Selasa, 24 Juli 2018

(Ngaji of the Day) Tata Cara Ruku’ dan I’tidal dalam Shalat


Tata Cara Ruku’ dan I’tidal dalam Shalat

Sebagaimana diketahui bahwa ruku’ dan i’tidal merupakan rukun fi’li (rukun yang berupa perbuatan) di dalam shalat. Sebagai rukun shalat maka ruku’ dan i’tidal tidak bisa ditinggalkan. Keduanya mesti dikerjakan dengan baik dan benar sesuai aturan yang ada.

Ruku’

Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitabnya Al-Fiqhul Manhajî mendefisinikan ruku’ sebagai merunduknya badan orang yang shalat dengan ukuran sekiranya kedua telapak tangan sampai pada kedua lututnya. Ini adalah posisi minimal orang melakukan ruku’ sebagai rukun shalat. Adapun posisi ruku’ yang sempurna adalah merunduk di mana posisi punggung dan leher sejajar, datar, lurus dan tidak melengkung, kedua betis berdiri tegak dengan kedua lutut dipegang oleh kedua telapak tangan dengan jari-jari terbuka serta diam tenang seraya tiga kali mengucapkan doa:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ

“Subhâna Rabbiyal ‘Adhîmi”

Para ulama menetapkan ruku’ sebagai rukun shalat dengan berdasarkan kepada sabda Rasulullah SAW kepada orang yang beliau ajari shalat:

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا

Artinya: “Kemudian ruku’lah sampai engkau tenang (tuma’ninah) dalam keadaan ruku’.” (HR. Imam Bukhari)

Sebagai rukun di dalam tata cara melakukannya tentu ruku’ memiliki syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang yang sedang shalat. Tidak terpenuhinya salah satu syarat dapat menjadikan ruku’nya tidak sah yang juga berdampak pada tidak sahnya shalat yang sedang dilakukan.

Kitab Al-Fiqhul Manhajî menyebutkan ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi ketika ruku’. Ketiga syarat tersebut adalah:


Pertama, merundukkan tubuh sebagaimana disebut di atas di mana kedua telapak tangan bisa mencapai kedua lutut.

Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari yang menceritakan sifat shalatnya Rasulullah SAW:

وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ

Artinya: “Ketika Rasulullah ruku’ beliau menempatkan kedua (telapak) tangannya pada kedua lututnya. “

Kedua, merunduknya bukan dimaksudkan untuk sesuatu selain ruku’. Sebagai contoh, ketika seorang yang sedang shalat dalam posisi berdiri dan sudah membaca surat Al-Fatihah ia merasa ada yang sakit di kaki bagian bawah lututnya sehingga ia mersa perlu untuk memegangnya. Maka ia merundukkan badan dengan maksud untuk memegang bagian yang sakit tersebut. Bila dalam posisi demikian lalu ia bermaksud untuk sekalian ruku’ maka ruku’ yang seperti ini tidak sah karena ketika ia merunduk niatnya bukan untuk ruku’ tapi untuk tujuan lain. Karena ruku’ tersebut tidak sah maka ia wajib kembali pada posisi berdiri kemudian merundukkan badan untuk ruku’. Bila tidak demikian maka ruku’nya tidak sah yang juga menjadikan shalatnya juga tidak sah.

Ketiga, tuma’ninah. Orang yang melakukan ruku’ harus disertai dengan tuma’ninah yang berarti tubuhnya yang merunduk itu harus tenang terdiam minimal selama bacaan kalimat tasbih subhânallâh. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah di atas.

I’tidal

I’tidal adalah berdiri yang memisahkan antara ruku’ dan sujud. Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ mendefinisikan i’tidal sebagai kembalinya orang yang shalat pada posisi sebelum ia melakukan ruku’, baik kembali pada posisi berdiri (bagi orang yang shalatnya dengan berdiri) ataupun pada posisi duduk (bagi orang yang shalatnya dengan duduk).

Sebagaimana ruku’ i’tidal juga memiliki 3 (tiga) syarat dalam pelaksanaannya. Ketiga syarat tersebut adalah:

Pertama, bangunnya dari ruku’ tidak dimaksudkan untuk tujuan lain selain i’tidal itu sendiri. Penjelasan tentang hal ini dalam contoh kasus sebagaimana dalam hal ruku’.

Kedua, tuma’ninah. Pada saat melakukan i’tidal harus dibarengi dengan tuma’ninah posisi tubuh tegak berdiri dalam keadaan diam dan tenang minimal selama bacaan kalimat tasbih subhânallâh.

Ketiga, i’tidal tidak dilakukan dengan berdiri dalam waktu yang lama melebihi lamanya berdiri pada saat membaca surat Al-Fatihah. Karena i’tidal merupakan rukun yang pendek maka tidak boleh memanjangkannya. 

Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar