Rabu, 18 Juli 2018

(Ngaji of the Day) Hukum Qashar Shalat pada Waktu Perjalanan yang Singkat


Hukum Qashar Shalat pada Waktu Perjalanan yang Singkat

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, kita dibolehkan meringkas shalat empat rakaat atau qashar ketika dalam perjalanan dua marhalah untuk meringankan kita. Pertanyaannya, bagaimana bila waktu tempuh perjalanan begitu singkat karena kecepatan kendaraan yang luar biasa? Apakah kita tetap boleh qashar rakaat shalat? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Abdul Lathif – Jakarta

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Allah SWT mengerti bahwa kerap kali kita mengadakan perjalanan ke luar kota untuk sejumlah kepentingan. Untuk itu Allah memberikan rukhshah atau keringanan bagi kita untuk memangkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat.

Hal ini dinyatakan dalam firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 101 berikut ini:

واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة

Artinya, “Apabila kamu berjalan di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu.”

Adapun minimal jarak perjalanan yang membolehkan kita mengaqshar shalat adalah 2 marhalah/16 farsakh (48 mil)/4 barid/perjalanan 2 hari.

Jarak konkretnya ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, dua marhalah berjarak 80,64 km. Sebagian ulama mengatakan, dua marhalah berjarak 88, 704 km. Ulama Hanafiyah menyebut jarak tempuh 96 km untuk dua marhalah. Sementara mayoritas ulama mengatakan, dua marhalah berjarak 119,9 km.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama perihal jarak tempuh, dua marhalah itu sudah membolehkan kita untuk melakukan qashar shalat meskipun dilalui dengan waktu tempuh perjalanan yang singkat. Hal ini dikemukakan oleh Syekh M Nawawi Banten sebagai berikut:

أحدها أن يكون سفره مرحلتين أي يقينا ولو قطع هذه المسافة في لحظة لكونه من أهل الخطوة سواء قطعها في بر أو بحر

Artinya, “Salah satu syarat (qashar) adalah jarak perjalanan dua marhalah secara yaqin meskipun jarang itu ditempuh dalam waktu sekejap karena misalnya ia adalah ahli khuthwah (dapat menghilang) sama saja ia menempuh jalur darat maupun laut,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Beirut: Dar Ibni Hazm, 2011 M/1432 H], cetakan pertama, halaman 356-357).

Safar atau perjalanan dengan jarak tempuh tertentu merupakan sebab hukum yang diakui menurut syariat yang mengizinkan seseorang untuk melakukan qashar shalat atau berbuka puasa pada siang hari Ramadhan.

Perjalanan dengan jarak dua marhalah itu merupakan tiket syar’i yang meringankan perjalanan seseorang tanpa syarat waktu tempuh tertentu karena Rasulullah SAW sendiri mencontohkan perihal ini. Hal ini dikemukakan Syekh Wahbah dalam Ushulul Fiqhil Islami berikut ini:

السفر هو قطع المسافة لغة. وفي الشريعة هو الخروج على قصد المسير الى موضع بينه وبين ذلك الموضع مسيرة ثلاثة أيام فما فوقها بسير الابل ومشي الاقدام. وحكمه أنه لا ينافي شيئا من الأهلية ولا يمنع شيئا من الأحكام، لكنه جعل في الشرع من أسباب التخفيف بنفسه مطلقا من غير نظر إلى مشقة أو عدمها. فيجوز الفطر في رمضان وقصر الصلاة الرباعية. ويثبت هذا الحق لمسافر بمجرد إنشاء السفر بعد الخروج من عمران البلد كما هو مبين في السنة، فإن الرسول صلى الله عليه وسلم لما خرج للسفر رخص للمسافرين فلا يشترط إتمام السفر بالسير ثلاثة أيام على الأقل لأن شرعية رخص السفر للترفيه في جميع مدة السفر

Artinya, “’Safar’ secara bahasa adalah menempuh jarak. Dalam pengertian syariat, safar adalah keluar dengan niat perjalanan menuju tempat tujuan sekira perjalanan tiga hari atau lebih dengan mengendarai unta atau jalan kaki. Hukumnya bahwa itu tidak menafikan ahliyatul wujub dan tidak mencegah hukum tetapi itu dijadikan dalam syar’i sebagai sebab keringanan dengan dirinya secara mutlak tanpa memandang ada atau tidaknya tingkat kesulitan. Dari situ, maka boleh berbuka pada siang hari Ramadhan dan qashar shalat empat rakaat. Hak itu sudah tetap bagi musafir karena semata ia memulai perjalanan setelah keluar dari ‘gerbang kota’ sebagai diterangkan dalam sunah. Pasalnya, Rasulullah ketika keluar berperjalanan memberikan keringanan rukhshah bagi para musafir dan Rasulullah SAW juga tidak memberikan syarat penyelesaian perjalanan dengan menempuh perjalanan minimal tiga hari karena rukhshah perjalanan disyariatkan untuk memberikan kelapangan sepanjang perjalanan,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islami, [Beirut: Darul Fikr Al-Mu‘ashir, 2013 M/1434 H], juz I, halaman 182).

Kenapa jarak tempuh perjalanan yang dijadikan ukuran, bukan tingkat kesulitan yang dialami ketika menempuh perjalanan? Bukankah bisa saja perjalanan jauh ditempuh daam waktu singkat dan nyaman? Bukankah mungkin saja perjalanan di bawah dua marhalah dilewati dengan tingkat kesulitan luar biasa?

Pertama, yang terukur adalah jarak. Jarak ini sesuatu yang konkret sehingga dapat dijadikan patokan hukum. Kedua, pada jarak yang konkret (minimal dua marhalah) itulah diduga terdapat kesulitan di dalamnya. Sedangkan tingkat kesulitan sulit diukur karena kesulitan adalah sesuatu yang subjektif dan berbeda di masing-masing orang.

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang menempuh jarak perjalanan minimal dua marhalah diperbolehkan melakukan qashar shalat dan berbuka puasa di siang hari Ramadhan meskipun perjalanan dilalui dengan singkat.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar