Ketika Khalifah Umar
Bebaskan Yahudi dari Kewajiban Pajak
Dalam Kitâb al-Kharâj karya Imam Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari (w. 798 M), sahabat dan murid utama Imam Abu
Hanifah, terdapat sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Khattab dan seorang
Yahudi tua. Dalam kitab itu diceritakan:
مرّ
عمر بن الخطاب رضي الله عنه بباب قوم وعليه سائل يسأل: شيخ كبير ضرير البصر، فضرب
عضده من خلفه وقال: من أي أهل الكتاب أنت؟ قال: يهودي، قال: فما ألجأك إلي ما أرى؟ قال: أسأل الجزية والحاجة والسن،
قال: فأخذ عمر بيده وذهب به إلى منزله فرضخ له بشيء من المنزل، ثم أرسل إلى خازن
بيت المال فقال: انظر هذا وضرباءه فوالله ما أنصفناه، أن أكلنا شبيبته ثم نخذله
عند الهرم ﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ﴾ والفقراء هم
المسلمون، وهذا من المساكين من أهل الكتاب، ووضع عنه الجزية وعن ضربائه
Sayyidina Umar bin Khattab ra melintasi pintu
rumah suatu kaum dan menemukan seorang peminta-minta tua yang penglihatannya
telah terganggu. Beliau menepuk punggungnya dari belakang dan bertanya: “Tuan
dari ahli kitab golongan manakah?”
Ia menjawab: “Yahudi.”
Khalifah Umar bertanya lagi: “Apa yang
memaksa tuan melakukan apa yang aku lihat ini?”
“Aku meminta-minta agar dapat membayar
jizyah, memenuhi kebutuhan hidup, dan karena usia tua (sehingga tidak mampu
lagi bekerja),” jawabnya.
Khalifah Umar menggenggam lengannya. Beliau
membawa laki-laki tua itu pulang ke rumahnya (Umar) danmemberikan sesuatu dari
rumahnya kepadanya. Kemudian beliau membawanya kepada penjaga Baitul Mal dan
berkata:
“Uruslahorang ini dan orang-orang yang
sepertinya. Demi Allah, kita tidak berlaku adil karena kita telah memakan jerih
payah masa mudanya (membayar jizyah), kemudian kita mengabaikannya ketika dia
telah mencapai usia tua.”
Lalu Khalifah Umar menyitir sebuah ayat dalam
al-Qur’an dan menjelaskan tafsirnya (Q.S. al-Taubah [9]: 60): “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin....”
Orang-orang fakir itu adalah kaum muslimin, dan orang ini adalah orang miskin
dari golongan ahli kitab.”
Kemudian Khalifah Umar melepaskan beban
jizyah darinya dan dari orang-orang yang memiliki keadaan yang sama dengannya.
(Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, Kitab al-Kharaj, Beirut: Darul
Ma’rifah, 1979, hlm 126).
Kemurahan hati dan keadilan Sayyidina Umar ra
telah masyhur dan banyak diceritakan oleh umat Islam dari generasi ke generasi.
Kisah-kisahnya memberikan inspirasi luar biasa, mengandung banyak makna dan
arti yang perlu digali lebih dalam. Ia dijuluki al-faruq oleh Nabi Muhammad Saw
karena kemampuannya dalam farraqa baina al-haq wa al-bathil (membedakan antara
yang hak dan yang batil).
Ia adalah khalifah kedua setelah Sayyidina
Abu Bakar ra dan satu-satunya khalifah yang dimasukkan Michael H. Hart dalam
bukunya yang terkenal The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in
History (100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah). Ia menduduki ranking
ke-52, di atas Thomas Jefferson, Julius Caesar dan Sigmund Freud.
Sayyidina Umar menerapkan keadilan tanpa
pandang bulu, tidak perduli latar belakang, suku, kedudukan maupun agamanya.
Jika orang itu bersalah, Ia akan menghukumnya sesuai dengan aturan yang
berlaku. Jika orang itu benar, Ia akan mendukungnya sepenuh hati.
Karena itu, ketika Ia berjumpa dengan
pengemis tua Yahudi yang meminta-minta kesana-kemari agar mampu membayar jizyah
(pajak dzimmi), memenuhi kebutuhan hidup karena usianya yang telah menua,
Sayyidina Umar membawanya pulang, memberinya makan. Kemudian Ia membawanya ke
Baitul Mal dan memerintahkan orang yang bertugas untuk mengurus pengemis tua
itu, bukan di saat itu saja, tapi selama pengemis tua itu hidup.Tidak berhenti
sampai di situ, Sayyidina Umar membuat kebijakan baru, jizyah dihapuskan untuk
orang yang keadaanya sama dengan pengemis tua itu.
Ia memandang hal itu tidak adil, ketika kaum
dzimmi itu masih muda dan mampu menghasilkan upah untuk membayar jizyah,
pemerintah mengambil dan menikmatinya. Kemudian, ketika mereka telah tua dan
tak lagi produktif, pemerintah menelantarkannya. Tidak hanya itu, pemerintah
masih memaksa mereka untuk membayarnya, tanpa memperdulikan keadaan
mereka.
Hal ini menjelaskan bahwa keadilan
dankemurahan hati Sayyidina Umar saling melengkapi dan mengisi satu sama
lainnya. Keadilannya berasal dari kemurahan-hatinya dan kemurahan-hatinya
berasal dari keadilannya. Karena alasan itu, Ia selalu berhati-hati dalam
memutuskan dan memandang sesuatu. Sayyidina Abdullah bin Abbas ra menggambarkan
khalifah Umar seperti burung yang selalu waspada di setiap langkahnya dari
perangkap dunia—kana ka al-thair al-hidzri alladzi kana lahu bi kulli thariqin
syarakan. (Ibnu Jauzi, Manaqib Umar bin Khattab, hlm 153).
Di samping itu, kisah di atas memberikan
gambaran bahwa jizyah adalah pajak biasa yang jumlahnya seringkali lebih rendah
dari zakat. Diwajibkan hanya untuk yang mampu membayarkannya. Jumhur ulama dari
golongan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat bahwa la
jizyata ‘ala al-faqir al-‘ajiz ‘an ada’iha—tidak ada jizyah untuk kaum dzimmi
fakir yang tidak mampu membayarnya. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,
Riyadl: Darul ‘Alim al-Kutub, juz 13, hlm 219).
Dengan demikian, jizyah adalah pajak yang
dibayarkan untuk kemajuan bersama, tidak hanya dinikmati oleh umat Islam, tapi
seluruh warga negara yang tinggal di bawah kekuasaan Nabi dan Khulafa’
al-Rasyidin.
Semoga kita pada umumnya dan para pemimpin
kita pada khususnya dapat meneladani keluhuran budi dan ketegasan pekerti
Khalifah Umar bin Khattab. Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, Alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar