Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
HANYA presiden RI yang berwenang mengatasi
disharmoni Polri-KPK saat ini. Maka, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY ) tidak boleh melakukan pembiaran. Sebab, hanya SBY yang bisa membuktikan
kepemimpinan di negara ini tidak vakum. Caranya, jangan biarkan persoalan ini
berlarut-larut.
Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan, SBY pada akhirnya harus mengambil posisi yang jelas, dan
juga sikap yang jelas-tegas untuk menyelesaikan sengketa kewenangan
antara Polri dan KPK dalam menangani proses hukum kasus dugaan korupsi pengadaan
simulator ujian SIM kendaraan bermotor di Korlantas Mabes Polri. Menghadapi
masalah ini, presiden idealnya tidak mengambil posisi di area abu-abu .
Silang pendapat antara Polri versus KPK kian
meruncing, dan cenderung kian memanas. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak
happy dengan suasana seperti sekarang, karena yang muncul adalah kesan keadaan
yang kian karut marut. Sebagai presiden, sebagai kepala negara maupun sebagai
kepala pemerintahan, SBY harus hadir di tengah suasana karut marut itu, tampil
menggunakan semua wewenang yang ada padanya untuk mengakhiri sengketa
kewenangan itu. SBY harus bisa memastikan bahwa baik Polri maupun KPK tidak
boleh sibuk mengurusi dirinya sendiri. Di luar institusi Polri maupun KPK, ada
begitu banyak persoalan dan kasus hukum yang harus ditangani. Maka, segera
mengakhiri sengketa kewenangan itu menjadi sebuah keharusan.
Bagi masyarakat kebanyakan, persoalan yang
membelit Polri dan KPK sekarang ini adalah urusan institusi apa
mengerjakan apa. Pembagian tugas itu memang sudah ditetapkan oleh undang-undang
sebagai payung hukum setiap institusi. Tak dapat dipungkiri bahwa untuk hal-hal
atau kasus yang spesifik, akan timbul masalah atau benturan kewenangan,
misalnya karena misinterpretasi. Boleh jadi, itulah yang melatarbelakangi
sengketa kewenangan antara Polri dengan KPK dalam kasus dugaan korupsi di
Korlantas Mabes Polri itu. Masalah atau benturan itu wajar-wajar saja, dan
seharusnya segera diselesaikan di ruang tertutup oleh institusi-institusi yang
berkepentingan.
Namun, jika masalah atau benturan kewenangan
itu diledakan di ruang publik, persoalannya menjadi tidak sederhana. Masalahnya
otomatis tereskalasi, dan bisa melebar menjadi ‘persoalan menjaga wibawa dan
martabat institusi’. Perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi di
Korlantas Mabes Polri cenderung sudah menggiring baik Polri maupun KPK lebih
pada menjaga wibawa dan martabat institusi. Saat ini, kesan itulah yang
mengemuka di ruang publik. Lalu, muncul pertanyaan, bagaimana kasus dugaan
korupsinya sendiri bisa ditangani jika baik Polri maupun KPK masih terperangkap
dalam sengketa kewenangan?
Bagi kalangan yang selalu berpikir negatif,
sengketa kewenangan itu tentu menjadi tontonan. Memang demikian keadaannya.
Tetapi, bagi masyarakat banyak yang peduli kepastian, tontonan sengketa
kewenangan antara Polri dan KPK saat ini bukan hanya tidak menarik, tetapi juga
tidak lucu. Bayangkan, Indonesia modern yang negara hukum masih masih menyimpan
persoalan seperti ini? Apa kata dunia?
Karena Indonesia dewasa ini tidak dalam
kondisi vakum kepemimpinan, maka sang pemimpin harus muncul, tampil di tengah
rakyatnya, dan memberi penegasan bahwa persoalan sengketa kewenangan akan
diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, serta memberi jaminan bahwa
kasus dugaan korupsi di Korlantas Mabes Polri bisa dituntaskan. Jika ada
keberanian dan kemauan bersikap tegas berdasarkan akumulasi wewenang yang ada
padanya, disharmoni atau sengketa kewenangan antara Polri dengan KPK bisa
diselesaikan dalam hitungan jam. Kalau presiden berketatapan institusi apa yang
berwenang menangani kasus itu, ketetapan presiden itu bukanlah sebuah
intervensi hukum.
Konsultasi dan Rekomendasi
Presiden sangat bisa mengakhiri disharmoni
antara Polri dengan KPK. Dan, hanya presiden yang bisa mengakhiri disharmoni
itu. Tidak ada yang lain. Selain karena akumulasi kewenangan, presiden juga
dikelilingi sejumlah pembantu ahli, termasuk ahli hukum pidana maupun hukum
tata negara. Presiden bisa meminta pertimbangan atau rekomendasi dari para ahli
hukum di kantor presiden. Selain itu, kalau pun presiden masih diselimuti
keraguan, bisa saja berkonsultasi atau meminta saran dari institusi lain yang
kapabel, seperti Mahkamah Agung (MA) atau mahkamah konstitusi (MK). Rekomendasi
para ahli di kantor presiden maupun pertimbangan atau saran dari MK dan MA
pasti akan sangat membantu presiden untuk membuat ketetapan yang akurat untuk
kasus ini.
Atau, bisa saja presiden mengundang Kapolri
dan Ketua KPK untuk membahas dan bermufakat memenuhi perundang-undangan yang
berlaku. Bukankah pengangkatan Kapolri dan Ketua KPK juga melibatkan wewenang
presiden? Karena itu, presiden pun harus pro aktif menjaga disiplin pelaksanaan
kewenangan setiap insitusi negara. Dengan demikian, apa pun alasannya,
keengganan presiden menengahi sengketa kewenangan KPK dan Polri sulit diterima
khalayak. Menengahi sengketa kewenangan antarinstitusi negara sama sekali tidak
berkonotasi intervensi proses hukum.
Dalam menyikapi sejumlah kasus hukum selama
ini, presiden diketahui sering mendapatkan masukan dari orang-orang
kepercayaannya. Karena itu, banyak kalangan justru bertanya; siapa yang memberi
masukan atau saran sehingga kantor presiden membuat pernyataan bahwa presiden
tidak ingin ikut campur dalam sengketa kewenangan Polri versus KPK karena bisa
dituduh melakukan intervensi proses hukum?
Tentu saja, yang muncul dalam ingatan banyak
orang adalah Denny Indrayana, sosok kepercayaan presiden yang kini menjabat
Wakil Menteri Hukum dan HAM. Belum jelas, apakah Denny telah memberikan
rekomendasi kepada Presiden atau sama sekali tidak memberi pertimbangan.
Kemungkinan lainnya adalah presiden memang
sama sekali sudah tidak percaya kepada sejumlah ahli yang pernah membantunya.
Sebab, setidaknya sudah dua kali kantor presiden melakukan blunder karena
rekomendasi atau pertimbangan hukum yang tidak akurat. Masih segar dalam
ingatan banyak orang tentang bagaimana proses Hendarman Supandji mundur dari jabatan
jaksa agung, serta keputusan PTUN DKI membatalkan Keputusan Presiden No.48/P
Tahun 2012 per 2 Mei 2012, yang mengesahkan pengangkatan H Junaidi Hamsyah --
sebelumnya menjabat Wakil Gubernur/Plt Gubernur Bengkulu -- menjadi gubernur
definitif menggantikan Agusrin yang menjadi terpidana kasus
korupsi.
Presiden sesungguhnya tidak perlu khawatir
mengulangi kesalahan. Dalam konteks sengketa kewenangan antara Polri dengan KPK
saat ini, sebuah ketetapan presiden harus dibuat dan diberlakukan, sekadar untuk
menghindari tumpang tindih penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas Mabes
Polri.
Mencermati opini publik terkait masalah ini,
bisa disimpulkan bahwa citra institusi Polri sedang dipertaruhkan. Agar tidak
ada pihak yang merasa dipersalahkan, Presiden perlu mendorong sinergi Polri dan
KPK dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi pada proyek pengangadaan simulator
ujian SIM kendaraan ber motor di Korlantas Mabes Polri. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar