Abdul Qadir al-Jazairi dan Para Tawanan
Kristen
Ahmad Bouyerdene mengatakan bahwa Amir Abdul
Qadir al-Jazairi (1808-1883 M) adalah, “Saints among the Princess, the
Prince among the Saints—orang suci di antara penguasa, penguasa di antara
orang suci.”
Sebelum masuk dalam kisah-kisah beliau dengan
para tahanan perang, penting untuk mengetahui terlebih dahulu siapa beliau.
Amir Abdul Qadir al-Hasani al-Jazairi adalah seorang syarif (sayyid) dan
mursyid Tarekat Qadiriyyah. Ia hafal Al-Qur’an di usia 14 tahun, menguasai berbagai
disiplin ilmu, dari mulai fiqih, tasawuf, hingga sastra. Ketika Aljazair
dijajah Prancis pada tahun 1832 M, ayahnya diangkat sebagai Amirul Mu’minin
dalam sebuah pertemuan berbagai kabilah wilayah Barat Aljazair. Ayahnya menolak
karena merasa dirinya terlalu tua.
Lima hari kemudian, di Masjid Agung Mascara,
Abdul Qadir al-Jazairi diangkat sebagai Amirul Mu’minin menggantikan
ayahnya. Dalam waktu satu tahun, Abdul Qadir berhasil menyatukan berbagai
kabilan dan wilayah, memberikan perlawanan sengit kepada Prancis yang memaksa
mereka masuk ke meja perundingan dan menyepakati perjanjian damai (Treaty of
Tafna). Setelah itu, Ia mendirikan sebuah negara berdaulat, tapi selalu
menolak pemberian gelar sultan oleh para bawahan dan pengikutnya. Beberapa
tahun kemudian, dengan berbagai intrik dan kelicikannya, Prancis menangkap Amir
Abdul Qadir al-Jazairi dan mengasingkannya di Touloun.
Dalam buku The Life of Abdel Kadir:
Ex-Sultan of The Arabs and Algeria karangan seorang diplomat Inggris,
Kolonel Charles Henry Churchill (1807-1869 M) diceritakan:
Suatu malam seorang wanita muda dengan anak
kecil di tangannya, tergesa-gesa masuk ke tenda Uskup Aljazair di perkemahan
pasukan Prancis. Ia berlutut dan menyentuh kakinya, sembari berucap dengan
wajah penuh duka: “My husband, the father of my child—suamiku, ayah dari
anakku.”
Suaminya menghilang dalam perang, tidak
kembali bersama pasukan lainnya. Ia tidak tahu keadaan suaminya sekarang,
menjadi tawanan atau mati di medan perang.
Uskup itu membayangkan nasib seorang tahanan
Prancis di tangan orang-orang Arab. Karena tersentuh oleh wanita muda itu, ia
menulis surat kepada Abdul Kadir al-Jazairi, yang secara singkat tertulis:
“Tuan tidak mengenalku, tapi profesiku adalah
melayani Tuhan, dan atas namaNya mencintai seluruh manusia, anak-anak dan
saudaranya. Andai aku dapat mengendarai kuda, aku tak takut kegelapan malam
maupun deru badai. Aku akan hadir di depan pintu tenda tuan dan
memanggil-manggil tuan. Jika kesanku tentang tuan tidak salah, tuan tidak akan
menolaknya. Bebaskan saudaraku yang malang itu, tapi aku tidak bisa datang
sendiri.”
“Izinkan saya mengirimkan salah satu murid
untuk menyerahkan surat yang kutulis tergesa-gesa ini kepada tuan... Saya tidak
memiliki emas dan perak untuk ditawarkan kepada tuan. Satu-satunya yang bisa
saya berikan adalah doa yang tulus dan rasa terima kasih yang dalam dari
keluarga yang membuatku menulis surat ini. Berbahagialah orang yang penuh belas
kasih, karena mereka mendapatkan rasa belas kasihan.” (Charles Henry Churchill,
The Life of Abdel Kadir: Ex-Sultan of The Arabs and Algeria, London:
Champan and Hall,hlm 206-207).
Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Jazairi membalas
surat uskup itu dengan mengatakan:
“Aku telah menerima surat tuan, apa yang tuan
minta sama sekali tidak mengejutkanku karena karakter suci tuan. Namun
demikian, izinkan aku mengamati titel ganda tuan, sebagai ‘pelayan Tuhan’ dan
‘teman manusia’. (Dengan dua titel itu), seharusnya tuan menuntut tidak hanya
kebebasan seorang tawanan saja, tapi semua orang Kristen yang telah menjadi
tawanan perang. Dua titel itu membuat tuan tidak akan merasa puas dengan
membebaskan dua atau tiga ratus orang Kristen, karenanya tuan harus
memperbanyak jumlahnya ke hitungan yang sama dengan orang-orang Islam yang
merana di penjara tuan.” (Charles Henry Churchill, hlm 207-208).
Pada 21 Mei 1841 M terjadi pertukaran tawanan
perang di Sidi Khalifa, buah dari peleburan dua hati mulia itu.
Kemudian, Amir Abdul Kader dengan keluasan
hatinya mengirimkan sekawanan domba dan anak-anaknya ketika mendengar uskup itu
mengadopsi anak yatim-piatu akibat perang. Dalam suratnya Ia menulis: “I
send you a flock of goat, with their young who are still sucking. With these
you will be able for some time longer to nourish the little children you have
adopted, and who have lost their mothers—aku mengirimkan tuan sekawanan
domba, dengan anak-anaknya yang masih menyusu. Dengan domba-domba ini, tuan
akan sedikit terbantu untuk memberi makan anak-anak kecil yang telah tuan
adopsi, dan yang telah kehilangan ibu-ibu mereka.” (Charles Henry Churchill,
hlm 208).
Kemurahan-hati Amir Abdul Qadir al-Jazairi
terhadap tawanan perangnya tercatat rapi di berbagai tulisan orang-orang Barat.
Kolonel Churchill menggambarkannya dengan, “almost unparalleled in the
annals of warfare—hampir tak tertandingi dalam sejarah peperangan.” Ia
memberikan kebebasan terhadap setiap tawanan perang untuk melaksanakan ajaran
agamanya, bahkan ia pernah membebaskan semua tawanan perang Prancis dengan
mengatakan, “without the food to properly feed them, Islam did not permit
him to keep them as captives—tanpa makanan untuk diberikan dengan baik,
Islam tidak mengizinkannya untuk menahan mereka sebagai tawanan.”
Kapan pun para tahanan perang berhadapan
dengan Amir Abdul Qadir, mereka diperlakukan seperti tamu. Ia sering mengirimi
mereka makanan dari dapurnya sendiri. Mereka diberikan pakaian yang baik untuk
dikenakan. Salah satu bukti perhatian Amir Abdul Qadir terhadap kebebasan
melaksanakan ajaran agama para tawanan perang, ia menulis surat kepada uskup
Aljazair.
“Kirimkan seorang pendeta ke perkemahanku.
Aku akan berhati-hati menghormatinya sebagai pelayan Tuhan dan wakil Anda. Ia
akan berdoa dengan para tahanan setiap hari, menghibur mereka dan menjadi
penghubung mereka dengan keluarga mereka. Dengan demikian, ia bisa menjadi
sarana bagi mereka untuk mendapatkan uang, pakaian, buku, surat atau segala
sesuatu yang mereka inginkan, agar dapat meringankan sukarnya hidup sebagai
tahanan. Hanya saja, saat ia tiba di sini, ia tidak diperbolehkan menyinggung
pergerakan militer dan keadaan perkemahan dalam surat-suratnya.” (Charles Henry
Churchill, hlm 209).
Karena kemurahan-hatinya, beberapa kali para
tawanan Prancis menyatakan diri hendak memeluk Islam, tidak sedikit dari mereka
yang kemudian memilih Islam sebagai agamanya. Untuk memastikan bahwa tindakan
mereka memilih Islam bukan karena ketakutan dibunuh, ia selalu menjawab:
“If you do so in good faith, well and
good. But if you are needlessly alarmed at your present situation, you will do
wrong. Though you are, and remain Christians, not a hair of your heads shall be
touched. Consider rather what will happen to you should you return to your
countrymen after having renounced your faith. "Would you not be treated as
the most criminal of deserters? How can you hope to benefit by the occasion
should an exchange of prisoners take place?—jika kau melakukannya karena
iktikad baik, itu bagus. Tapi, jika kau melakukannya karena khawatir atas
keadaanmu saat ini, kau salah. Meskipun kau orang Kristen dan tetap menjadi
Kristen, tidak satupun rambut dikepalamu akan disentuh. Petimbangkanlah apa
yang akan terjadi padamu jika kau kembali ke bangsamu setelah meninggalkan
keyakinanmu. “Maukah kau diperlakukan sebagai penjahat paling kriminal?
Bagaimana bisa kau berharap mendapatkan keuntungan dari hal itu ketika
pertukaran tawanan perang terjadi?” (Charles Henry Churchill, hlm 209-210).
Suatu ketika ada seorang tawanan Prancis yang
berbicara dengan berani di depan Amir Abdul Qadir al-Jazairi. Ia mengatakan, “I
will never renounce my religion. You maycut off my head, but make me a
renegade, never!—aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku. Kau boleh
memenggal kepalaku, tapi membuatku murtad, tidak akan pernah terjadi.”
Amir Abdul Qadir tersenyum dan berkata, “Be
perfectly easy, your life is sacred with me, I like to hear such language. You
are a brave and loyal man, and merit my esteem. I honour courage in religion
more than courage in war—tenanglah, hidupmu aman denganku. Aku menyukai
ungkapan semacam itu. Kau adalah seorang pemberani dan loyal, serta pantas
dihargai. Aku lebih menghormati keberanian dalam agama daripada keberanian
dalam perang.” (Charles Henry Churchill, hlm 210).
Ketinggian pekerti dan kelembutan hatinya
membuat petinggi militer Prancis pusing. Mereka memerintahkan para tahanan
Prancis yang dilepaskan oleh Amir Abdul Qadir tidak menceritakan keluhuran
budinya kepada tentara Prancis lainnya. Jika ada yang melanggar, akan dihukum
secara militer. Mereka telah dibuat pusing oleh kekuatan militer Abdul Qadir,
ditambah tidak sedikit tentara Prancis yang beralih agama menjadi muslim.
Banyak sekali kisah keteladanan Amir Abdul
Qadir al-Jazairi. Keteladanan yang diakui seluruh dunia.Di Amerika Serikat
terdapat kota yang mengabadikan namanya, kota Elkader di Iowa. Timothy Davis,
John Thompson dan Chester Sage sebagai pendiri kota itumemilih nama Elkaderpada
tahun 1846. Sebagai bentuk penghormatan atas keberanian, kemurah-hatian dan
kemanusiaan Amir Abdul Qadir al-Jazairi. (www.elkader-iowa.com/Histroy).
William Makepeace Thackeray (1811-1863 M),
seorang sastrawan Inggris, menulis puisi khusus untuk Amir Abdul Qadir
al-Jazairi dengan judul The Caged Hawk at Touloun (Elang Terpenjara di
Touloun) yang menggambarkan keberanian, ketenangan dan kemurahan-hati Amir
Abdul Qadir al-Jazairi, serta kelicikan Prancis dalam menjebaknya hingga Ia
ditangkap dan dipenjara di Touloun, Prancis. (William Makepeace Thackeray, The
Works of William Makepeace Thackeray, vol 25, hlm 19). Bahkan Abraham
Lincoln pernah mengirimkan hadiah sepasang pistol sebagai bentuk penghormatan
kepadanya.
Apa yang dilakukan Amir Abdul Qadir
al-Jazairi bukan tanpa dasar. Ia sedang mempraktikkan ajaran Islam yang luhur,
yang dicontohkan oleh Nabi Agung Muhammad Saw. Berbeda dengan yang dilakukan
ISIS, membunuhi para tahanan perang dan memperbudak mereka sejadi-jadinya.
Bukankah al-Qur’an sendiri mengatakan:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Mereka memberikan makanan yang disukainya
kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (Q.S. al-Insan [76]:
8).
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar