Selasa, 24 Juli 2018

(Tokoh of the Day) Kiai Abu Syuja', Wonosobo - Jawa Tengah


Dakwah Kiai Abu Syuja' di Mojotengah


Kiai Abu Syuja' adalah seorang ulama di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah (wafat tahun 1975). Meskipun sudah lama tiada, hingga saat ini hari wafat beliau masih diperingati dalam wujud haul bersama masyarakat setempat. 

Kiai Abu Syuja’ termasuk pengembang Islam di Wonosobo di dekade 60-70an. Saat Kiai Haji Muntaha Al-Hafidz (wafat 2009) yang juga ulama kharismatik dari Wonosobo masih hidup, Mbah Mun (panggilan KH Muntaha) selalu menyempatkan menghadiri peringatan haulnya.

Mbah Mun menyebutkan bahwa Kiai Abu Syuja' adalah ulama besar pada zamannya. Di antara karomahnya adalah pada suatu saat Mbah Mun tengah menghadiri takhtiman Al-Qur'an dalam rangka peringatan haul Abu Syuja'. Tiba-tiba beliau masuk ke ruang shalat dan melaksanakan shalat di situ. Selesai shalat beliau ngendika ke hadirin baru saja melihat Kiai Abu Syuja' sedang shalat dhuha...

Kebesaran Kiai Abu Syuja' tidak banyak terekspos memang, tapi murid Kiai Syuja' bertebaran dimana-mana. Rata-rata yang ngaji dengan K. Abu Syuja’ menjadi kiai di daerah asalnya. 

Kisah Perjuangan

Sepulang dari pesantren, Kiai Abu Syuja' mendapati desa tempat tinggalnya masih memiliki tradisi yang kurang baik antara lain yaitu memberi sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat contohnya di perempatan jalan dan pojok desa. 

Dari cerita yang berkembang turun-temurun konon desa tersebut diawasi oleh sejenis kerbau raksasa yang akan muncul dan merusak desa kalau tidak diberi sesajen berupa kepala kerbau yang ditanam di perempatan jalan dan di sudut kampung. 

Inilah mengapa kampung tempat Kiai Abu Syuja' tinggal dikenal juga dengan nama Munggang Siwarak (Warak=kerbau raksasa). Prosesi dilakukan dengan iringan rebana klasik jawa (dikenal dengan sebutan "terbang") dan tari-tarian. Masyarakat setempat pada saat itu juga masih jauh dari menjalankan syariat agama Islam. 

Menanggapi perilaku masyarakatnya yang belum mencerminkan budaya Islam Kiai Abu Syuja' pun memiliki strategi tersendiri. Ia sengaja mengikuti kegiatan-kegiatan di kampungnya. Perlahan-lahan model doa versi Jawa diganti dengan doa versi arab warisan ulama. 

Setiap hari ia berdakwah kepada masyarakat sekitar lewat pertemuan-pertemuan dan pengajian kecil yang dilaksanakan di rumahnya. 

“Ayo do kumpul-kumpul kene podo ngaji karo wedangan tinimbang do jangongan nang prapatan,” ujarnya kepada para pemuda dan masyarakat setiap kali masuk waktu senja hari.

Bukannya tanpa tantangan, banyak tokoh tradisional yang menentang tindakan Kiai Abu Syuja’. Mereka khawatir ketokohan dan kewibawaan mereka akan pudar seandainya tradisi yang sudah lama berlangsung dihilangkan. Namun dengan kecakapan Kiai Abu Syuja' merangkul mereka baik dengan pemahaman maupun musyawarah perlahan-lahan mereka mulai mengerti dan bahkan akhirnya ada yang malah menjadi pendukung setianya. 

Pada perkembangan selanjutnya, ia menganjurkan kegiatan sesajen diganti dengan seni pencak silat dan tetap diiringi rebana dengan lagu khas shalawatan. Mirip-mirip ketika Rasulullah menerima Islamnya sahabat Umar Bin Khathab dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Mereka yang tadinya menghalangi kemudian menjadi pendukung setia dan berperan sangat signifikan dalam syiar Islam. Termasuk berperan aktif juga dalam hal penggalangan dana pada saat pembangunan masjid dan pesantren. 

Akhirnya setelah berganti satu generasi agama Islam telah menampakkan sinarnya di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, khususnya di wilayah utara. Masjid-masjid berdiri cukup megah dan selalu dilakukan renovasi. Pesantren bertebaran di mana-mana. 

Hingga kini peringatan Haul Simbah Kiai Abu Syuja' dilaksanakan setiap tahun yang dibersamakan dengan Haflah Khatmil Qur'an dan haul Masyarakat. 

Kita patut meneladani dan melanjutkan perjuangan ulama terdahulu seperti K. Abu Syuja’. Meskipun tantangan semakin berat baik langsung maupun tidak langsung. Semoga bisa tetap menjadi manusia yang mikul dhuwur mendem jero (mengangkat kebaikannya tinggi tinggi dan mengubur kesalahannya dalam-dalam) kepada para ushul furu' (leluhur). []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar