Rabu, 04 Juli 2018

(Hikmah of the Day) Ketika Khalifah Umar Bebaskan Yahudi dari Kewajiban Pajak


Ketika Khalifah Umar Bebaskan Yahudi dari Kewajiban Pajak

Dalam Kitâb al-Kharâj karya Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari (w. 798 M), sahabat dan murid utama Imam Abu Hanifah, terdapat sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Khattab dan seorang Yahudi tua. Dalam kitab itu diceritakan:

مرّ عمر بن الخطاب رضي الله عنه بباب قوم وعليه سائل يسأل: شيخ كبير ضرير البصر، فضرب عضده من خلفه وقال: من أي أهل الكتاب أنت؟ قال: يهودي، قال: فما ألجأك إلي ما أرى؟ قال: أسأل الجزية والحاجة والسن، قال: فأخذ عمر بيده وذهب به إلى منزله فرضخ له بشيء من المنزل، ثم أرسل إلى خازن بيت المال فقال: انظر هذا وضرباءه فوالله ما أنصفناه، أن أكلنا شبيبته ثم نخذله عند الهرم ‏﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ﴾ والفقراء هم المسلمون، وهذا من المساكين من أهل الكتاب، ووضع عنه الجزية وعن ضربائه

Sayyidina Umar bin Khattab ra melintasi pintu rumah suatu kaum dan menemukan seorang peminta-minta tua yang penglihatannya telah terganggu. Beliau menepuk punggungnya dari belakang dan bertanya: “Tuan dari ahli kitab golongan manakah?”

Ia menjawab: “Yahudi.”

Khalifah Umar bertanya lagi: “Apa yang memaksa tuan melakukan apa yang aku lihat ini?”

“Aku meminta-minta agar dapat membayar jizyah, memenuhi kebutuhan hidup, dan karena usia tua (sehingga tidak mampu lagi bekerja),” jawabnya.

Khalifah Umar menggenggam lengannya. Beliau membawa laki-laki tua itu pulang ke rumahnya (Umar) danmemberikan sesuatu dari rumahnya kepadanya. Kemudian beliau membawanya kepada penjaga Baitul Mal dan berkata: 

“Uruslahorang ini dan orang-orang yang sepertinya. Demi Allah, kita tidak berlaku adil karena kita telah memakan jerih payah masa mudanya (membayar jizyah), kemudian kita mengabaikannya ketika dia telah mencapai usia tua.”

Lalu Khalifah Umar menyitir sebuah ayat dalam al-Qur’an dan menjelaskan tafsirnya (Q.S. al-Taubah [9]: 60): “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin....” Orang-orang fakir itu adalah kaum muslimin, dan orang ini adalah orang miskin dari golongan ahli kitab.”

Kemudian Khalifah Umar melepaskan beban jizyah darinya dan dari orang-orang yang memiliki keadaan yang sama dengannya. (Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, Kitab al-Kharaj, Beirut: Darul Ma’rifah, 1979, hlm 126).

Kemurahan hati dan keadilan Sayyidina Umar ra telah masyhur dan banyak diceritakan oleh umat Islam dari generasi ke generasi. Kisah-kisahnya memberikan inspirasi luar biasa, mengandung banyak makna dan arti yang perlu digali lebih dalam. Ia dijuluki al-faruq oleh Nabi Muhammad Saw karena kemampuannya dalam farraqa baina al-haq wa al-bathil (membedakan antara yang hak dan yang batil). 

Ia adalah khalifah kedua setelah Sayyidina Abu Bakar ra dan satu-satunya khalifah yang dimasukkan Michael H. Hart dalam bukunya yang terkenal The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History (100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah). Ia menduduki ranking ke-52, di atas Thomas Jefferson, Julius Caesar dan Sigmund Freud. 

Sayyidina Umar menerapkan keadilan tanpa pandang bulu, tidak perduli latar belakang, suku, kedudukan maupun agamanya. Jika orang itu bersalah, Ia akan menghukumnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika orang itu benar, Ia akan mendukungnya sepenuh hati. 

Karena itu, ketika Ia berjumpa dengan pengemis tua Yahudi yang meminta-minta kesana-kemari agar mampu membayar jizyah (pajak dzimmi), memenuhi kebutuhan hidup karena usianya yang telah menua, Sayyidina Umar membawanya pulang, memberinya makan. Kemudian Ia membawanya ke Baitul Mal dan memerintahkan orang yang bertugas untuk mengurus pengemis tua itu, bukan di saat itu saja, tapi selama pengemis tua itu hidup.Tidak berhenti sampai di situ, Sayyidina Umar membuat kebijakan baru, jizyah dihapuskan untuk orang yang keadaanya sama dengan pengemis tua itu.

Ia memandang hal itu tidak adil, ketika kaum dzimmi itu masih muda dan mampu menghasilkan upah untuk membayar jizyah, pemerintah mengambil dan menikmatinya. Kemudian, ketika mereka telah tua dan tak lagi produktif, pemerintah menelantarkannya. Tidak hanya itu, pemerintah masih memaksa mereka untuk membayarnya, tanpa memperdulikan keadaan mereka. 

Hal ini menjelaskan bahwa keadilan dankemurahan hati Sayyidina Umar saling melengkapi dan mengisi satu sama lainnya. Keadilannya berasal dari kemurahan-hatinya dan kemurahan-hatinya berasal dari keadilannya. Karena alasan itu, Ia selalu berhati-hati dalam memutuskan dan memandang sesuatu. Sayyidina Abdullah bin Abbas ra menggambarkan khalifah Umar seperti burung yang selalu waspada di setiap langkahnya dari perangkap dunia—kana ka al-thair al-hidzri alladzi kana lahu bi kulli thariqin syarakan. (Ibnu Jauzi, Manaqib Umar bin Khattab, hlm 153).

Di samping itu, kisah di atas memberikan gambaran bahwa jizyah adalah pajak biasa yang jumlahnya seringkali lebih rendah dari zakat. Diwajibkan hanya untuk yang mampu membayarkannya. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat bahwa la jizyata ‘ala al-faqir al-‘ajiz ‘an ada’iha—tidak ada jizyah untuk kaum dzimmi fakir yang tidak mampu membayarnya. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Riyadl: Darul ‘Alim al-Kutub, juz 13, hlm 219).

Dengan demikian, jizyah adalah pajak yang dibayarkan untuk kemajuan bersama, tidak hanya dinikmati oleh umat Islam, tapi seluruh warga negara yang tinggal di bawah kekuasaan Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin.

Semoga kita pada umumnya dan para pemimpin kita pada khususnya dapat meneladani keluhuran budi dan ketegasan pekerti Khalifah Umar bin Khattab. Wallahu a’lam. []

Muhammad Afiq Zahara, Alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar