Problem Susu Etawa di Bukit Menoreh
Senin, 24 September 2012
Sudah terlalu malam ketika saya tiba di Sumowono, desa di gugusan Bukit
Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Sudah terlalu gelap untuk bisa melihat
kandang-kandang kambing di desa itu.
Saya salah perhitungan. Berbekal alamat saja ternyata tidak cukup. Rencana
untuk tiba di desa itu pukul 17.00 pun meleset.
Jarak Jogja-Purworejo yang diperkirakan bisa ditempuh satu jam ternyata
harus tiga jam. Untuk bisa keluar dari Jogja saja sudah memerlukan waktu satu
jam sendiri. Proyek flyover di ujung ring road Jogja itu membuat lalu-lintas
sore hari macet-cet.
Tapi, itu bukan menyebab utama. Kesalahan fatalnya karena saya salah
memilih jalan: untuk ke desa Sumowono ternyata bisa lewat Godean. Tidak perlu
masuk kota Purworejo. Tapi nafsu besar untuk bisa menikmati dawet hitam yang
terkenal itu membuat saya ingin masuk kota Purworejo.
Akhirnya saya baru masuk desa itu pukul 20.30. Sepi. Gelap. Pak Lurah
Maryono pun tidak di rumah. Untung bisa dicari untuk segera pulang. Sudah lama
saya ingin ke desa ini karena keistimewaan kambingnya. Tapi tidak mungkin di
kegelapan seperti itu saya bisa melihat di mana letak kecantikan
kambing-kambing Sumowono.
Maka saya putuskan saja bermalam di desa itu. Baru pagi-pagi keesokan
harinya keinginan melihat kambing istimewa itu terlaksana. Sambil menikmati
hawa sejuk pagi hari di Bukit Menoreh.
Malam itu, di rumah Pak Maryono yang belum sepenuhnya jadi, kami bisa
ngobrol lesehan dengan beberapa penduduk yang memelihara kambing bantuan BUMN.
Saya ingin melihat sendiri kenyataan di lapangan apakah Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan (PKBL) BUMN itu benar-benar sebaik yang dilaporkan.
Kian malam obrolan kian menarik. Suguhan singkong goreng dan pisang
rebusnya enak sekali. Apalagi Bu Lurah Maryono juga menyuguhkan susu hangat
dari kambing etawa, yang manisnya berasal dari gula aren produksi desa sendiri.
Obrolan di lantai malam itu kian lengkap karena Pak Bupati Purworejo, Drs
Mahsun Zain, tiba-tiba muncul ikut lesehan. Inilah obrolan yang penuh canda
karena banyak juga membicarakan masalah seks! Terutama hubungan seks antar
kambing.
“Kalau terjadi hubungan seks, di sini, pihak wanitanya yang harus bayar,”
ujar Warman, seorang penerima bantuan kambing etawa BUMN PT Jasa Raharja
(Persero). “Sekali hubungan Rp 50.000,” tambahnya.
Waktu itu, 1,5 tahun lalu, Warman bersama 23 orang penduduk Sumowono
menerima pinjaman Jasa Raharja masing-masing Rp 15 juta. Bunganya hanya enam
persen setahun. Tiap orang bebas menentukan strateginya sendiri. Boleh membeli
lima kambing kecil-kecil, boleh juga membeli tiga kambing yang sudah besar.
Marwan membeli tiga kambing etawa: dua induk dan satu calon induk. Sabtu
kemarin, ketika saya di sana, kambing Warman sudah 14! Hanya dalam waktu 1,5
tahun.
Warman termasuk warga yang cerdas dalam menentukan strategi mengenai jenis
kambing yang harus dibeli dengan uang Rp 15 juta itu. Sama-sama dapat pinjaman
Rp 15 juta, ada yang saat ini baru memiliki 10 kambing.
Program ini memang sangat berhasil. Dari 23 orang yang tergabung dalam
kelompok Ngudi Luwih, tidak satu pun yang gagal. Semua kambing mereka
berkembang. Semuanya mampu membayar cicilan pertama sebesar Rp 5 juta.
Kalau toh ada yang belum memuaskan, program ini belum menyentuh penduduk
yang termiskin di desa itu.
Soal inilah yang malam itu kami obrolkan sampai malam: bagaimana penduduk
yang termiskin bisa dientas lewat program yang sama. Menurut Pak Lurah, masih
ada 100 KK (dari 350) yang sangat miskin. Seratus KK tersebut kami kelompokkan:
mana yang bisa segera ditangani dan mana yang harus tahap berikutnya.
Ternyata ada 40 KK yang bisa segera dibikinkan program yang sama. Pak Lurah
bersama penduduk yang sudah terbukti mampu mengembangkan kambing, sepakat untuk
bersama-sama menuntun 40 orang itu. “Baik Pak. Kami akan ikut membina mereka,”
ujar Pak Lurah.
Awalnya, bantuan tersebut ditawarkan kepada siapa saja di desa itu. Tentu
harus untuk membeli kambing etawa. Ini karena memelihara etawa sudah mendarah
mendaging di pegunungan itu. Sudah sejak zaman Belanda. Tapi, ternyata, mereka
yang tergolong termiskin tersebut tidak mau mendaftar.
Mengapa? “Mereka pada takut. Takut punya utang dan takut tidak bisa
mengembalikan,” ujar Pak Lurah. Tapi setelah melihat banyak penduduk yang
berhasil, sebagian dari 100 orang tersebut kini mulai berani.
Misalnya Pak Habib Abdul Rosyid. Habib adalah imam di masjid kecil di desa
itu. Bacaan ayat-ayat Al Qurannya sangat baik. Habib hanyalah tamatan madrasah
tsanawiyah (setingkat SMP), yang karena kemiskinannya tidak melanjutkan ke
tingkat yang lebih atas.
Sehari-hari Habib (42 tahun) menjadi buruh tani, mencangkul atau mencari
rumput. Habib juga memelihara enam kambing tapi milik orang lain. Habib hanya
menggadu.
Usai salat subuh yang dia imamnya, saya ngobrol lesehan dengan seluruh
jamaah di teras masjid. Tentu obrolan mengenai kambing etawa. Habib tiba-tiba
mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan Jasa Raharja.
“Mengapa tidak ikut kelompok yang pertama dulu?” tanya saya.
“Waktu itu saya takut Pak. Ternyata bapak-bapak ini berhasil semua,”
ujarnya.
“Sekarang sudah berani?” tanya saya.
“Berani Pak. Saya harus berhasil. Saya harus maju. Dan lagi anak saya tiga.
Sudah mulai ada yang masuk SMP. Sudah mulai memerlukan banyak biaya,”
tambahnya.
Habib juga segera ingin berubah. Dari memelihara kambing biasa milik orang
lain menjadi memelihara kambing etawa milik sendiri. Kambing biasa, kata Habib,
memerlukan makan sangat banyak. “Dua kali lipat dari kambing etawa,” tambahnya.
“Kambing etawa hanya sekali makan. Kambing biasa tidak henti-hentinya makan.
Menjelang tidur pun masih makan,” kata Habib.
“Di musim kemarau seperti ini saya harus cari rumput sampai lima kilometer
jauhnya,” katanya.
Salon Kambing
Kambing etawa adalah kambing yang dipelihara bukan karena dagingnya, tapi
karena kecantikannya. Tubuhnya tinggi (90 cm), besar, indah, dan bulunya
(khususnya bulu panjang yang tumbuh di bagian pantatnya) sangat seksi. Bentuk
wajahnya manis seperti ikan lohan. Telinganya panjang menjuntai dengan bentuk
yang mirip hiasan di leher.
Memang, orang memelihara kambing etawa karena harga jualnya yang tinggi.
Satu ekor bisa mencapai Rp 10 juta. Mengalahkan harga kerbau sekali pun.
Memang, memelihara kambing etawa seperti memelihara ikan lohan atau burung
cucakrowo: untuk hobi. Karena itu peternak etawa harus amat rajin merawat
kambingnya. Agar terlihat selalu cantik. Kalau perlu sesekali membawa
kambingnya ke salon kambing.
Pagi itu kebetulan lagi hari pasaran kambing etawa di Kaligesing. Pak
Bupati, yang pagi-pagi kembali ke Sumowono, mengajak saya ke pasar hewan. Seru!
Inilah satu-satunya bursa kambing etawa di republik ini. Pemilik etawa datang
dari berbagai kabupaten. Menurut catatan pintu retribusi, lebih 700 ekor etawa
yang ditransaksikan hari itu.
Di tengah-tengah bursa itulah salon kambing dibuka. Pagi itu saya lihat
banyak pemilik kambing yang antre: ada yang ingin mempercantik tanduknya ada
pula yang ingin memotongkan kuku kambing mereka.
Dari segi penyakit pun, hanya satu yang ditakutkan: kanker payudara. Karena
itu peternak harus rajin meraba-raba payudara kambing mereka. Begitu payudara
itu terasa lebih panas dari suhu tangan yang meraba, haruslah segera disuntik.
Kalau tidak, payudara itu akan mengeras, membiru, dan tidak sampai seminggu
akan mati.
Apalagi, dalam setiap lomba, keindahan payudara termasuk yang dinilai. Kian
indah payudaranya, kian mahal harga jualnya.
Tapi yang paling menentukan adalah kemampuannya memproduksi anak. Untuk itu
peternak harus hafal kapan kambingnya mulai birahi. Ini bisa dilihat dari
kemaluannya yang memerah, atau yang sepanjang malam gelisah, tidak mau tidur
dan terus mengembik. Kalau sudah begini, peternak harus segera membawanya ke
pejantan untuk dikawinkan.
Betina yang lagi birahi tersebut dimasukkan ke kandang pejantan. Pemiliknya
harus selalu mengintip. Ini untuk memastikan apakah perkawinan sudah terjadi.
Biasanya tidak lama. Dalam waktu setengah jam, perkawinan sudah terjadi dua
kali. Cukup. Betinanya segera dikeluarkan dan dibawa pulang. Tentu setelah
membayar Rp 50.000.
Setengah bulan kemudian, kalau belum terjadi tanda-tanda kehamilan, sang
betina dikawinkan lagi. Kali ini gratis.
Di satu desa Sumowono ini hanya ada tiga pejantan handal. Satu milik
bersama di kelompok Ngudi Luwih. Yang dua ekor lagi milik perorangan. “Satu
pejantan bisa melayani 40 betina dalam sebulan,” ujar Marwan. Berarti satu
pejantan menghasilkan uang Rp 2 juta sebulan.
“Tidak boleh terlalu sering mengawini. Kualitas keturunannya bisa kurang
baik,” tambahnya. Semua peternak mengharapkan kualitas kambing mereka baik agar
harga jualnya kelak bisa tinggi.
Tidak boleh juga habis mengawini satu betina langsung mengawini betina
lainnya. Pernah terjadi, kata Marwan, yang diharapkan lahir kambing dengan
kepala hitam, ternyata yang lahir merah. Padahal jantannya berkepala hitam dan
betinanya juga berkepala hitam. “Ini karena jantannya baru saja mengawini betina
yang berkepala merah,” katanya.
Entahlah.
Yang jelas mayoritas peternak menginginkan bagian kepala sampai leher dan
dada berwarna hitam. Batas warna hitam dengan warna putih di bagian tubuhnya
juga harus rapi. Telinganya juga harus hitam yang panjangnya mencapai 30 cm.
Untung-untungan seperti inilah yang membuat tidak semua peternak bernasib baik.
“Ada peternak yang waris dan ada yang tidak waris,” katanya.
Tentu saya akan meminta Jasa Marga untuk meneruskan program ini. Sampai
yang 100 orang termiskin tersebut bisa tertangani. Desa ini memang sudah
berhasil keluar dari status desa tertinggal, tapi 100 KK termiskin tersebut
masih mengganjal.
Apalagi BUMN Hutama Karya juga sedang membangun jembatan yang roboh di desa
itu dan sudah mengaspal jalan sepanjang 500 meter yang menanjak ke gunung.
Tentu masih ada lagi yang belum memuaskan: susunya! Belum ada upaya yang
sungguh-sungguh untuk mengkoordinasikan susu kambing etawa ini. Penduduk memang
sudah mulai biasa minum susunya, tapi belum sampai tingkat melakukan pemerahan
tiap hari.
Ini karena belum ada perusahaan yang bisa sepenuhnya menampung seluruh susu
kambing etawa di Kaligesing. Padahal di kecamatan ini terdapat 70.000 kambing
etawa. Padahal keistimewaan kambing ini, sebenarnya, karena kualitas air
susunya itu!
“Satu liter susu sapi hanya berharga Rp 6.000. Satu liter susu kambing
etawa Rp 15.000!” Ujar Agus Suherman, kepala bidang di Kementerian BUMN yang
mengurus PKBL.
Apalagi minat ber-etawa terus meningkat. Pak Solikun, misalnya.
Tahun lalu Pak Solikun memiliki enam kerbau. Kini kerbau itu dia jual
semua. Dia belikan etawa. Memelihara kerbau, katanya, bukan main susahnya. (Ini
saya benarkan karena waktu kecil saya juga sering memandikan kerbau). Padahal
harga satu kerbau kalah dengan satu kambing etawa yang baik.
Tak ayal bila di seluruh desa ini kini hanya tinggal ada lima kerbau. Ini
pun rasanya tidak akan lama. Kerbau akan segera hilang dari desa etawa ini.(*)
Dahlan Iskan,
Menteri BUMN
Sumber:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut