Kamis, 05 Juli 2018

(Hikmah of the Day) Kiai Mahmud Ihsan dan Penghormatan Terhadap Tamu


Kiai Mahmud Ihsan dan Penghormatan Terhadap Tamu

Belum lama ini saya mendapat kunjungan istimewa dari salah seorang santri senior Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, Kamulan, Trenggalek—atau biasa dikenal juga dengan Pondok Tengah. Karena pesantren tersebut berada “di tengah” diantara pesantren lainnya di Kamulan.Banyak hal menarik yang diceritakan oleh Pak Tauhid, khususnya mengenai sosok KH. M. Mahmud Ihsan. Pak Tauhid adalah santri diera kepengasuhan Mbah Kiai Mahmud.

Sebelum menceritakan hikmah dari Mbah Kiai Mahmud, kita pahami dulu proses sejarah singkat Pondok Tengah. Pondok Tengah ini berdiri sejak tahun 1790. Didirikan oleh Mbah Kiai Ahmad Yunus, putra Mbah Bagus Mukmin, dikenal juga dengan sebutan Sunan Wilis. Pondok Tengah sudah mengalami proses panjang, dari pengasuh ke pengasuh. 

Sepeninggalan Mbah Kiai Yunus, dilanjutkan oleh Kiai Ali Murtadho (Mbah Dho Ali), dilanjutkan lagi oleh KH. Ihsan, lalu dilanjutkan oleh KH. M. Mahmud Ihsan dengan dibantu adik iparnya Kiai Nafi’i. Tahun 1996 Mbah Kiai Mahmud wafat kemudian dilanjutkan oleh putranya KH. Masruhin Mahmud, dan dibantu KH. Thoha Munawwar, dan sekarang kepengasuhan Pondok Tengah dilanjutkan oleh KH. Bahrul Munir dan Kiai Bahaudin Nafi’i. (bisa baca di sini: Pondok Tengah, Pesantren Salaf Sarat Inovasi)

Kembali ke cerita yang disampaikan Pak Tauhid, sebelumnya saya tidak menyangka akan banyak mendapatkan cucuran hikmah dari kisah yang dituturkan Pak Tauhid mengenai Mbah Kiai Mahmud. Salah satu yang diceritakan oleh Pak Tauhid adalah tentang bagaimana Mbah Kiai Mahmud sangat menghormati tamunya, walaupun pada saat itu hidup dalam kesederhanaan dan seadanya, sama sekali tanpa materi.

“Sore itu seorang tamu mengetuk pintu kediaman Mbah Kiai Mahmud, “Assalamu’alaikum”, Mbah Kiai Mahmud membalas salam tamu tersebut dan mempersilakannya masuk. Tamu itu pun langsung mencium tangan Mbah Kiai Mahmud dengan ta’zhim. Setelah itu, Mbah Kiai Mahmud dan tamunya duduk berhadap-hadapan, tamu itu menundukan kepalanya sambil matur (berbicara) dengan nada pelan-pelan.”

“Selang beberapa menit kemudian, nampak Mbah Kiai Mahmud gusar—karena belum juga ada suguhan (sajian). Akhirnya Mbah Kiai Mahmud ke belakang mencari suguhan. Ternyata, sama sekali tidak ada apa-apa, Mbah Kiai Mahmud nampak bingung, yang tersisa hanya satu gelas teh kepunyaan beliau yang baru saja dibuat tadi, dan teh itu adalah sisa terakhir yang dimiliki Mbah Kiai Mahmud. Dengan hati yang ikhlas—keinginan menjamu tamu, Mbah Kiai Mahmud mengambil gelas, dan menuangkan teh itu ke dalam gelas yang baru beliau ambil, teh itu dibagi menjadi dua gelas, satu untuk tamu, satunya lagi untuk Mbah Kiai Mahmud.”

Dari kisah tersebut menyiratkan, keinginan luhur dari Mbah Kiai Mahmud dalam menghormati tamunya, walaupun seadanya. Beliau sebagai seorang kiai yang disegani sama sekali tidak gengsi. Selain menghormati tamunya dengan membagi teh menjadi dua gelas, beliau pun ingin menjaga perasaan tamu. Di mana Mbah Kiai Mahmud tidak menyuguhkan teh itu menjadi satu gelas untuk tamunya, melainkan dibagi menjadi dua, agar tamunya tidak merasa rikuh (malu) untuk meminum suguhan yang disajikan oleh Mbah Kiai Mahmud. Karena keduanya sama-sama meminum teh. 

Pak Tauhid disela-sela ceritanya menjelaskan intisari dari kisah hikmah tersebut, Mbah Kiai Mahmud dengan keadaan sama sekali tidak mempunyai apa-apa, namun memiliki keinginan luhur untuk memuliakan tamu. Pak Tauhid berpesan, jangan melihat dari apa yang disuguhkan oleh Mbah Kiai Mahmud, melainkan lihatlah niat mulia beliau dalam menjamu tamu. 

Dalam keberadaan ekonomi biasa saja pun beliau masih membagi kepemilikannya dengan ikhlas, apalagi jika Mbah Kiai Mahmud berkecukupan, beliau pasti akan memberikan sebanyak-banyaknya untuk tamu dan orang disekitarnya (apalagi kepada orang yang membutuhkan).

Rasulullah Saw Bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mbah Kiai Mahmud sangat menjaga hal tersebut. Beliau selalu berusaha menyuguhkan sajian terbaik yang dimilikinya, tempat yang laik dan penghormatan luar biasa (sumeh/ramah). 

Selain kisah di atas, Pak Tauhid menuturkan kembali kisah menarik dari Mbah Kiai Mahmud, dan membuat saya terhentak sekaligus menaruh kekaguman luar biasa kepada Mbah Kiai Mahmud. 

“Pada sebuah malam, ada seorang tamu yang nampak lelah. Mbah Kiai Mahmud ingin sekali menjamu tamunya tidak hanya dengan hidangan minuman teh saja, melainkan lebih dari sekadar itu.”

“Mbah Kiai Mahmud memanggil santrinya, yaitu Pak Tauhid, dan menyuruh Pak Tauhid untuk melihat apakah ada makanan di dapur. Setelah dilihat, ternyata hanya sisa nasi dan sedikit lauk gereh (ikan asin). Pak Tauhid mendatangi Mbah Kiai Mahmud, dan matur kalau makanan masih ada tapi seadanya. Mbah Kiai Mahmud sebenarnya sudah mengetahui makanan apa yang tersedia. Namun, niat mulianya menggerakan beliau kembali untuk menyuguh tamunya.”

“Kemudian, Mbah Kiai Mahmud memerintahkan Pak Tauhid menyuguhkan semua apa yang ada di tempat makan. Dengan rasa berat hati Pak Tauhid melaksanakan perintah beliau, dalam hati Pak Tauhid, berkecamuk antara malu dan tidak malu, antara pantas dan tidak pantas. Karena hanya makanan seadanya yang disuguhkan. 

Namun, Pak Tauhid mencoba menghilangkan rasa gundahnya, dengan niat “Bismillah ar-Rahman ar-Rahim” Pak Tauhid akhirnya menyuguhkan makanan tadi dihadapan tamu. Tanpa sepengetahuan Mbah Kiai Mahmud, Pak Tauhid menyodorkan piring sembari mengatakan, “Mohon maaf, kalau seadanya, jangan melihat hidangannya, insya Allah ada keberkahan dari makanan ini.” Tamu itu pun terlihat senang dan mengangguk dengan pengarahapannya terhadap Allah SWT.”

Dari kisah itu, tutur Pak Tauhid sepertinya Mbah Kiai Mahmud mengetahui rasa canggung yang dialami Pak Tauhid. Setelah tamu itu pulang, Pak Tauhid langsung ditimbali (dipanggil) Mbah Kiai Mahmud, dan Mbah Kiai Mahmud dawuh (mengatakan), “Tauhid, kamu tahu tidak?” Tanya Mbah Kiai Mahmud. “Nopo, Bah?” tanya Pak Tauhid. “Terlahirnya rasa sombong dalam diri kita dan terlahirnya rasa takabbur dalam diri kita, itu dikarenakan gengsi yang terlalu tinggi.” Terang Mbah Kiai Mahmud dengan lembut.

Mendengar dawuh Mbah Kiai Mahmud, Pak Tauhid menundukan mukanya lebih dalam—merasa malu, dan tidak enak hati. Pak Tauhid merasa tergugah—ternyata dibalik itu semua, ada pesan luar biasa yang ingin disampaikan oleh Mbah Kiai Mahmud. Hilangkanlah kesombongan dalam hatimu dan hilangkanlah takabbur dalam hatimu. Jangan sampai gengsi itu melahirkan sifat-sifat buruk dalam hidupmu. Sehingga menutup kebaikan yang akan keluar dari dirimu, termasuk memuliakan tamu dan menghormati tamu. 

Tuntunan menghidangkan hal terbaik terhadap tamu, bukan berarti menampakan kemegah-megahaan dan memaksakan apa yang tidak kita punya menjadi punya, demi menjaga gengsi kita. melainkan kesungguhan niat kita secara ikhlas menghormati dan memuliakan tamu dengan cara yang baik; menyambut kedatangannya dengan muka yang sumeh, tutur kata yang lemah lembut, dan menyuguhkan sajian terbaik yang kita miliki.

Kisah Mbah Kiai Mahmud tersebut, bisa kita jadikan teladan baik buat kita semua—khususnya niat ikhlas dan tulus beliau. Mbah Kiai Mahmud selalu berusaha menyuguhkan hal terbaik yang beliau miliki tanpa rasa gengsi, karena semuanya diniatkan karena Allah SWT. Tentu, standar apa yang kita miliki (khsusnya secara materi) tidak sama. 

Dengan demikian, berikan hal terbaik dan paling baik dari apa yang kita miliki. Seandainya kita memiliki kemampuan lebih, berilah yang lebih. Yang pasti, jangan sampai apa yang kita berikan diniatkan atas dasar gengsi, sehingga melahirkan rasa sombong dan takabbur. Wallahu a‘lam Bisshawab.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Lukman: 18). []

Aswab Mahasin, Pembaca Setia NU Online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar