
sebuah bangsa salah satunya disebabkan oleh generasinya yang tidak mau atau
bisa jadi tidak paham sejarah bangsanya. Sejarah bangsa dari Republik ini telah
dilalui banyak era dan masa. Di mana pada masa-masa itu menghasilkan banyak
peradaban, tradisi, maupun kebudayaan.
Penulis resensi
teringat konsepsi peradaban dari sejarah bangsa Indonesia yang diutarakan oleh
Prof KH Said Aqil Siroj, Man laisa lahu ardl, laisa lahu tarikh. Wa man
laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh (barangsiapa tidak punya tanah air,
maka tidak punya sejarah. Barangsiapa tidak punya sejarah, maka akan
terlupakan).
Sejarah bangsa yang
dikenal eklektik ini harus menjadi pijakan para generasi muda sebagai modal
merawat kebinekaan yang dimaksud Munawir Aziz dalam buku yang tebalnya 220
halaman itu. Betapa banyak peradaban fisik dan nonfisik yang dikreasikan bangsa
Indonesia. Peradaban yang dimaksud tersebut bukan hanya karya material dan
pemikiran semata, tetapi mewujud sebagai sebuah kebudayaan.
Jika peradaban
dimaksudkan adalah sebuah karya, maka kebudayaan adalah nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Setiap peradaban yang diciptakan oleh bangsa Nusantara
di sejumlah masa tidak lepas dari nilai-nilai adiluhung yang harus mampu
dipahami oleh generasi bangsa masa kini (milenial). Apalagi, tantangan merawat
peradaban bangsa sebagai modal menjaga kebinekaan mendapat resisten deras dari
perkembangan peradaban modern saat ini: dunia digital.
Maka, hadirnya buku Merawat
Kebinekaan ini tidak hanya tetap merawat memori kolektif akan identitas orisinal
bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai upaya peneguhan negara lewat pengamalan
nilai-nilai Pancasila; tidak hanya semangat beragama, tetapi juga harus
dibarengi dengan kemampuan memahami agama; juga menegakkan perdamaian yang
selama ini terjaga dengan baik antaranak bangsa.
Buku ini tidak hanya apik
meramu konteks kehidupan dan realitas sosial kekinian, tetapi juga
mengaitkannya dengan informasi-informasi sejarah. Seakan, dari setumpuk problem
yang kini mendera bangsa Indonesia, penulis buku ingin mengajak masyarakat
belajar terhadap sejarah panjang yang telah dilalui bangsa Nusantara agar tidak
gagap atau bahkan krisis identitas. Apalagi sampai menggerus kebinekaan yang
selama ini sudah terajut dengan baik.
Masyarakat tentu
paham dengan salah satu pembesar Kerajaan Majapahit, Patih Gadjah Mada. Politik
Majapahit memang kala itu ingin ‘memeluk’ Nusantara secara keseluruhan dalam
kerajaan agungnya. Salah satu langkahnya, Gadjah Mada terobsesi menyatukan
Nusantara dengan Sumpah Palapanya.
Menurut penulis buku,
Sumpah Pemuda lahir sebagai bentuk pengabdian, pernyataan, pengharapan, dan
pembuktian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Gadjah Mada dalam Kitab
Negarakertagama anggitan Mpu Prapanca yang dikutip penulis buku dari Slamet
Muljana (Menuju Kemegahan, 2015):
Gadjah Mada berujar: “jika
telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan istirahat. Jika Gurun
(Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara),
Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Sriwijaya (Palembang), Tumasik (Singapura)
telah tunduk, saya baru akan istirahat.”
Sumpah ini diucapkan
sebagai janji sepenuh hati oleh Patih Gadjah Mada pada 1256 Saka atau 1334
Masehi yang diungkap penulis buku di halaman 42. Terlepas dari tujuan politik
Kerajaan Majapahit, gagasan penyatuan Nusantara bukan hanya ambisi semata,
tetapi juga renungan mendalam bahwa bangsa Nusantara merupakan kumpulan
masyarakat yang meskipun berbeda-beda, tetapi mempunyai karakteristik yang
sama. Di titik ini, penulis resensi teringat pernyataan Gus Dur, “Semakin
berbeda kita, semakin kita mengetahui titik-titik persatuan kita.” (Wisdom
Gus Dur, 2014).
Salah satu
karakteristik bangsa Nusantara ialah berpikiran terbuka (eklektik). Sebab itu,
meskpiun Hindu dan Budha adalah agama yang ada terlebih dahulu sebelum Islam,
tetapi ketika para Sufi masuk ke Nusantara membawa misi dakwah, masyarakat
Nusantara tidak begitu saja menolak. Bahkan, dengan dakwah yang ramah dan
substantif, para sufi yang juga dikenal sebagai Wali Songo itu berhasil
menyebarluaskan ajaran Islam dengan damai.
Merunut dakwah yang
dilakukan oleh Wali Songo tersebut, mereka juga tetap menjaga kebinekaan yang
telah berlangsung di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang secara
substansi syariat (maqashidus syariah) tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, tidak mereka tolak dan tidak mereka berangus.
Justru Wali Songo
menggunakan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat sebagai instrumen
dakwahnya. Logika sederhananya, untuk mengganti air kotor yang ada di dalam
gelas, tidak harus mengahncurkan gelasnya.
Sebab itu,
keberagaman tradisi, budaya, suku, bangsa, etnis, ras, maupun keyakinan agama
yang telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia harus tetap terjaga. Meminjam Gus
Dur, Indonesia lahir karena perbedaan, tanpa ada perbedaan tak ada
Indonesia. Karena bineka adalah embrio Indonesia. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar