Mengetuk Kesadaran Para
Ekstremis Islam
Oleh : Muhammad Amrullah*
Tragedi yang mencoreng muka Islam kembali terulang. Adalah tragedi berdarah—terlepas dari apa motif sesungguhnya—antara Sunni-Syi’ah di Desa Karang Gayam Sampang, Madura Ahad (26/8/2012) yang menyebabkan satu korban tewas, dua orang kritis, dan empat orang luka-luka.
Setelah pada Rabu (22/82012) sebelumnya juga
terjadi tragedi serupa di Kampung Cisalopa, Sukabumi, Jawa Barat. Yakni aksi
penggrudukan kampung yang dihuni oleh para pengikut Tarekat At-Tijaniyah
pimpinan Sumarna yang dinaggap sesat. Tujuh rumah pun berhasil dibakar.
Tragedi-tragedi tersebut mengindikasikan bahwa masih banyak di kalangan umat Islam manusia-manusia yang kurang sadar tentang waqi’ (realitas) yang sedang dihadapi Islam. Ketidaksadaran itu diantaranya disebabkan oleh kebodohan dan fanatisme buta terhadap sekte tertentu.
Semestinya mereka sadar bahwa di sana ada entitas—terlepas dari apa atau siapa--yang sedang menggiring umat manusia menuju sebuah fenomena menguatnya “Islamophobia”. Yakni sebuah fenomena ketakutan manusia—non Muslim khusunya--terhadap Islam dan umat Muslim. Ada entitas yang sedang menggiring bahwa umat Islam adalah tak cinta damai, ekstremis, pembuat onar dan sejenisnya. Meskipun “survei Gallup Poll menegaskan bahwa kaum Muslim yang radikal secara politik hanyalah minoritas (7%).” (Irwan masduqi : Berislam Secara Toleran)
Entitas tersebut menginginkan agar Islam yang “welas-asih kepada seluruh manusia” disalah pahami sebagai agama kekerasan. Tujuan yang hendak dicapai adalah semakin meluasnya “Islamophobia” sehingga semakin banyak yang anti Islam. Yang harus disadari bahwa “Islamophobia”—di Barat khususnya—adalah senjata bagi mereka yang anti-Islam untuk semakin memojokkan Islam.
Ironisnya, banyak umat Islam yang
terjebak—melaui aksi kekerasan yang diperbuatnya—ikut serta meluaskan
“Islamophobia” itu. Yang artinya, mereka ikut serta menjadikan Islam disalah
pahami sebagai agama yang menakutkan. Di sinilah muncul fenomena orang Islam
membunuh Islam.
Kenapa gereja ditinggalkan?
Sejarah mencatat bahwa pada abad pertengahan M, ketika gereja berkuasa, para pemukanya banyak melakukan tiranisme kepada umat manusia—Kristen Eropa khususnya.
Para pemuka Gereja bukan hanya telah membuat
pengikutnya menderita bahkan yang lebih tragis adalah menghalangi geliat laju
“pergerakan ilmiah” yang dimulai pada “masa kebangkitan” Barat. Para ilmuwan
yang bertentangan atau menentang teori-teori para pemuka agama yang diadopsi
dari kitab-kitab mereka akan diganjar hukuman setimpal, dibakar. Ketakutan akan
dihukum setimpal itulah yang konon kemudian menyebabkan banyak ilmuwan, seperti
Galileo, terpaksa mencabut teori-teorinya.
Setelah tiranisme berjalan cukup lama, dimulailah sikap berontak oleh bangsa Eropa terhadap kekuasaan gereja dan para pemukanya. Bangsa Eropa telah jengah denga sikap para pemuka agama yang semena-mena. Mereka pun mulai menolak gereja, bahkan agama Kristen itu sendiri. Ditinggalkanlah agama Kristen dalam penjara bernama gereja dan dijauhkan dari segala urusan dunia mereka. Terjadilah pemisahan antara agama dari persoalan dunia. Sebuah babak baru kelahiran “skularisme”.
Kemudian berikutnya, dilatarbelakangi trauma
tiranisme gereja dan para pemukanya serta trauma konflik internal
Katolik-Protestan, berkembang pesatlah pluralisme agama. Lalu terciptalah
peradaban barat modern yang kering dari nilai-nila luhur agama seperti yang
kita saksikan saat ini.
Berkaca pada sejarah tersebut umat Islam seharusnya sadar bagaimana agar pengalaman pahit yang dialami Kristen tak dialami oleh Islam di masa kini. Pada dasarnya, ditinggalnya gereja karena ia dianggap tak memberikan ketentraman dan kedamaian hidup bagi umat manusia pada saat itu. Jika orang Islam tak sadar dan cerdas maka bukan tak mungkin pengalaman pahit itu akan menimpa Islam. Ketika kekerasan demi kekerasan yang mengatasnamakan agama itu terus terjadi, meskipun oleh minoritas (7%), bukan tak mungkin jika kemudian agama dicap sebagai pembawa bencana dan biang kekacauan hidup. Jika sudah seperti itu, maka bersiap-siaplah untuk dijauhkan dari kehidupan.
Sampai di sini, Islam harus diselamatkan. Pada awal mulanya ia turun sebagai agama yang peka terhadap isu ke-manusia-an. Sebab itu, diantara tujuan intinya (maqashid syari’ah) adalah hifldun nafs (menjaga jiwa) dan hifldul mal (menjaga harta). Karena itu, Islam tak boleh dijauhkan dari isu kemanusian itu. Jika tidak, maka ia akan ditinggalkan.
Bagaimana seharusnya bersikap?
“Bukan termasuk umatku (yang sempurna) seseorang yang tak memuliakan yang tua dan tak mengasihi yang kecil [. . .]” (HR Ahmad dan Thobroni)
Dari hadits tersebut dapat dipetik spirit bagaimana seharusnya mayoritas dan minoritas bersikap. Bagi penulis, mayoritas identik dengan orang yang tua atau dewasa yang disebutkan dalam hadits. Keduanya cenderung sama-sama lebih kuat dibanding minoritas dan anak kecil. Sementara minoritas, jika dinisbatkan dengan mayoritas, identik dengan anak kecil. Keduanya sama-sama lemah dihadapan mayoritas dan orang dewasa.
Untuk melindungi yang kecil dari kekejaman yang besar Islam menggariskan prinsip tegas bahwa yang kecil harus menghormati yang dewasa dan yang dewasa harus mengasihi yang kecil. Jika ditarik ke persolan bagaimana seharusnya mayoritas dan minoritas bersikap?
Jawabanya tegas bahwa, yang minoritas harus
menghormati yang mayoritas dan yang mayoritas harus mengasihi yang minoritas.
Sebagai contoh adalah antara Sunni dan Syi’ah dalam konteks Indonesia. Sebagai
minoritas, Syi’ah harus menghormati mayoritas dengan cara tak melakukan
aksi-aksi yang dapat menyinggung mayoritas.
Begitupun sebaliknya. Sunni sebagai mayoritas
harus mengasihi minoritas dengan cara menghindari aksi kekerasan terhadap
mereka. Alangkah indahnya jika yang minoritas menghormati yang mayoritas dan
yang mayoritas mengasihi yang minoritas.
*) Mahasiswa Al-Azhar jurusan Ushuluddin. Anggota Lakpesdam NU (lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdhatul Ulama) Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar