Kiai Mahmud Ihsan dan
Penghormatan Terhadap Tamu
Belum lama ini saya
mendapat kunjungan istimewa dari salah seorang santri senior Pondok Pesantren
Hidayatut Thullab, Kamulan, Trenggalek—atau biasa dikenal juga dengan Pondok
Tengah. Karena pesantren tersebut berada “di tengah” diantara pesantren lainnya
di Kamulan.Banyak hal menarik yang diceritakan oleh Pak Tauhid, khususnya
mengenai sosok KH. M. Mahmud Ihsan. Pak Tauhid adalah santri diera kepengasuhan
Mbah Kiai Mahmud.
Sebelum menceritakan
hikmah dari Mbah Kiai Mahmud, kita pahami dulu proses sejarah singkat Pondok
Tengah. Pondok Tengah ini berdiri sejak tahun 1790. Didirikan oleh Mbah Kiai
Ahmad Yunus, putra Mbah Bagus Mukmin, dikenal juga dengan sebutan Sunan Wilis.
Pondok Tengah sudah mengalami proses panjang, dari pengasuh ke pengasuh.
Sepeninggalan Mbah
Kiai Yunus, dilanjutkan oleh Kiai Ali Murtadho (Mbah Dho Ali), dilanjutkan lagi
oleh KH. Ihsan, lalu dilanjutkan oleh KH. M. Mahmud Ihsan dengan dibantu adik
iparnya Kiai Nafi’i. Tahun 1996 Mbah Kiai Mahmud wafat kemudian dilanjutkan
oleh putranya KH. Masruhin Mahmud, dan dibantu KH. Thoha Munawwar, dan sekarang
kepengasuhan Pondok Tengah dilanjutkan oleh KH. Bahrul Munir dan Kiai Bahaudin
Nafi’i. (bisa baca di sini: Pondok Tengah, Pesantren Salaf Sarat Inovasi)
Kembali ke cerita
yang disampaikan Pak Tauhid, sebelumnya saya tidak menyangka akan banyak
mendapatkan cucuran hikmah dari kisah yang dituturkan Pak Tauhid mengenai Mbah
Kiai Mahmud. Salah satu yang diceritakan oleh Pak Tauhid adalah tentang
bagaimana Mbah Kiai Mahmud sangat menghormati tamunya, walaupun pada saat itu
hidup dalam kesederhanaan dan seadanya, sama sekali tanpa materi.
“Sore itu seorang
tamu mengetuk pintu kediaman Mbah Kiai Mahmud, “Assalamu’alaikum”, Mbah Kiai
Mahmud membalas salam tamu tersebut dan mempersilakannya masuk. Tamu itu pun
langsung mencium tangan Mbah Kiai Mahmud dengan ta’zhim. Setelah itu, Mbah Kiai
Mahmud dan tamunya duduk berhadap-hadapan, tamu itu menundukan kepalanya sambil
matur (berbicara) dengan nada pelan-pelan.”
“Selang beberapa
menit kemudian, nampak Mbah Kiai Mahmud gusar—karena belum juga ada suguhan
(sajian). Akhirnya Mbah Kiai Mahmud ke belakang mencari suguhan. Ternyata, sama
sekali tidak ada apa-apa, Mbah Kiai Mahmud nampak bingung, yang tersisa hanya
satu gelas teh kepunyaan beliau yang baru saja dibuat tadi, dan teh itu adalah
sisa terakhir yang dimiliki Mbah Kiai Mahmud. Dengan hati yang ikhlas—keinginan
menjamu tamu, Mbah Kiai Mahmud mengambil gelas, dan menuangkan teh itu ke dalam
gelas yang baru beliau ambil, teh itu dibagi menjadi dua gelas, satu untuk
tamu, satunya lagi untuk Mbah Kiai Mahmud.”
Dari kisah tersebut
menyiratkan, keinginan luhur dari Mbah Kiai Mahmud dalam menghormati tamunya,
walaupun seadanya. Beliau sebagai seorang kiai yang disegani sama sekali tidak
gengsi. Selain menghormati tamunya dengan membagi teh menjadi dua gelas, beliau
pun ingin menjaga perasaan tamu. Di mana Mbah Kiai Mahmud tidak menyuguhkan teh
itu menjadi satu gelas untuk tamunya, melainkan dibagi menjadi dua, agar
tamunya tidak merasa rikuh (malu) untuk meminum suguhan yang disajikan oleh
Mbah Kiai Mahmud. Karena keduanya sama-sama meminum teh.
Pak Tauhid
disela-sela ceritanya menjelaskan intisari dari kisah hikmah tersebut, Mbah
Kiai Mahmud dengan keadaan sama sekali tidak mempunyai apa-apa, namun memiliki
keinginan luhur untuk memuliakan tamu. Pak Tauhid berpesan, jangan melihat dari
apa yang disuguhkan oleh Mbah Kiai Mahmud, melainkan lihatlah niat mulia beliau
dalam menjamu tamu.
Dalam keberadaan
ekonomi biasa saja pun beliau masih membagi kepemilikannya dengan ikhlas,
apalagi jika Mbah Kiai Mahmud berkecukupan, beliau pasti akan memberikan
sebanyak-banyaknya untuk tamu dan orang disekitarnya (apalagi kepada orang yang
membutuhkan).
Rasulullah Saw
Bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah
ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Mbah Kiai Mahmud
sangat menjaga hal tersebut. Beliau selalu berusaha menyuguhkan sajian terbaik
yang dimilikinya, tempat yang laik dan penghormatan luar biasa
(sumeh/ramah).
Selain kisah di atas,
Pak Tauhid menuturkan kembali kisah menarik dari Mbah Kiai Mahmud, dan membuat
saya terhentak sekaligus menaruh kekaguman luar biasa kepada Mbah Kiai
Mahmud.
“Pada sebuah malam,
ada seorang tamu yang nampak lelah. Mbah Kiai Mahmud ingin sekali menjamu
tamunya tidak hanya dengan hidangan minuman teh saja, melainkan lebih dari
sekadar itu.”
“Mbah Kiai Mahmud
memanggil santrinya, yaitu Pak Tauhid, dan menyuruh Pak Tauhid untuk melihat
apakah ada makanan di dapur. Setelah dilihat, ternyata hanya sisa nasi dan
sedikit lauk gereh (ikan asin). Pak Tauhid mendatangi Mbah Kiai
Mahmud, dan matur kalau makanan masih ada tapi seadanya. Mbah Kiai Mahmud
sebenarnya sudah mengetahui makanan apa yang tersedia. Namun, niat mulianya
menggerakan beliau kembali untuk menyuguh tamunya.”
“Kemudian, Mbah Kiai
Mahmud memerintahkan Pak Tauhid menyuguhkan semua apa yang ada di tempat makan.
Dengan rasa berat hati Pak Tauhid melaksanakan perintah beliau, dalam hati Pak
Tauhid, berkecamuk antara malu dan tidak malu, antara pantas dan tidak pantas.
Karena hanya makanan seadanya yang disuguhkan.
Namun, Pak Tauhid
mencoba menghilangkan rasa gundahnya, dengan niat “Bismillah ar-Rahman
ar-Rahim” Pak Tauhid akhirnya menyuguhkan makanan tadi dihadapan tamu. Tanpa
sepengetahuan Mbah Kiai Mahmud, Pak Tauhid menyodorkan piring sembari
mengatakan, “Mohon maaf, kalau seadanya, jangan melihat hidangannya, insya
Allah ada keberkahan dari makanan ini.” Tamu itu pun terlihat senang dan
mengangguk dengan pengarahapannya terhadap Allah SWT.”
Dari kisah itu, tutur
Pak Tauhid sepertinya Mbah Kiai Mahmud mengetahui rasa canggung yang dialami
Pak Tauhid. Setelah tamu itu pulang, Pak Tauhid
langsung ditimbali (dipanggil) Mbah Kiai Mahmud, dan Mbah Kiai
Mahmud dawuh (mengatakan), “Tauhid, kamu tahu tidak?” Tanya Mbah Kiai
Mahmud. “Nopo, Bah?” tanya Pak Tauhid. “Terlahirnya rasa sombong dalam diri
kita dan terlahirnya rasa takabbur dalam diri kita, itu dikarenakan
gengsi yang terlalu tinggi.” Terang Mbah Kiai Mahmud dengan lembut.
Mendengar dawuh Mbah
Kiai Mahmud, Pak Tauhid menundukan mukanya lebih dalam—merasa malu, dan tidak
enak hati. Pak Tauhid merasa tergugah—ternyata dibalik itu semua, ada pesan
luar biasa yang ingin disampaikan oleh Mbah Kiai Mahmud. Hilangkanlah
kesombongan dalam hatimu dan hilangkanlah takabbur dalam hatimu. Jangan sampai
gengsi itu melahirkan sifat-sifat buruk dalam hidupmu. Sehingga menutup
kebaikan yang akan keluar dari dirimu, termasuk memuliakan tamu dan menghormati
tamu.
Tuntunan
menghidangkan hal terbaik terhadap tamu, bukan berarti menampakan
kemegah-megahaan dan memaksakan apa yang tidak kita punya menjadi punya, demi
menjaga gengsi kita. melainkan kesungguhan niat kita secara ikhlas menghormati
dan memuliakan tamu dengan cara yang baik; menyambut kedatangannya dengan muka
yang sumeh, tutur kata yang lemah lembut, dan menyuguhkan sajian terbaik yang
kita miliki.
Kisah Mbah Kiai Mahmud
tersebut, bisa kita jadikan teladan baik buat kita semua—khususnya niat ikhlas
dan tulus beliau. Mbah Kiai Mahmud selalu berusaha menyuguhkan hal terbaik yang
beliau miliki tanpa rasa gengsi, karena semuanya diniatkan karena Allah SWT.
Tentu, standar apa yang kita miliki (khsusnya secara materi) tidak sama.
Dengan demikian,
berikan hal terbaik dan paling baik dari apa yang kita miliki. Seandainya kita
memiliki kemampuan lebih, berilah yang lebih. Yang pasti, jangan sampai apa
yang kita berikan diniatkan atas dasar gengsi, sehingga melahirkan rasa sombong
dan takabbur. Wallahu a‘lam Bisshawab.
“Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Lukman: 18). []
Aswab
Mahasin, Pembaca Setia NU Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar