Dakwah Kiai Abu
Syuja' di Mojotengah
Kiai Abu Syuja'
adalah seorang ulama di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah (wafat tahun 1975).
Meskipun sudah lama tiada, hingga saat ini hari wafat beliau masih diperingati
dalam wujud haul bersama masyarakat setempat.
Kiai Abu Syuja’
termasuk pengembang Islam di Wonosobo di dekade 60-70an. Saat Kiai Haji Muntaha
Al-Hafidz (wafat 2009) yang juga ulama kharismatik dari Wonosobo masih hidup,
Mbah Mun (panggilan KH Muntaha) selalu menyempatkan menghadiri peringatan
haulnya.
Mbah Mun menyebutkan
bahwa Kiai Abu Syuja' adalah ulama besar pada zamannya. Di antara karomahnya
adalah pada suatu saat Mbah Mun tengah menghadiri takhtiman Al-Qur'an dalam
rangka peringatan haul Abu Syuja'. Tiba-tiba beliau masuk ke ruang shalat dan
melaksanakan shalat di situ. Selesai shalat beliau ngendika ke hadirin baru
saja melihat Kiai Abu Syuja' sedang shalat dhuha...
Kebesaran Kiai Abu
Syuja' tidak banyak terekspos memang, tapi murid Kiai Syuja' bertebaran
dimana-mana. Rata-rata yang ngaji dengan K. Abu Syuja’ menjadi kiai di daerah
asalnya.
Kisah Perjuangan
Sepulang dari
pesantren, Kiai Abu Syuja' mendapati desa tempat tinggalnya masih memiliki
tradisi yang kurang baik antara lain yaitu memberi sesajen di tempat-tempat
yang dianggap keramat contohnya di perempatan jalan dan pojok desa.
Dari cerita yang
berkembang turun-temurun konon desa tersebut diawasi oleh sejenis kerbau
raksasa yang akan muncul dan merusak desa kalau tidak diberi sesajen berupa
kepala kerbau yang ditanam di perempatan jalan dan di sudut kampung.
Inilah mengapa
kampung tempat Kiai Abu Syuja' tinggal dikenal juga dengan nama Munggang
Siwarak (Warak=kerbau raksasa). Prosesi dilakukan dengan iringan rebana klasik
jawa (dikenal dengan sebutan "terbang") dan tari-tarian. Masyarakat
setempat pada saat itu juga masih jauh dari menjalankan syariat agama
Islam.
Menanggapi perilaku
masyarakatnya yang belum mencerminkan budaya Islam Kiai Abu Syuja' pun memiliki
strategi tersendiri. Ia sengaja mengikuti kegiatan-kegiatan di kampungnya.
Perlahan-lahan model doa versi Jawa diganti dengan doa versi arab warisan
ulama.
Setiap hari ia
berdakwah kepada masyarakat sekitar lewat pertemuan-pertemuan dan pengajian
kecil yang dilaksanakan di rumahnya.
“Ayo do kumpul-kumpul
kene podo ngaji karo wedangan tinimbang do jangongan nang prapatan,” ujarnya
kepada para pemuda dan masyarakat setiap kali masuk waktu senja hari.
Bukannya tanpa
tantangan, banyak tokoh tradisional yang menentang tindakan Kiai Abu Syuja’.
Mereka khawatir ketokohan dan kewibawaan mereka akan pudar seandainya tradisi
yang sudah lama berlangsung dihilangkan. Namun dengan kecakapan Kiai Abu Syuja'
merangkul mereka baik dengan pemahaman maupun musyawarah perlahan-lahan mereka
mulai mengerti dan bahkan akhirnya ada yang malah menjadi pendukung
setianya.
Pada perkembangan
selanjutnya, ia menganjurkan kegiatan sesajen diganti dengan seni pencak silat
dan tetap diiringi rebana dengan lagu khas shalawatan. Mirip-mirip ketika
Rasulullah menerima Islamnya sahabat Umar Bin Khathab dan Hamzah bin Abdul
Muthalib. Mereka yang tadinya menghalangi kemudian menjadi pendukung setia dan
berperan sangat signifikan dalam syiar Islam. Termasuk berperan aktif juga
dalam hal penggalangan dana pada saat pembangunan masjid dan pesantren.
Akhirnya setelah
berganti satu generasi agama Islam telah menampakkan sinarnya di Kabupaten
Wonosobo, Jawa Tengah, khususnya di wilayah utara. Masjid-masjid berdiri cukup
megah dan selalu dilakukan renovasi. Pesantren bertebaran di mana-mana.
Hingga kini
peringatan Haul Simbah Kiai Abu Syuja' dilaksanakan setiap tahun yang
dibersamakan dengan Haflah Khatmil Qur'an dan haul Masyarakat.
Kita patut meneladani
dan melanjutkan perjuangan ulama terdahulu seperti K. Abu Syuja’. Meskipun
tantangan semakin berat baik langsung maupun tidak langsung. Semoga bisa tetap
menjadi manusia yang mikul dhuwur mendem jero (mengangkat kebaikannya tinggi
tinggi dan mengubur kesalahannya dalam-dalam) kepada para ushul furu'
(leluhur). []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar