Kamis, 12 Juli 2018

BamSoet: Belajar dari Dua Tragedi Pelayaran


Belajar dari Dua Tragedi Pelayaran
Oleh: Bambang Soesatyo

PERUBAHAN iklim te­lah mengeskalasi risiko bagi moda transportasi laut. Untuk meminimalisasi po­ten­si kecelakaan, tata kelola ang­kut­an laut harus dibenahi de­ngan fokus pada penegakan di­siplin atau kepatuhan pada pera­turan tentang kese­la­mat­an. Pembenahan pada pel­a­buh­an-pelabuhan kecil di ber­ba­gai pelosok wilayah patut men­dapatkan perhatian khu­sus dari Kementerian Per­hu­bung­an RI.

Sejak pertengahan Juni hing­ga awal Juli 2018 publik di­selimuti kesedihan karena dua tragedi yang terjadi di sektor angkutan laut. Tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Ba­ngun di Danau Toba pada 18 Ju­ni dan tragedi KM Lestari Maju di perairan Selayar, Sulawesi Se­latan pada 3 Juli 2018 me­ne­lan banyak korban jiwa.

Karena faktor kedalaman, pihak ber­we­nang akhirnya memu­tus­kan penghentian pencarian dan upaya meng­angkat korban KM Sinar Baru. Dua tragedi ini ter­jadi akibat kecerobohan ma­nusia. Faktor keselamatan ti­dak di­uta­ma­kan karena oto­ri­tas pela­buhan tidak efektif menjalankan fungsinya.

Memang pembenahan atau per­baikan tata kelola pela­buh­an-pelabuhan kecil nyaris tak tersentuh karena perhatian lebih terfokus pada pelabuhan be­sar atau pelabuhan utama, pe­labuhan pengumpul, dan pe­labuhan pengumpan. Khusus untuk pelabuhan laut yang me­la­yani kegiatan angkutan laut dan  angkutan penyeberangan terkesan minim perhatian. Be­gitu juga untuk pelabuhan sungai dan danau.

Pada pelabuhan-pelabuhan kecil yang bertebaran di ber­ba­gai pelosok wilayah itu, per­hati­an pada aspek keselamatan pe­numpang bisa dibilang cu­kup minim. Manajemen pela­buh­an tidak mampu bersikap tegas untuk menegakan dan menjalankan disiplin pe­la­yar­an. Sebaliknya, bahkan banyak oknum otoritas pada pela­buh­an-pelabuhan kecil itu tampak sangat kompromistis.

Mem­biar­kan saja sebuah kapal mo­tor (KM) kelebihan penum­pang atau muatan lainnya, tak pe­duli pada kondisi kapal atau aspek kelaikan, mengangkut ba­nyak orang tan­pa mani­fes penumpang dan tanpa baju pe­lampung (life jacket), ke­te­ram­pil­­an awak kapal yang apa ada­nya, hingga membiarkan saja sebuah kapal bertolak dari der­maga kendati cuaca sedang buruk.

Kesemrawutan tata kelola pelabuhan seperti itu sudah menjadi keseharian di banyak tempat. Kalkulasi risiko bukan menjadi faktor yang utama. Aspek yang paling dipe­n­ting­kan adalah prinsip saling meng­untungkan antara pemi­lik kapal dan oknum-oknum pada otoritas pelabuhan.

Ten­tang aspek keselamatan, an­dal­an utamanya adalah naluri dan pengalaman nakhoda ka­pal melayari jalur laut yang se­tiap hari dilaluinya. Data-data tentang perkiraan cuaca dari institusi resmi seringkali di­abai­kan. Jadi, dalam konteks ke­se­lamatan, penumpang se­per­ti dalam posisi atau status untung-untungan.

Pada tragedi KM Sinar Ba­ngun di Danau Toba sempat ter­jadi kesimpangsiuran data mengenai jumlah penumpang. Kesimpangsiuran terjadi kare­na kapal tidak me­mi­liki ma­ni­fes. Polisi men­ca­tat 194 pe­num­pang sesuai la­poran ke­luar­ga. Basarnas men­catat 184 penumpang, se­dangkan PT Jasa Raharja men­catat 164 orang. Selain tanpa dokumen ma­nifes penum­pang, kapal itu juga diketahui tidak meme­nuhi standar ke­se­la­matan se­per­ti keterse­dia­an baju pelam­pung.

Pemerintah Kabupaten Si­ma­lungun akhirnya harus me­la­kukan penelusuran untuk me­mastikan jumlah dan nama pe­numpang KM Sinar Bangun. Dari penelusuran itu diketahui bahwa jumlah penumpang KM Sinar Bangun tercatat 188 orang. Data ini diumumkan 1 Juli 2018, diperoleh dari hasil kon­firmasi langsung dengan ke­luarga korban yang anggota ke­luarganya belum ditemukan dan jumlah korban selamat.

KM Lestari Maju yang akhir­nya harus dikandaskan di per­airan Selayar, Kabu­paten Bu­lukumba, Sulawesi Selatan, Se­lasa (3/7) juga me­lakukan ke­cerobohan yang nyaris sama. Berlayar dalam kondisi cuaca buruk dengan kelebihan pe­num­pang. Data manifes yang dicatat oleh otoritas Pelabuhan Bira di Bulukumba hanya me­nye­butkan 139 orang penum­pang. Padahal, jumlah korban yang dievakuasi mencapai 189 orang dengan rincian 34 pe­num­pang meninggal dunia dan 155 orang lain se­lamat.

Agar tragedi seperti ini ti­dak berulang di kemu­di­an hari, pim­pinan DPR men­do­rong Ke­men­te­rian Perhubungan un­tuk membenahi ma­na­jemen pada semua pe­la­buhan. Demi ke­se­lamatan, disip­lin harus di­te­gak­kan tanpa kom­promi. Ke­ten­tuan atau teknis per­sya­rat­an kapal angkutan pe­num­pang pun ha­rus dipenuhi.

Dari tragedi KM Sinar Ba­ngun, masya­ra­kat bisa melihat bahwa manajemen pelabuhan Simanindo kecolongan. Per­ta­ma, hari itu sudah dua kali BMKG mengeluarkan pe­ri­ngat­­­an dini tentang cuaca eks­trem di kawasan Sumatera Uta­ra sebelum berangkatnya KM Sinar Bangun. Peringatan dike­luar­kan Kantor BMKG Suma­te­ra Utara pada pukul 11.00 dan 14.00 WIB. Artinya, KM Sinar Bangun seharusnya tidak di­izinkan berlayar pada saat itu.

Kedua, ada dugaan KM Si­nar Bangun kelebihan muat­an pada saat tenggelam. Ka­pasi­tas angkutnya hanya 43 orang. Tetapi, pada hari tra­gedi itu, KM Sinar Bangun diduga meng­angkut ratusan penum­pang plus puluhan kendaraan roda dua. Di sini terlihat bahwa ma­najemen pengawasan Pela­buhan Si­ma­nindo tidak ber­fung­si de­ngan efektif.

Sekali lagi, pelanggaran atau kelalaian manajemen se­per­ti ini cenderung terjadi di ba­nyak pelabuhan kecil. Maka itu, agar tragedi seperti KM Si­nar Bangun dan KM Lestari Maju tidak berulang di ke­mu­di­an hari, Kementerian Per­hu­bun­g­an ­perlu membenahi ma­najemen semua pelabuhan. Pe­ra­turan harus ditegakkan dan disiplin harus dijalankan tanpa kom­promi.

Perubahan iklim yang ka­dang terasa sangat ekstrem te­lah mengeskalasi risiko pada sek­tor angkutan laut. Semua ope­ra­tor angkutan laut atau otoritas pelabuhan harus pe­duli pada informasi cuaca dari institusi resmi seperi BMKG. Ketika BMKG menyatakan cua­ca sedang buruk, otoritas pe­labuhan harus berani mela­rang kapal-kapal motor berlayar.

Pemerintah harus men­do­rong semua pelabuhan kecil di ber­bagai pelosok wilayah un­tuk menerapkan mana­jemen atau tata kelola yang kekinian (modern). Kemen­terian Per­hu­bungan perlu memberi we­we­nang kepada manajemen pe­la­buhan di daerah-daerah un­tuk me­lakukan audit semua moda transportasi laut yang ber­operasi di perairan Indo­ne­sia. Audit itu hendaknya fokus pada aspek kelaikan kapal, aspek perizinan, dan aspek ke­se­lamatan.

Tragedi di sektor angkutan laut tidak boleh terjadi lagi. Apalagi, hanya karena faktor human error. Penyebab tragedi KM Sinar Baru dan KM Lestari Maju sudah lebih dari cukup un­tuk dijadikan pem­belajaran. Se­karang adalah waktu yang tepat untuk me­lakukan pem­be­nahan tata kelola pada se­mua pelabuhan kecil di ber­ba­gai pelosok. []

KORAN SINDO, 11 Juli 2018
Bambang Soesatyo | Ketua DPR RI/Ketua Badan Bela Negara Pengurus Pusat FKPPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar