Selasa, 24 Juli 2018

Kang Komar: Being Digital


Being Digital
Oleh: Komaruddin Hidayat

JUDUL di atas terinspirasi dari buku karangan Nicholas Negroponte yang berjudul Being Digital (1995). Tak lama kemudian menyusul buku serupa, Born Digital (2008) karangan Palfrey & Gasser.

Saya tak akan mengupas panjang lebar dua buku yang sangat menarik ini. Tetapi, hanya ingin menggarisbawahi satu aspek saja yang berkaitan dengan fenomena mabuk informasi atau sindrom kelelahan informasi di era digital.

Paling mencolok dari era digital adalah bertemunya data, visual, suara, dan gerak (moving picture). Ketiganya bisa ditampilkan bersama yang berlangsung sangat cepat dan murah, menggeser teknologi analog seperti halnya yang berlalu dalam dunia surat kabar atau buku cetak.

Teknologi digital mampu menyimpan dan meneruskan jumlah data yang sangat besar hanya dalam chip teramat kecil sehingga terjadi ledakan informasi yang implikasinya sangat signifikan dalam belajar siswa dan berkomunikasi. Hanya menggenggam handphone yang terhubung dengan internet, kita bisa belanja dan membaca buku apa saja yang kita minati.

Bahkan kita dibanjiri informasi yang tidak mudah dibedakan antara yang hoaks dan autentik. Karena informasi sangat mudah didapat dan berlangsung sangat cepat, hal ini membuat generasi digital enggan membaca buku tebal, sulit fokus pada satu topik kajian.

Otak dikondisikan untuk melihat dan berpikir berbagai objek yang berubah-ubah tanpa kedalaman. Otak kita selalu terlambat, bahkan tidak mampu mengolah data menjadi informasi keilmuan yang sistematis.

Orang menjadi hidup di dua dunia; maya dan nyata. Ada remaja merasa memiliki ribuan teman di dunia maya, tetapi hidup asosial dalam dunia nyata. Orang merasa punya keleluasaan menuliskan privasi hidupnya dalam blog atau berkomunikasi secara intim dengan lawan jenisnya, seakan itu urusan pribadi.

Padahal tanpa disadari, mereka sudah mengungkapkan wilayah privasinya pada penyimpan dan mengendali data. Berbagai data itu sekali terekam dalam internet tak akan terhapus selamanya dan sangat bisa jadi akan dimanfaatkan untuk tujuan lain.

Sekarang ini ketika suhu politik semakin menghangat, berlangsung perang statement dan manuver politik antarberbagai kekuatan politik di dunia medsos yang melibatkan aktor-aktor agama. Situasi ini telah memunculkan fenomena sindrom kejenuhan informasi.

Beberapa teman mengaku semakin jarang menonton televisi, jarang membaca surat kabar, dan keluar dari WAG (WhatsApp Group) karena merasa lelah dan jenuh membaca ledakan informasi yang sebagian besar dianggap sampah. Muncul budaya copy-paste (copas) yang tidak memerlukan kreativitas dan merenung untuk mengkaji suatu informasi secara mendalam dan rasional.

Berbagai pengelola TV harus berpikir dan bekerja keras bagaimana menarik pemirsa yang semakin terbiasa berpikir pendek dan menyenangi sajian sensasional. Maka ditampilkan acara menampilkan pro-kontra yang semuanya itu tak lebih sebagai tontonan belaka atau adegan-adegan lucu, konyol, dan menghibur.

Itu semua laku karena otak sudah merasa letih dengan informasi yang kadang penuh caci maki, hoaks, dan tidak memedulikan lagi kesantunan. Karena komunikasi di medsos tidak berhadapan secara langsung dan personal seperti di dunia nyata, maka imajinasi dan perasaan apa pun merasa bebas dituangkan ke dalam medsos.

Hampir tak ada lagi rasa sungkan, sopan santun, dan hilang hierarki sosial serta intelektual. Kelelahan informasi ini ditambah lagi oleh beban sosial misalnya jalanan macet, lapangan kerja langka, panggung politik yang gaduh tetapi kurang mendidik dan menawarkan solusi yang menjanjikan perbaikan. []

KORAN SINDO, 20 Juli 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar