Rabu, 18 Juli 2018

Kisah Pengembaraan Intelektual KH Sahal Mahfudh


Kisah Pengembaraan Intelektual KH Sahal Mahfudh

KH Sahal Mahfudh memulai pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyyah (1943-1949) dan Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM). Masa kecil Kiai Sahal penuh dengan dunia keilmuan. Ia belajar ilmu-ilmu agama seperti nahwu, shorof, tafsir, hadis, balaghah, dan sebagainya, dan ilmu-ilmu umum seperti ilmu hisab, bahasa Melayu, dan bahasa Inggris. Kiai Sahal tidak puas dengan dua bahasa tersebut, ia tertarik untuk menguasai bahasa Belanda. Kemudian, ia meminta anaknya Camat Margoyoso yang notabennya mahir berbahasa Belanda untuk mengajarinya.

Setelah menamatkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah di PIM, Kiai Sahal melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke beberapa pesantren yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan sampai ke Makkah untuk berguru kepada Syekh Yasin al-Fadani.

Kiai Sahal belajar di Pesantren Bendo Pare pada tahun 1953-1957, Kediri, di bawah asuhan Kiai Muhajir. Kiai Muhajir adalah seorang yang istiqomah mengajarkan kitab karya Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin. Di pesantren inilah Kiai Sahal berkenalan dan mendalami ilmu tasawuf.

Di Pesantren Bendo pula Kiai Sahal pernah membuat teman-temannya murka kepadanya karena ia berlangganan koran dan membacanya di pesantren. Padahal waktu itu, santri dilarang membaca buku-buku yang selain dari kitab yang disediakan di pesantren. Setelah ia ketahuan, kemudian teman-temannya melaporkannya kepada Kiai Muhajir. Kiai Sahal dipanggil dan ditanyai Kiai Muhajir mengapa ia membaca koran – sesuatu yang dilarang di pesantren tersebut.

Kiai Sahal beralasan bahwa dengan membaca koran, santri bisa mengetahui informasi terkait dengan perkembangan zaman. Kalau seandainya santri tidak melek informasi, maka mereka akan mudah diombang-ambing oleh zaman dan perkembangan. Setelah mendengar jawaban Kiai Sahal tersebut, Kiai Muhajir malah meminta Kiai Sahal untuk bersedia membacakan berita untuknya.

Saat di Pesantren Bendo, kegiatan sehari-harinya adalah belajar, mengaji, membaca, dan mengajar kitab. Sebagaimana waktu belajar di Mathali’ul Falah, Kiai Sahal juga merasa ‘kurang puas’ dengan ilmu-ilmu agama yang diajarkan di Pesantren Bendo ini. Ia merasa perlu untuk menguasai ilmu-ilmu umum yang tidak diajarkan di pesantren. Maka dari itu, ia mengikuti beberapa kursus pelajaran seperti tata negara, administrasi, bahasa Inggris, dan lainnya yang diselenggarakan di luar pondok.

Hafsah, tutor Kiai Sahal dalam ilmu-ilmu umum tersebut, memiliki latar belakang Muhammadiyah. Meski sang murid berlatar belakang NU dan sang tutor berlatar belakang Muhammadiyah, itu tidak membuat proses belajar mengajar menjadi canggung dan ewuh pakewuh. Pola pengajarannya berlangsung dengan cair.

Setelah boyongan dari Pesantren Bendo, Kiai Sahal meneruskan pertualangan intelektualnya ke Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang –sebagaimana arahan dari sang paman KH. Abdullah Salam. Saat itu, Pesantren Al-Anwar Sarang diasuh secara kolektif kolegial. Ada tiga orang yang menjadi pengasuh, yaitu Mbah Ahmad, Mbah Imam, dan Mbah Zubair (ayahanda dari KH. Maemun Zubair). 

KH Abdullah Salam memberikan target kepada Kiai Sahal untuk menguasai ilmu ushul fikih selama ia belajar di Pesantren Sarang. Kurang lebih selama 3,5 tahun (1957-1960) Kiai Sahal belajar kepada Mbah Ahmad dan Mbah Zubair serta memperdalam ilmu ushul fikih. 

Mbah Zubair memberikan empat hari dalam seminggu kepada Kiai Sahal untuk mengaji kepadanya, dan itu tidak ditentukan waktunya. Saat Mbah Zubair memanggilnya untuk mengaji kepadanya, Kiai Sahal harus siap kapan pun itu. Sehingga dengan ini, Kiai Sahal harus stand by 24 jam.

Hubungan Kiai Sahal dan Mbah Zubair begitu dekat. Bahkan ada santri yang menyebut kalau Kiai Sahal itu santri kesayangannya Mbah Zubair. Hubungan tersebut membuat santri lain cemburu dengan Kiai Sahal. Kemudian santri tersebut meminta izin kepada Kiai Sahal untuk ikut ngaji bareng di rumahnya Mbah Zubair. Setelah sekali mengaji dengan Mbah Zubair, santri tersebut tidak pernah datang lagi. Ia kapok karena Mbah Zubair menggunakan bahasa Arab penuh saat mengajar, begitu pun Kiai Sahal juga memakai bahasa Arab saat bertanya ketika ada hal-hal yang kurang jelas. Jadi tidak menggunakan bahasa Jawa sama sekali dalam proses belajar mengajar tersebut.

Sarang benar-benar menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi Kiai Sahal. Ia tidak hanya belajar ilmu kepada Mbah Zubair, tetapi ia juga mulai mengajar kitab kepada beberapa santri. Di Sarang inilah, ia mulai menunjukkan kapasitas keilmuan yang selama ini telah ia pelajari. Semakin hari, halaqah pengajian Kiai Sahal semakin besar. Tentu itu ia lakukan setelah mendapatkan izin mengajar dari sang paman Mbah Abdullah Salam dan sang guru Mbah Zubair.

Saat di Sarang, Kiai Sahal juga membaca beberapa karya Syekh Yasin al-Fadani, seorang alim asal Padang yang menjadi Imam di Masjidil Haram. Ia juga berkorespondensi dengan Syekh Yasin dengan menulis beberapa surat untuknya. Adapun isi suratnya adalah kritik dan argumentasi Kiai Sahal apabila ia tidak sepakat dengan pendapat Syekh Yasin yang ditulis di dalam kitab-kitabnya tersebut. 

Syekh Yasin menanggapi Kiai Sahal dengan menulis beberapa surat balasan. Apabila Kiai Sahal belum puas, ia akan mengirim surat lagi kepada Syekh Yasin untuk minta penjelasan lebih lanjut. Kiai Sahal mengaku menulis dan menerima surat balasan dari Syekh Yasin hampir setiap bulan. 

Hubungan guru-murid dengan pola pengajaran surat-menyurat ini pun berjalan semakin erat. Hal ini terbukti ketika Kiai Sahal berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat ia sampai di pelabuhan Jeddah, Syekh Yasin sudah berada di sana untuk menyambutnya. Ia mengajak Kiai Sahal untuk makan di sebuah restoran di pinggir pelabuhan. 

Syekh Yasin menyediakan kamar luas yang terletak di bawah rumahnya untuk Kiai Sahal tinggal. Kiai Sahal bukan hanya menunaikan ibadah haji saat berada di Makkah, ia juga memanfaatkan waktunya untuk belajar dan berguru kepada Syekh Yasin al-Fadani secara langsung. 

Selepas belajar dari Makkah, Kiai Sahal diamanati untuk menjadi pengasuh Pesantren Maslakul Huda dan juga Direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen. 

Lahul fatihah. Waallhu ‘Alam. []

(A Muchlishon Rochmat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar