Penyucian Negeri
Oleh: Yudi Latif
Baru saja menghikmati momen kesucian Idul Fitri, suasana
kejernihan batin kita segera diuapi polusi persaingan politik. Ibarat embun
yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri kali ini
melahirkan situasi ”kesucian” yang riskan. Pribadi-pribadi boleh saja terlahir
kembali bak embun suci, tetapi relung kehidupan negara tempat mereka bertahan
ialah ruang yang cemar.
Ketercemaran ruang publik itu terjadi karena orang-orang berebut
kepentingan dengan mengabaikan visi kemaslahatan bersama. Banyak orang
merindukan kembali ke fitrah kemanusiaan dengan cara mengingkari fitrah itu
sendiri. Perbedaan menjadi pangkal sengketa. Padahal, perbedaan itu adalah
fitrah (cetakan dasar) kehidupan: agama tidak akan pernah satu, ras dan suku
tidak akan pernah satu, pun golongan (kelas sosial) tidak akan pernah satu.
Konflik kepentingan yang menjadi pangkal sengkarut dalam kehidupan
publik hanya bisa diatasi manakala kita mampu meletakkan perbedaan kepentingan
di atas kesamaan visi.
Namun, kesamaan visi sulit direngkuh dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh suasana saling tidak percaya dan kesenjangan sosial yang akut. Demi pemulihan visi bersama itu diperlukan gerak kembali ke fitrah diri dan negeri, dengan menguatkan basis moral individu dan moral publik, sebagai perigi pemancaran hasrat bersatu dan berbagi.
Namun, kesamaan visi sulit direngkuh dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh suasana saling tidak percaya dan kesenjangan sosial yang akut. Demi pemulihan visi bersama itu diperlukan gerak kembali ke fitrah diri dan negeri, dengan menguatkan basis moral individu dan moral publik, sebagai perigi pemancaran hasrat bersatu dan berbagi.
Moral individu banyak menyuling dari moral agama. Misi utama
keagamaan adalah perbaikan akhlak. Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Pilar utama keparipurnaan
negara pun adalah moral. Saat mempersiapkan kemerdekaan, para pendiri bangsa
saling bertanya, ”Apa yang kita inginkan?”
Jawaban terhadap hal ini diwakili Bung Hatta: ”Aku ingin membangun
negara di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya.” Lantas mereka
menyatakan, ”Tidak ada kebahagiaan tanpa kemerdekaan; tidak ada kemerdekaan
tanpa pemerintahan sendiri; tak ada pemerintahan sendiri tanpa konstitusi; dan akhirnya
tak ada konstitusi tanpa moral.”
Pendiri bangsa bukannya tak punya cacat, tetapi mereka memiliki
modal moral yang kuat. Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim
kolonial pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata, ”Betul banyak
orang yang bertukar haluan, karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci
senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.” Lantas ditambahkan, ”Ketetapan hati
dan keteguhan iman adalah satu conditio
sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau
pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya.”
Kekuatan moral ini pula yang memijarkan rasa pertanggungjawaban
publik. Dalam perdebatan tentang rancangan undang-undang dasar di BPUPKI,
Muhammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul karena
yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar,
maka ada kekhilafan daripada grondwet;
grondwettelijke fout, kesalahan perumusan undang-undang dasar,
besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Dengan kekuatan moral individu seperti itu kita bisa mendirikan
republik dengan moral kolektif yang kuat: Pancasila sebagai dasar negara yang
inklusif dan tahan banting; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yang paling modern pada zamannya, negara persatuan yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan; Bhinneka Tunggal Ika sebagai doktrin dan praksis
multikulturalisme yang kokoh.
Dari manakah kekuatan moral republik itu mereka dapatkan? Dari
kemampuan menangkap api agama, bukan abunya; dari keterlibatan yang khidmat
dengan gelora pergerakan, bukan sekadar lewat jalan pintas popularitas; dari
penghayatan dan empati yang mendalam terhadap penderitaan diri dan sesama,
bukan sekadar lewat proyek pencitraan; dari pemahaman yang jernih dan luas
tentang hakikat kemanusiaan dan kehidupan, bukan pemahaman cetek yang dipungut
dari kunjungan sekilas.
Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, moral individu dan kolektif
bertemu secara salah: institusi negara menjadi arena pertemuan individu yang
bermasalah dengan moral kolektif yang bermasalah. Banyak orang beragama untuk
mendustakannya karena gairah beribadah tak diikuti dengan gairah berbagi
kesejahteraan. Rumah ibadah bersitumbuh diikuti arus masuk aktivis keagamaan ke
kancah politik, tetapi kehidupan negara centang perenang oleh merebaknya
korupsi, kebencian, dan kebohongan. Saat yang sama, kebijakan negara tak
mencerminkan negara persatuan dan keadilan, tetapi didikte oleh kepentingan
perseorangan dan golongan. Demokrasi tak memperkuat rakyat, tetapi memperkuat
oligarki yang menyuburkan korupsi dan menghambat meritokrasi.
Kita termasuk golongan yang kembali sebagai pemenang (minal ’aidin wal faizin)
manakala bisa memulihkan kesucian diri dan negeri dengan menghidupi visi
kenegaraan pendiri bangsa: membangun negara secara penuh tanggung jawab, dengan
kekuatan visi yang melampaui kepentingan sempit disertai integritas moral yang
kuat.
Kembali ke fitrah diri dan negeri merupakan sumber penguatan
tenaga batin untuk mengangkat marwah bangsa. Bung Karno mengingatkan: ”Tidak
ada suatu bangsa dapat berhebat jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman
yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor
satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin mikraj—kenaikan ke atas, supaya
kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang
tidak mempunyai adreng,
adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan
sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).” []
KOMPAS, 28 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar