Rabu, 04 Juli 2018

(Ngaji of the Day) Syarat dan Tata Cara Melakukan Sujud dalam Shalat


Syarat dan Tata Cara Melakukan Sujud dalam Shalat

Secara bahasa sujud berarti turun dan condong. Sedangkan menurut syara’ sujud adalah menempelnya dahi orang yang shalat pada tempat sujudnya.

Sebagaimana diketahui bahwa di dalam shalat sujud merupakan salah satu rukun fi’li. Sebagai rukun maka orang yang shalat mau tidak mau harus melakukan sujud. Meninggalkannya atau melakukannya dengan tidak memenuhi syarat-syaratnya menjadikan shalatnya tidak sah.


Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan ada 7 (tujuh) syarat yang harus dipenuhi ketika seorang bersujud dalam shalatnya. Ketujuh syarat tersebut adalah bersujud di atas tujuh anggota badan, kening atau dahi dalam keadaan terbuka, bertumpu pada kepala, jatuhnya badan bukan untuk selain sujud, tidak bersujud di atas sesuatu yang dapat bergerak sebab gerakannya orang yang shalat, tubuh bagian bawah diangkat lebih tinggi dari tubuh bagian atas, dan tuma’ninah.

Ketujuh syarat di atas oleh Syekh Muhammad Nawawi Banten diberi penjelasan dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ sebagai berikut:

Pertama, bersujud di atas tujuh anggota badan. Di dalam pelaksanaannya sujud harus melibatkan 7 (tujuh) anggota badan, yakni kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki. Ini berdasarkan oleh hadis yang di antaranya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dimana Rasulullah SAW bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ 

Artinya: “Saya diperintah untuk bersujud di atas tujuh anggota badan, yakni dahi—sambil tangan beliau menunjuk pada hidungnya--, kedua tangan, kedua kaki, dan ujung-ujung telapak kaki.” (HR. Imam Bukhari)

Kedua, kening dalam keadaan terbuka. Artinya ketika sujud tidak boleh ada sesuatu apapun yang menutupi kening kecuali bila ada udzur atau alasan tertentu seperti adanya rambut yang tumbuh di kening atau adanya perban yang bila dilepas maka akan menimbulkan bahaya.

Ketiga, bertumpu pada kepala. Artinya ketika bersujud yang menjadi tumpuan adalah kening, bukan lainnya,di mana beban kepala menimpa tempatnya sujud. Dalam hal ini Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab Al-Fiqhul Manhajî memberikan satu gambaran bilamana di bawang kening tersebut terdapat kapas maka ia akan tertekan dan nampak jelas bekas sujudnya di kapas tersebut.

Keempat, jatuhnya badan bukan untuk selain sujud. Artinya turunnya badan ke posisi sujud bukan karena untuk suatu tujuan selain sujud. Sebagai contoh, ketika orang yang shalat dalam posisi i’tidal atau berdiri tegak setelah ruku ia didorong oleh anaknya sehingga terjatuh ke depan pada posisi sujud. Ini artinya turunnya badan pada posisi sujud tersebut bukan karena mau melakukan sujud tapi karena hal lain yakni terjatuh didorong oleh anak. Dalam kasus seperti ini bila ia meneruskan sujudnya maka tidak sah. Ia mesti berdiri lagi untuk kemudian menurunkan badan untuk bersujud.

Kelima, tidak bersujud di atas sesuatu yang dapat bergerak sebab gerakannya orang yang shalat. Sebagai contoh, orang yang shalat dengan menggunakan baju koko misalnya, dimana ujung lengannya lebih lebar. Ketika orang yang shalat ini melakukan gerakan-gerakan shalat dari berdiri ke ruku’, dari ruku’ ke i’tidal, dan seterusnya maka ujung lengan bajunya akan ikut bergerak. Itu artinya lengan baju tersebut adalah sesuatu yang tersambung dengan diri orang yang shalat dan bergerak karena gerakan orang tersebut.

Bila ketika sujud keningnya berada di atas ujung lengan baju maka sujudnya menjadi tidak sah karena bersujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya dan dapat bergerak karena gerakannya. Termasuk juga telapak tangannya sendiri. Bila ia bersujud di atas telapak tangannya maka sujudnya dianggap tidak sah karena telapak tangan diaanggap sebagai sesuatu yang bersambung dengannya. 

Keenam, tubuh bagian bawah diangkat lebih tinggi dari tubuh bagian atas. Dengan syarat ini maka orang yang bersujud posisi pantatnya harus lebih tinggi dari posisi kepala dan kedua pundaknya, tidak boleh sejajar atau bahkan lebih rendah. Sebagai contoh kasus dalam hal ini adalah orang yang shalat di anak tangga, dimana posisi kakinya ada di anak tangga bagian bawah. Pada posisi demikian ketika ia melakukan sujud maka posisi kepala akan berada di anak tangga yang lebih atas. Bila dengan kondisi demikian posisi pantat sejajar dengan posisi kepala maka sujudnya tidak sah yang berarti juga menjadikan shalatnya tidak sah.

Syekh Nawawi memberikan kelonggaran bagi wanita yang sedang hamil. Bila ia kesulitan melakukan sujud dengan posisi pantat lebih tinggi dari kepala maka tak mengapa ia melakukannya sebisa yang ia mampu dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalatnya.

Ketujuh, tuma’ninah. Saat bersujud orang yang melakukannya harus disertai dengan tuma’ninah, yakni sikap dimana semua anggota badan terdiam tenang dengan waktu minimal selama orang mengucapkan kalimat tasbih subhânallâh. Ini juga berarti bahwa waktu paling cepat dalam melakukan sujud adalah selama orang mengucapkan kalimat tasbih tersebut.Wallâhu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar