Dari kronologi fakta
di bawah ini, sesungguhnya sdh lebih dari cukup bagi KPK untuk segera
menetapkan siapa orang yg paling bertanggung jawab sebagai tersangka -- paling
tdk sebagai pintu masuk atau anak tangga pertama -- sebelum menyentuh tokoh
utamanya, yakni pejabat BI dan LPS.
Kisruh DPT ( dana
pihak terkait) Jangan membayangkan bahwa yang disebut ―aliran dana Bank
Century‖ adalah dana yang mengalir dari brankas Bank Century (setelah disuntik
Rp 6,7 triliun) ke sejumlah nama yang tidak berhak, baik individu atau
organisasi. Baik perusahaan atau partai politik. Tim sukses atau tim gagal.
Yang disebut ―aliran dana Bank Century‖ sesungguhnya adalah duit.
Lantas mengapa
diributkan?
Sebab, tak semua
nasabah Bank Century berhak dan boleh menarik duit mereka. Ada 1.427 rekening
yang (mestinya) diharamkan melakukan aktivitas penarikan dana begitu bank
tersebut berstatus Dalam Pengawasan Khusus oleh Bank Indonesia (6 November
2008). Tapi nyatanya, justru sejak hari itu hingga 10 Agustus 2009 (perhatikan
baik-baik bulan dan tahunnya), Bank Century kebobolan hingga Rp 938 miliar!
Bobol tahap pertama
sebesar Rp 344 miliar terjadi pada periode 6-13 November 2008, persis saat
statusnya Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance Unit/SSU). Kebobolan
yang kedua terjadi pada periode 14-21 November 2008 sebesar Rp 273,8 miliar,
saat bank milik keluarga Tantular itu dikucuri pinjaman Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia. Sementara kebobolan terlama adalah
tahap ketiga, yang terjadi antara 24 November 2008 hingga 10 Agustus 2009,
sebesar Rp 320,7 miliar alias saat bank itu sudah di-bail out pemerintah
melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Padahal, di periode ini, manajemen dan
susnan direksi Bank Century sudah berganti.
Lantas mengapa kebobolan
bisa bertubi-tubi dan tak ada seorang pun yang menghentikannya?
Dana Pihak Terkait
(DPT) Sebagaimana diketahui, pada 31 Oktober dan 3 November 2008, manajemen
Bank Century mengajukan pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FJPP)
kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Karena pengajuan itu, maka BI mulai
menempatkan para pengawasnya pada 6 November 2008, dan pada hari yang sama
langsung mengeluarkan surat yang melarangpenarikan dana dari rekening simpanan
milik pihak terkait (baik giro, tabungan, maupun deposito). Surat Deputi
Gubernur BI (DpG) No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia itu ditujukan kepada manajemen Bank
Century (manajemen lama), yang memerintahkan agar tidak melayani ―penarikan
dana dari rekening milik pihak terkait dengan bank, dan atau pihak-pihak lain
yang ditetapkan Bank Indonesia‖.
Secara normatif,
surat perintah Deputi Gubernur BI ini merupakan prosedur standar yang ditujukan
pada bank-bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana diatur oleh
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/38/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Dalam aturan tersebut, yang dimaksud dana
pihak terkait (DPT) ada 16 jenis, yang kurang lebih adalah individu atau
perusahaan yang terafiliasi dengan pemilik atau manajemen (lama) Bank Century,
serta pihak-pihak yang memiliki hubungan bisnis dan kepemilikan saham bersama
di bisnis tertentu. Sebab, Bank Indonesia tak mungkin menyuntikkan dana ke
sebuah bank yang sakit, tapi uang itu kemudian ditarik oleh pemilik sendiri dan
para koleganya. Atau orang-orang yang masih memiliki urusan utang-piutang
dengan pemilik.
Tapi alih-alih
diblokir, rekening-rekening DPT ini justru dibiarkan ngablak sehingga penarikan
terjadi berkali-kali, dan akibatnya, dana suntikkan Bank Indonesia dan LPS tak
pernah cukup untuk menyehatkan Century. Inilah salah satu penjelasan mengapa
yang semula hanya dibutuhkan Rp 632 miliar untuk penyelamatan, kemudian
membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Sebab itu bila dijumlahkan dengan dana FPJP
sebesar Rp 689 miliar dari Bank Indonesia (14-18 November 2008), maka
sesungguhnya Bank Century ini sudah diguyur Rp 7,3 triliun!
Tentu saja ini ibarat
mengisi tandon air tanpa pernah menutup sumber kebocorannya. Sebab, kebocoran
itu sendiri terkesan dibiarkan dan berlangsung selama berbulan-bulan di depan
hidung Bank Indoensia, LPS, bahkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
Lantas apa yang
sebenarnya terjadi?
Pada 14 November 2008
Bank Indonesia akhirnya mengabulkan permohonan FPJP untuk Bank Century sebesar
Rp 689 miliar (dari Rp 1 triliun yang diminta). Dana tersebut lalu digunakan
untuk dua jenis kebutuhan besar: pertama untuk melunasi transaki antar-bank
sebesar Rp 28,2 miliar, dan keperluan pembayaran Dana Pihak Ketiga (DPK)
sebesar Rp 661 miliar. Itu artinya, begitu dikucuri FPJP, para nasabah banyak
yang menarik dana melalui rekening masing-masing, sehingga kucuran FPJP ini bak
menyiram air di padang pasir.
Tapi bukan ini bagian
yang terburuk. Bagian terburuknya adalah: dari Rp 661 miliar duit kucuran FPJP
yang ditarik para nasabah Century itu, Rp 273 miliar di antaranya adalah
penarikan oleh pihak-pihak terkait yang mestinya diharamkan dan tak boleh lolos
dari pengawasan Bank Indonesia. Apalagi, Bank Indonesia sendirilah yang
menetapkan peraturan dan sudah mengirim surat larangan, dan menempatkan para
pengawasnya di sana.
Sulit membayangkan,
Bank Indonesia menggerojok Rp 689 miliar (input) tapi tak memperketat
pengawasannya di jalur keluarnya uang (output). Apakah rekening-rekening itu
tidak diblokir? Inilah keganjilan yang kesekian dari banyak keganjilan yang
membelit kisah bail out Bank Century.
Meski surat larangan
penarikan dana dari rekening pihak terkait sudah dilayangkan Bank Indonesia
sejak 6 November 2008, manajemen (lama) Bank Century baru mengeluarkan memo
internal 11 hari kemudian (17 November 2008), yang isinya melarang pihak-pihak
terkait untuk menarik dananya, baik melalui rekening giro, tabungan atau
deposito. Tentu saja banyak hal yang bisa terjadi dalam 11 hari. Apalagi, memo
internal itu tidak merinci nama dan nomor rekening pihak terkait yang dimaksud,
sehingga tidak dilakukan pemblokiran. Lalu apakah manajemen Bank Century
membangkang perintah Bank Indonesia?
Hasil investigasi
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan, blunder tentang mana rekening yang
harus diblokir dan tidak, ada di pihak Bank Indonesia sendiri. Menurut BPK,
―Bank Indonesia tidak segera memberitahukan dan menetapkan rekening pihak
terkait bersamaan dengan penetapan status Bank Century sebagai Bank Dalam
Pengawasan Khusus sebagaimana surat BI kepada Bank Century
No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia, pada 6 November 2008.‖
Tapi Bank Indonesia
sendiri menyatakan bahwa daftar rekening-rekening yang seharusnya diblokir
menjadi tanggung jawab Bank Century. Tentu saja ini logika yang agak
mengganggu, setidaknya bagi saya. Bagaimana mungkin manajemen lama Bank Century
yang mestinya dianggap tidak lagi kompeten, diberi kewenangan menetapkan
sendiri daftar rekening yang boleh dan tak boleh melakukan aktivitas penarikan
atau pencairan. Bukankah manajemen lama dengan mudah akan meloloskan dan
mengamankan rekening-rekening mereka sendiri?
Situasi yang kacau
ini berlanjut hingga periode masuknya LPS (opsi bail-out) tanggal 21 November
2008, setelah keputusan KSSK. Begitu diambil alih LPS, Direksi Bank Century
mengeluarkan memo internal kedua, tertanggal 22 November 2008 yang memerintahkan
kepada seluruh pimpinan cabang untuk memeriksa, melengkapi, dan mengaktualkan
rekening-rekening pihak terkait mana saja yang seharusnya diblokir. Saat
itulah, baru dilakukan pemblokiran atas 543 rekening.
