Kisah Pengembaraan
Intelektual KH Sahal Mahfudh
KH Sahal Mahfudh
memulai pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyyah (1943-1949) dan Madrasah
Tsanawiyah (1950-1953) di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM). Masa kecil
Kiai Sahal penuh dengan dunia keilmuan. Ia belajar ilmu-ilmu agama seperti
nahwu, shorof, tafsir, hadis, balaghah, dan sebagainya, dan ilmu-ilmu umum
seperti ilmu hisab, bahasa Melayu, dan bahasa Inggris. Kiai Sahal tidak puas
dengan dua bahasa tersebut, ia tertarik untuk menguasai bahasa Belanda.
Kemudian, ia meminta anaknya Camat Margoyoso yang notabennya mahir berbahasa
Belanda untuk mengajarinya.
Setelah menamatkan
pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah di PIM, Kiai Sahal melanjutkan
pengembaraan intelektualnya ke beberapa pesantren yang ada di Jawa Tengah, Jawa
Timur, bahkan sampai ke Makkah untuk berguru kepada Syekh Yasin al-Fadani.
Kiai Sahal belajar di
Pesantren Bendo Pare pada tahun 1953-1957, Kediri, di bawah asuhan Kiai
Muhajir. Kiai Muhajir adalah seorang yang istiqomah mengajarkan kitab karya
Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin. Di pesantren inilah Kiai Sahal berkenalan dan
mendalami ilmu tasawuf.
Di Pesantren Bendo
pula Kiai Sahal pernah membuat teman-temannya murka kepadanya karena ia
berlangganan koran dan membacanya di pesantren. Padahal waktu itu, santri
dilarang membaca buku-buku yang selain dari kitab yang disediakan di pesantren.
Setelah ia ketahuan, kemudian teman-temannya melaporkannya kepada Kiai Muhajir.
Kiai Sahal dipanggil dan ditanyai Kiai Muhajir mengapa ia membaca koran –
sesuatu yang dilarang di pesantren tersebut.
Kiai Sahal beralasan
bahwa dengan membaca koran, santri bisa mengetahui informasi terkait dengan
perkembangan zaman. Kalau seandainya santri tidak melek informasi, maka mereka
akan mudah diombang-ambing oleh zaman dan perkembangan. Setelah mendengar jawaban
Kiai Sahal tersebut, Kiai Muhajir malah meminta Kiai Sahal untuk bersedia
membacakan berita untuknya.
Saat di Pesantren
Bendo, kegiatan sehari-harinya adalah belajar, mengaji, membaca, dan mengajar
kitab. Sebagaimana waktu belajar di Mathali’ul Falah, Kiai Sahal juga merasa
‘kurang puas’ dengan ilmu-ilmu agama yang diajarkan di Pesantren Bendo ini. Ia
merasa perlu untuk menguasai ilmu-ilmu umum yang tidak diajarkan di pesantren.
Maka dari itu, ia mengikuti beberapa kursus pelajaran seperti tata negara, administrasi,
bahasa Inggris, dan lainnya yang diselenggarakan di luar pondok.
Hafsah, tutor Kiai
Sahal dalam ilmu-ilmu umum tersebut, memiliki latar belakang Muhammadiyah.
Meski sang murid berlatar belakang NU dan sang tutor berlatar belakang
Muhammadiyah, itu tidak membuat proses belajar mengajar menjadi canggung dan
ewuh pakewuh. Pola pengajarannya berlangsung dengan cair.
Setelah boyongan dari
Pesantren Bendo, Kiai Sahal meneruskan pertualangan intelektualnya ke Pesantren
Al-Anwar Sarang, Rembang –sebagaimana arahan dari sang paman KH. Abdullah
Salam. Saat itu, Pesantren Al-Anwar Sarang diasuh secara kolektif kolegial. Ada
tiga orang yang menjadi pengasuh, yaitu Mbah Ahmad, Mbah Imam, dan Mbah Zubair
(ayahanda dari KH. Maemun Zubair).
KH Abdullah Salam
memberikan target kepada Kiai Sahal untuk menguasai ilmu ushul fikih selama ia
belajar di Pesantren Sarang. Kurang lebih selama 3,5 tahun (1957-1960) Kiai
Sahal belajar kepada Mbah Ahmad dan Mbah Zubair serta memperdalam ilmu ushul
fikih.
Mbah Zubair memberikan
empat hari dalam seminggu kepada Kiai Sahal untuk mengaji kepadanya, dan itu
tidak ditentukan waktunya. Saat Mbah Zubair memanggilnya untuk mengaji
kepadanya, Kiai Sahal harus siap kapan pun itu. Sehingga dengan ini, Kiai Sahal
harus stand by 24 jam.
Hubungan Kiai Sahal
dan Mbah Zubair begitu dekat. Bahkan ada santri yang menyebut kalau Kiai Sahal
itu santri kesayangannya Mbah Zubair. Hubungan tersebut membuat santri lain
cemburu dengan Kiai Sahal. Kemudian santri tersebut meminta izin kepada Kiai
Sahal untuk ikut ngaji bareng di rumahnya Mbah Zubair. Setelah sekali mengaji
dengan Mbah Zubair, santri tersebut tidak pernah datang lagi. Ia kapok karena
Mbah Zubair menggunakan bahasa Arab penuh saat mengajar, begitu pun Kiai Sahal
juga memakai bahasa Arab saat bertanya ketika ada hal-hal yang kurang jelas.
Jadi tidak menggunakan bahasa Jawa sama sekali dalam proses belajar mengajar
tersebut.
Sarang benar-benar
menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi Kiai Sahal. Ia tidak hanya belajar ilmu
kepada Mbah Zubair, tetapi ia juga mulai mengajar kitab kepada beberapa santri.
Di Sarang inilah, ia mulai menunjukkan kapasitas keilmuan yang selama ini telah
ia pelajari. Semakin hari, halaqah pengajian Kiai Sahal semakin besar. Tentu
itu ia lakukan setelah mendapatkan izin mengajar dari sang paman Mbah Abdullah
Salam dan sang guru Mbah Zubair.
Saat di Sarang, Kiai
Sahal juga membaca beberapa karya Syekh Yasin al-Fadani, seorang alim asal
Padang yang menjadi Imam di Masjidil Haram. Ia juga berkorespondensi dengan
Syekh Yasin dengan menulis beberapa surat untuknya. Adapun isi suratnya adalah
kritik dan argumentasi Kiai Sahal apabila ia tidak sepakat dengan pendapat
Syekh Yasin yang ditulis di dalam kitab-kitabnya tersebut.
Syekh Yasin
menanggapi Kiai Sahal dengan menulis beberapa surat balasan. Apabila Kiai Sahal
belum puas, ia akan mengirim surat lagi kepada Syekh Yasin untuk minta
penjelasan lebih lanjut. Kiai Sahal mengaku menulis dan menerima surat balasan
dari Syekh Yasin hampir setiap bulan.
Hubungan guru-murid
dengan pola pengajaran surat-menyurat ini pun berjalan semakin erat. Hal ini
terbukti ketika Kiai Sahal berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Saat ia sampai di pelabuhan Jeddah, Syekh Yasin sudah berada di sana untuk
menyambutnya. Ia mengajak Kiai Sahal untuk makan di sebuah restoran di pinggir
pelabuhan.
Syekh Yasin
menyediakan kamar luas yang terletak di bawah rumahnya untuk Kiai Sahal
tinggal. Kiai Sahal bukan hanya menunaikan ibadah haji saat berada di Makkah,
ia juga memanfaatkan waktunya untuk belajar dan berguru kepada Syekh Yasin
al-Fadani secara langsung.
Selepas belajar dari
Makkah, Kiai Sahal diamanati untuk menjadi pengasuh Pesantren Maslakul Huda dan
juga Direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen.
Lahul fatihah.
Waallhu ‘Alam. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar