Syarat dan Tata Cara
Melakukan Sujud dalam Shalat
Secara bahasa sujud berarti turun dan
condong. Sedangkan menurut syara’ sujud adalah menempelnya dahi orang yang
shalat pada tempat sujudnya.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam shalat
sujud merupakan salah satu rukun fi’li. Sebagai rukun maka orang yang shalat
mau tidak mau harus melakukan sujud. Meninggalkannya atau melakukannya dengan
tidak memenuhi syarat-syaratnya menjadikan shalatnya tidak sah.
Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam
kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan ada 7 (tujuh) syarat yang harus dipenuhi
ketika seorang bersujud dalam shalatnya. Ketujuh syarat tersebut adalah
bersujud di atas tujuh anggota badan, kening atau dahi dalam keadaan terbuka, bertumpu
pada kepala, jatuhnya badan bukan untuk selain sujud, tidak bersujud di atas
sesuatu yang dapat bergerak sebab gerakannya orang yang shalat, tubuh bagian
bawah diangkat lebih tinggi dari tubuh bagian atas, dan tuma’ninah.
Ketujuh syarat di atas oleh Syekh Muhammad
Nawawi Banten diberi penjelasan dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ sebagai berikut:
Pertama, bersujud di atas tujuh anggota
badan. Di dalam pelaksanaannya sujud harus melibatkan 7 (tujuh) anggota badan,
yakni kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki. Ini
berdasarkan oleh hadis yang di antaranya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dimana
Rasulullah SAW bersabda:
أُمِرْتُ
أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ
عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ
Artinya: “Saya diperintah untuk bersujud di
atas tujuh anggota badan, yakni dahi—sambil tangan beliau menunjuk pada
hidungnya--, kedua tangan, kedua kaki, dan ujung-ujung telapak kaki.” (HR. Imam
Bukhari)
Kedua, kening dalam keadaan terbuka. Artinya
ketika sujud tidak boleh ada sesuatu apapun yang menutupi kening kecuali bila
ada udzur atau alasan tertentu seperti adanya rambut yang tumbuh di kening atau
adanya perban yang bila dilepas maka akan menimbulkan bahaya.
Ketiga, bertumpu pada kepala. Artinya ketika
bersujud yang menjadi tumpuan adalah kening, bukan lainnya,di mana beban kepala
menimpa tempatnya sujud. Dalam hal ini Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab
Al-Fiqhul Manhajî memberikan satu gambaran bilamana di bawang kening tersebut
terdapat kapas maka ia akan tertekan dan nampak jelas bekas sujudnya di kapas
tersebut.
Keempat, jatuhnya badan bukan untuk selain
sujud. Artinya turunnya badan ke posisi sujud bukan karena untuk suatu tujuan
selain sujud. Sebagai contoh, ketika orang yang shalat dalam posisi i’tidal
atau berdiri tegak setelah ruku ia didorong oleh anaknya sehingga terjatuh ke
depan pada posisi sujud. Ini artinya turunnya badan pada posisi sujud tersebut
bukan karena mau melakukan sujud tapi karena hal lain yakni terjatuh didorong
oleh anak. Dalam kasus seperti ini bila ia meneruskan sujudnya maka tidak sah.
Ia mesti berdiri lagi untuk kemudian menurunkan badan untuk bersujud.
Kelima, tidak bersujud di atas sesuatu yang
dapat bergerak sebab gerakannya orang yang shalat. Sebagai contoh, orang yang
shalat dengan menggunakan baju koko misalnya, dimana ujung lengannya lebih
lebar. Ketika orang yang shalat ini melakukan gerakan-gerakan shalat dari
berdiri ke ruku’, dari ruku’ ke i’tidal, dan seterusnya maka ujung lengan
bajunya akan ikut bergerak. Itu artinya lengan baju tersebut adalah sesuatu
yang tersambung dengan diri orang yang shalat dan bergerak karena gerakan orang
tersebut.
Bila ketika sujud keningnya berada di atas
ujung lengan baju maka sujudnya menjadi tidak sah karena bersujud di atas
sesuatu yang bersambung dengan dirinya dan dapat bergerak karena gerakannya.
Termasuk juga telapak tangannya sendiri. Bila ia bersujud di atas telapak
tangannya maka sujudnya dianggap tidak sah karena telapak tangan diaanggap
sebagai sesuatu yang bersambung dengannya.
Keenam, tubuh bagian bawah diangkat lebih
tinggi dari tubuh bagian atas. Dengan syarat ini maka orang yang bersujud
posisi pantatnya harus lebih tinggi dari posisi kepala dan kedua pundaknya,
tidak boleh sejajar atau bahkan lebih rendah. Sebagai contoh kasus dalam hal
ini adalah orang yang shalat di anak tangga, dimana posisi kakinya ada di anak
tangga bagian bawah. Pada posisi demikian ketika ia melakukan sujud maka posisi
kepala akan berada di anak tangga yang lebih atas. Bila dengan kondisi demikian
posisi pantat sejajar dengan posisi kepala maka sujudnya tidak sah yang berarti
juga menjadikan shalatnya tidak sah.
Syekh Nawawi memberikan kelonggaran bagi
wanita yang sedang hamil. Bila ia kesulitan melakukan sujud dengan posisi
pantat lebih tinggi dari kepala maka tak mengapa ia melakukannya sebisa yang ia
mampu dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalatnya.
Ketujuh, tuma’ninah. Saat bersujud orang yang
melakukannya harus disertai dengan tuma’ninah, yakni sikap dimana semua anggota
badan terdiam tenang dengan waktu minimal selama orang mengucapkan kalimat
tasbih subhânallâh. Ini juga berarti bahwa waktu paling cepat dalam melakukan
sujud adalah selama orang mengucapkan kalimat tasbih tersebut.Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar