Pondok Pesantren Tebu
Ireng, Jombang
Pendahuluan
Tebuireng sebagai salah satu dusun di wilayah Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang mempunyai nilai historis yang besar. Dusun yang terletak 10 km. arah selatan kabupaten Jombang ini tidak bisa dipisahkan dengan K.H.M. Hasyim Asy’ari, di dusun inilah pada tahun 1899 M. Kyai Hasyim membangun pesantren yang kemudian lebih dikenal dengan Pesantren Tebuireng. Sebagai salah satu pesantren terbesar di Jombang, Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik dalam bidang pendidikan, pengabdian serta perjuangan.
Pondok Pesantren
Tebuireng yang saat ini di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari mengembangkan
beberapa unit pendidikan formal dan nonformal, yaitu: Madrasah Tsanawiyah
Salafiyah Syafi’iyyah, SMP A. Wahid Hasyim, Madrasah Aliyah Salafiyah
Syafi’iyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah, dan Ma’had ‘Aly Hasyim
Asy’ari. Keberadaan unit-unit pendidikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat
memberikan arti tersendiri, yaitu sebagai manifestasi nilai-nilai pengabdian
dan perhatian kepada masyarakat. Dan dalam bentuk informal pesantren Tebuireng
membuka jasa layanan masyarakat berupa kesehatan (Rumah Sakit Tebuireng),
perekonomian (koperasi dan kantin). Kepercayaan dan perhatian masyarakat luas
terhadap keberadaan pesantren Tebuireng adalah dasar kemajuan dan perkembangan
Teburieng di masa depan, dengan tetap mengembangkan visi dan misi pendidikan
yang mandiri serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Visi dan Misi
Visi :
Pesantren terkemuka penghasil insan pemimpin yang berakhlaq
Misi :
1.
Melaksanakan
tata keadministrasian berbasis teknologi.
2.
Melaksanakan
tata kepegawaian berbasis teknologi.
3.
Malaksanakan
pembelajaran IMTAQ yang berkualitas di sekolah dan pondok.
4.
Melaksanakan
pengkajian yang berkualitas kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim dan Ta’lim
al-Muta’allim sebagai dasar akhlaq al-karimah.
5.
Melaksanakan
pembelajaran IPTEK yang berkualitas.
6.
Melaksanakan
pembelajaran sosial dan budaya yang berkualitas.
7.
Menciptakab
suasana yang mendukung upaya menumbuhkan daya saing yang sehat.
8.
Terwujud
tata layanan publik yang baik.
Sejarah Singkat Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Pebruari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang.
Hasyim kecil tumbuh
dibawah asuhan ayah dan ibu dan kakeknya di Gedang. Dan seperti lazimnya anak
kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15
tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok
Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar
bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan
belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada
Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu
pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu
gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya
yang bernama Nafisah pada tahun 1892.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Sejak pulang dari
pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan bahkan
ke tanah suci Mekkah, beliau terobsesi untuk mengamalkan ilmu yang telah
diperoleh. Peninggalan beliau yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah
Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng merupakan
nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir Kecamatan Diwek Kabupaten
Jombang Propinsi Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota
Jombang, tepat berada di tepi jalan raya jurusan Jombang – Kediri.
Menurut cerita
masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam).
Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning
(bule atau albino). Suatu hari, kerbau tersebut menghilang. Setelah dicari kian
kemari, menjelang senja baru ditemukan dalam keadaan hampir mati karena
terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah,
sehingga kulit kerbau yang semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan
ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …! kebo ireng …!. Sejak
itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama “Kebo Ireng”.
Namun ada versi lain
yang menuturkan bahwa nama Tebuireng bukan berasal dari kebo ireng seperti
cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang
masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
Namun pada
perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah
menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah karena itu ada kaitannya
dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut yang telah banyak
mendorong masyarakat untuk menanam tebu sebagai bahan baku gula, yang mungkin
tebu yang ditanam berwarna hitam, maka pada akhirnya dusun tersebut berubah
menjadi Tebuireng.
Dusun Tebuireng dulu
dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan semua
perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan Hadratus Syaikh Kyai Hasyim
Asy’ari bersama beberapa santri yang beliau bawa dari pesantren kakeknya
(Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun
tersebut mulai berubah semakin baik, semua perilaku negatif masyarakat di
Tebuireng terkikis habis dalam masa yang relatif singkat. Dan santri yang
mulanya hanya beberapa orang dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat
menjadi 28 orang.
Awal mula kegiatan dakwah
Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan kecil yang
terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa; gedek),
bekas sebuah warung pelacuran yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang
beliau beli dari seorang dalang terkenal. Satu ruang depan untuk kegiatan
pengajian, sementara yang belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asy’ari
bersama istri tercinta Ibu Nyai Khodijah.
Tentu saja dakwah
Kyai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja memperoleh sambutan baik dari penduduk
setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan dari penduduk setempat
datang silih berganti, para santri hampir setiap malam selalu mendapat tekanan
fisik berupa senjata celurit dan pedang. Kalau tidak waspada, bisa saja
diantara santri terluka karena bacokan. Bahkan untuk tidur para santri harus
bergerombol menjauh dari dinding bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu
itu agar terhindar dari jangkauan tangan kejam para penjahat.
Dan gangguan yang
sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja berlanjut, hingga Kyai
Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirim utusan ke Cirebon guna mencari bantuan
berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5 kyai yakni; Kyai Saleh Benda, Kyai
Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet dan Kyai
Saleh Benda Kerep.
Dari kelima kyai
itulah Kyai Hasyim Asy’ari belajar silat selama kurang lebih 8 bulan. Dan sejak
itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim Asy’ari untuk melakukan ronda
sendirian pada malam hari menjaga keamanan dan ketenteraman para santri.
Dengan perjuangan
gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya berhasil membasmi
kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian kentalnya di Tebuireng.
Keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng semakin mendapat perhatian dari masyarakat
luas.
Dalam perjalanan
sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode
kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai
berikut:
Periode I : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
Periode II
: KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
Periode III
: KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
Periode IV
: KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
Periode V
: KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
Periode VI
: KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
Periode VII :
KH. Salahuddin Wahid : 2006 – sekarang
SISTEM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
Perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng
Sebagai pesantren tradisional, Pondok Pesantren Tebuireng pada awal kelahirannya telah mampu menunjukkan perannya yang sangat berarti bagi negeri ini, yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Maka dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat, Pondok Pesantren Tebuireng mendorong segenap lapisan masyarakat –khususnya umat Islam– untuk berjuang melawan penjajah serta mengantar dan memberi semangat bangsa ini berperang mengusir penjajah dan senantiasa mununjukkan sikap anti pati terhadap Belanda. Bahkan pernah muncul fatwa dari Pondok Pesantren Tebuireng, tentang haramnya memakai dasi bagi umat Islam, karena hal demikian –menurut Kyai Hasyim Asy’ari– dianggap menyamai penjajah. Fatwa ini tujuannya tidak lain adalah untuk membangun kesan pada masyarakat tentang betapa pentingnya sikap menentang dan membentuk sikap anti pati terhadap penjajah, agar kemerdekaan segera diraih bangsa ini.
Seiring dengan
perjalanan waktu Pondok Pesantren Tebuireng tumbuh demikian pesatnya, santri
yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam, masing-masing membawa
misi dan latar belakang yang beragam pula. Kenyataan demikian mendorong Pondok
Pesantren Tebuireng memenuhi beberapa keinginan yang hendak diraih para
santrinya, sehingga siap berpacu dengan perkembangan zaman.
Untuk kepentingan
tersebut, Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan perubahan
kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana pesantren-pesantren
pada zaman itu, sistem pengajaran yang digunakan adalah metode sorogan (santri
membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), metode weton
atau bandongan ataupun halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna).
Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat
pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan
diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan
agama Islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab. Dan inilah sesungguhnya misi utama
berdirinya pondok pesantren.
Perubahan sistem
pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada
tahun 1919 M. yakni dengan penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan
mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara
berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Hingga pada tahun 1929
M. kembali dirintis pembaharuan, yakni dengan dimasukkannya pelajaran umum ke
dalam struktur kurikulum pengajaran. Satu bentuk yang belum pernah ditempuh
oleh pesantren manapun pada waktu itu. Dalam perjalanannya penyelenggaraan
madrasah ini berjalan lancar. Namun demikian bukan tidak ada tantangan, karena
sempat muncul reaksi dari para wali santri –bahkan– para ulama’ dari pesantren
lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pelajaran umum saat itu dianggap
sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Hingga banyak wali santri
yang memindahkan putranya ke pondok lain. Namun madrasah ini berjalan terus,
karena disadari bahwa ini pada saatnya nanti ilmu umum akan sangat diperlukan
bagi para lulusan pesantren.
KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy'ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
2. Risalah Ahlis
Sunnah Wal Jama'ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang
apa yang disebut ahlus sunnah wal jama'ah atau sering disingkat dengan ASWAJA.
Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang
berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid'ah? Menerangkan
pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak
golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal
jamaa'h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari
tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang
bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama'ah tersebut.
3. At-Tibyan Fin
Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa
pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini,
ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya
memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau
udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang
berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa
KH. Muhammad Hasyim Asy'ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah
karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat
sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
4. An-Nurul Mubin Fi
Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang
menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut,
dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi
suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat,
menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi
Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi
Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita
mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta
dijadikan tauladan menuju insan kamil.
5. Ziyadatut Ta'liqot
merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin
Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan
terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul
Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang
diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang
diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
6. At-Tanbihatul
Wajibat Li Man Yasna' Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang
pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad
SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut,
diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat
nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela
diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid
serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda.
Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang
memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan
KH. Muhammad Hasyim Asy'ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
7. Dhou'ul Misbah Fi
Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim
Asy'ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap
betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak
mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan
santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam
kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga
perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa
Rahmah sesuai tuntunan agama.
KITAB-KITAB KARYA KH. ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM)
CUCU HADRATUS SYAIKH
KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
1. Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
2. Audhohul Bayan Fi
Ma Yata'allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus
Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang
mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini,
memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat
kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan
ramadhan.
3. Irsyadul Mukminin
merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih
mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang
ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya,
kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.
Disadur dari http://tebuireng.org/pages/1/profil.html
assalamualaikum,
BalasHapusboleh izin copas picturenya untuk blog saya ya, kemaren saat berkunjung ke sini saya malah tak sempat capture gambar apapun,
:)
terima kasiih,
Wa'alaikum Salam Wr. Wb.
HapusSilahkan di-copas, bu. Foto2 lebih banyak ada di http://harian-oftheday.blogspot.com/2012/09/catatan-of-day-berziarah-ke-makam.html