Tapi metode
pemblokiran yang digunakan manajemen (baru) Bank Century itu masih menggunakan
pendekatan nomor rekening, sehingga bila seseorang yang terafiliasi dengan
pemilik lama memiliki lebih dari satu rekening, maka rekening itu bisa saja
lolos atau luput. Padahal, ada metode pelacakan lain yang disebut sebagai
Customer Indentification File (CIF), di mana memungkinkan identifikasi berbagai
nomor rekening untuk setiap nasabah.
Metode inilah yang
kemudian digunakan BPK untuk menjaring lebih teliti lagi, rekening-rekening
mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Dana Pihak Terkait (DPT). Dan benar
saja, dari 543 rekening yang semula ditemukan, setelah menggunakan metode CIF,
ternyata bertambah menjadi 694 rekening. Itu artinya, memang ada nama-nama
tertentu yang memiliki lebih dari satu rekening.
Di tengah kekacauan
inilah muncul sebuah fragmen di mana seorang pengawas Bank Indonesia pada
tanggal 24 November 2008 (hari pertama dimulainya suntikan Rp 6,7 triliun),
berinisiatif menyerahkan data 177 CIF atau sekitar 333 rekening kepada petugas
Informasi dan Teknologi di Bank Century agar melakukan pemblokiran
rekening-rekening tersebut, tanpa sepengetahuan direksi baru.
Di sisi lain, para
petinggi LPS juga gelisah dengan belum tuntasnya daftar negatif (negative list)
atas rekening-rekening ini. Empat hari setelah di-bail-outI (27 November 2008),
Kepala Eksekutif LPS mengirim surat ke Direksi Bank Century yang menegaskan
kembali agar mereka tidak mencairkan dana milik pihak terkait. Surat itu adalah
tindak lanjut dari rapat yang digelar sehari sebelumnya dengan agenda
pembahasan yang sama.
Tapi anehnya, kepada
BPK, para Direksi Bank Century mengaku menerima surat-surat perintah tentang
pemblokiran rekening itu (terutama dari BI) baru pada Agustus 2009! Dengan
demikian maka manajemen baru Bank Century menolak dipersalahkan atas keluarnya
dana melalui rekening-rekening pihak terkait sepanjang November 2008 hingga
Agustus 2009 yang totalnya mencapai Rp 938 miliar!
Inilah ping-pong
besar antara manajemen baru Bank Century, LPS (sebagai pemegang saham), dan
Bank Indonesia (sebagai pengawas). BI dan LPS mengaku sudah mengirim surat
larangan pencairan dana atas rekening-rekening tertentu sejak November 2008,
sementara manajemen Bank Century merasa baru menerimanya pada Agustus 2009.
Selisihnya tak tanggung-tanggung: 9 bulan! Dan selama itu pula duit terus
mengucur kepada rekening-rekening yang dianggap tidak sah.
Setelah melakukan
serangkain wawancara konfrontasi ke berbagai pihak, akhirnya BPK menarik
kesimpulan bahwa ―Bank Indonesia tidak melakukan pengawasan terhadap kepatuhan
Bank Century dalam menginventarisasi maupun melakukan pemblokiran terhadap
rekening-rekening pihak terkait Bank Century sejak Bank Century ditetapkan
sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus.‖
Tapi pejabat Bank
Indonesia berkilah, pihaknya hanya berkewajiban memerintahkan bank melakukan
pemblokiran dan mengawasi pelaksanaannya, tapi tidak berkewajiban menetapkan
daftar pemilik rekening. Sebab, menurut BI, penetapan Dana Pihak Terkait (DPT)
adalah tanggung jawab manajemen Bank Century.
Keterangan ini
bertentangan dengan fakta bahwa pada 28 Januari 2009, Direktorat Pengawasan
Bank (DPG) 1, Bank Indonesia, ternyata mengirim data yang berisi daftar pihak
terkait Bank Century secara formal kepada Kepala Eksekutif LPS. Surat itu
bernomor 11/16/DPB1/TPB1-7/Rahasia. Itu artinya, BI punya kewenangan menetapkan
data tentang pihak terkait. Dalam data BI itu ternyata ditemukan 998 rekening
yang layak masuk daftar negatif.
Fakta lain, LPS pada
14 Januari 2009 juga melayangkan permohonan data pihak terkait Bank Century
kepada Bank Indonesia. Mungkinkah LPS meminta sesuatu kepada lembaga yang tidak
memiliki kewajiban atau kewenangan melakukannya?
BPK sendiri
berpegangan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/38/PBI/2005 yang menyebut
bahwa bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus dilarang melakukan transaksi
dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia,
kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
ALIRAN DANA KELUAR
Untuk menelusuri
pihak yg menerima aliran dana dari proses bail out maka penelitian tidak harus
dibatasi kepada tanggal setelah penggelontoran dana oleh LPS melainkan
perlu ditarik mundur beberapa bulan kebelakang yaitu bulan maret dan april 2008
dimana BC melakukan transaksi yg patut untuk dicurigai sbb:
BC memiliki assets
berupa Placement dana pada bank lain sebesar Rp. 2 triliun menurut neraca per
Dec 2008, hal ini bukan karena bank memiliki kelebihan likuiditas, melainkan
penempatan dana on call dilakukan sebagai fasilitas back to back untuk menjamin
penerbitan fasilitas Credit kepada pihak ketiga. Status dari pos rekening ini
menurut catatan auditor adalah sbb:
Pada tanggal 31 Maret
2008 saldo penempatan dana call money pada Credit Suisse Bank Singapore sebesar
Rp. 221.217.713 (USD 24,032,343) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor
maupun fasilitas credit.
Pada tanggal 24
Nopember 2008 Credit Suisse Bank Singapore melakukan eksekusi atas penempatan
dana tersebut. Walaupun fasilitas tsb belum jatuh tempo Sehingga saldo
penempatan pada bank tersebut menjadi nihil. Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank
menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada The Saudi National
Commercial Bank (SNCB) sebesar Rp. 96.032.569 (USD 10,432,653).
Pada tanggal 29
Januari 2009 The Saudi National Commercial Bank (SNCB) melakukan eksekusi atas
penempatan dana tersebut. Saldo penempatan call money pada bank tersebut
menjadi nihil.
Pada tanggal 31 Maret
2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada Bank
International Indonesia sebesar Rp. 507.562.000 untuk menjamin kewajiban bank
pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 460.250.000 (USD 50,000,000).
Pada tanggal 31 Maret
2008 saldo penempatan dana call money pada PT Bank DBS Indonesia sebesar Rp.
191.714.622 (USD 20,827,277) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Dan
pada tanggal 18 Nopember 2008 DBS dan BII melakukan eksekusi atas
penempatan dana tersebut.
Atau dalam kata lain
, asset BC berupa saldo penempatan dana pada bank lain sebesar kurang
lebih Rp 2 T langsung hilang dari pembukuan. Perhatikan tanggal
terjadinya transaksi serta tanggal eksekusi atau set off yg dilakukan oleh
bank2 penerima placement, masing2 berdekatan dengan disbursement FPJP dan
tahapan penyertaan LPS yg dalam bentuk tunai.
Secara pembukuan
sangat mudah sekali untuk menghapus buku saldo penempatan pada bank lain yg di
offset dengan penerimaan tunai. Kita patut berasumsi bahwa rencana bail out ini
sudah terprogram , karena BI telah melakukan pembiaran atas penjaminan asset
dalam valuta asing milik bank local ( dalam status pengawasan )terhadap
fasilitas credit yg diberikan oleh bank asing non resident (Credit Suisse dan
Saudi Bank) . Ini sama saja dengan membuka pintu lebar2 untuk mengalirkan dana
keluar secara offshore , diluar yurisdiksi control BI selaku otoritas
moneter.
Patut untuk dicurigai
bahwa sesungguhnya funds outflow dalam kaitan dng rencana bailout telah terjadi
pada waktu transaksi penempatan dana pada bank lain dibukukan yaitu antara
maret dan april 2008. Untuk kemudian di cover up dengan transaksi penyertaan
LPS secara tunai. []
(Bambang Soesatyo,
Anggota Timwas Century DPR)
Sent from my
BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar