Memahami Histori dan Metode Pemikiran Syaikh
Siti Jenar
Judul
:
Pengakuan-Pengakuan Syaikh Siti Jenar
Penulis
: Argawi
Kandito
Penerbit/Distributor
: Pustaka Pesantren
Pencetak
: PT LKiS Printing Cemerlang
Terbitan
: I, 2011
Tebal
: 200 Halaman 12 x 18 cm
Peresensi
: Junaidi*
Karena metode “berlayar di permukaan” itu mereka menikamku di depan santri-santriku”. Itu segelintir ucapan Syaikh Siti Jenar. Sedangkan para wali yang lainnya memakai metode “menyelam di dalam laut”. Sehingga pemahaman masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Nama kecil Syaikh Siti Jenar adalah Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail (Hal. 18). Sosok Siti Jenar menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Jawa, bahkan misteri kematian dan pemikirannya dikenal di berbagai penjuru di negeri ini. Ada yang mengatakan bahwa ajaran Siti Jenar menyesatkan bagi kehidupan masyarakat Jawa, sehingga beliau dibunuh oleh para wali yang lainnya. Misteri kematian Syaikh Siti Jenar tidak kunjung selesai sampai pada dari mulut ke mulut masyarakat Jawa saja. Akan tetapi meluas di lingkungan keagamaan di nusantara ini.
Pada umumnya masyarakat mengenal Syaikh Siti Jenar berkaitan dengan tiga hal; wali yang sakti, wali yang mengaku sebagai Tuhan, dan wali yang berasal dari cacing merah. Dari ketiga hal ini, cerita yang ketiga (yang berasal dari cacing merah) paling bersifat kontradiktif. Sebab, apa mungkin gen cacing merah bisa menjadi sosok manusia hanya karena sabda seorang wali?
Bahkan dari nama syaikh Siti Jenar ada dua versi: Pertama, nama itu karena disesuaikan dengan pakaian yang sering dipakai dalam kesehariannya yaitu gamis warna mirah tanah. Syaikh Maulana Maghribi menyapa Abdul Hasan dengan sebutan Si Lemah Bang (sesuai dengan pakaian merah tanah yang digunakannya). Karena pada waktu itu Abdul Hasan juga memakai Iqal yang mayoritas digunakan oleh para wali, maka sebutan tadi pun mengembang dengan sebutan “Syaikh” di depannya. Menjadi terkenallah Abdul Hasan dengan sebutan “Syaikh Lemah Bang”. Kemudian Raden Pati Unus yang hadir di perkumpulan wali itu memperhalus sebutan “Syaikh Lemah Bang” dengan boso kromo menjadi “Syaikh Siti Jenar”. Mulai saat itu, sebutan Syaikh Siti Jenar mulai terkenal (Hal. 42).
Kedua, konon katanya ada seorang wali yang sedang melakukan wejangan pada seorang santrinya di atas perahu. Ketika itu, mereka mengetahui bahwa ada lubang di perahunya sehingga ada rembesan air ayng masuk ke dalam perahunya. Kemudian mereka menambal dengan tanah lumpur, dengan tidak disadari oleh mereka, di lumpur tadi ada cacing merah yang menempel. Mereka melanjutkan wejangannya setelah dirasa aman. Tiba-tiba sang wali terhenyak karena merasa ada gangguan, seperti ada orang yang datang. Namun, dalam pandangan mata mereka tidak ada orang selain mereka berdua. Setelah melakukan pencarian melalui pengaktifan mata batin, sang wali menemukan sumber gangguan itu berasal dari cacing merah yang menempel di lumpur tadi.
Cacing tadi diminta oleh sang wali untuk menampakkan diri dalam wujud manusia. Maka cacing itu menampakkan diri dalam wujud manusia. Setelah itu sang wali bertanya kepada tentang apa yang diketahui dari pertemuan sang wali dengan santrinya. Ia mengaku tahu apa yang dilakukan oleh mereka berdua di atas perhunya. Mendengar ucapan manusia jelmaan cacing tadi sang wali lantas mengaku sebagai mruidnya yang tingkatannya sama dengan santrinya tadi. Sang wali kemudian memberinya nama dengan sebutan Siti Jenar, artinya manusia yang berasal dari cacing merah (Hal. 83).
Begitulah kisah tentang keberadaan Syaikh Siti Jenar. Namun, Argawi tidak hanya mengulas akan hal itu saja. Akan tetapi berbagai pemikiran keislaman Syaikh Siti Jenar yang ada kontroversi dengan para wali yang lain juga dipaparkan dengan lugas dan jelas. Sehingga kita sebagai pembaca mudah untuk memahami histori Syaikh Siti Jenar yang menjadi perbincangan masyarakat secara turun temurun.
Buku ini ditulis berdasarkan kontak langsung antara Argawi Kandito (penulis) dengan Syaikh Siti Jenar di alamnya sekarang. Dia mengklarifikasi apa pun yang dilakukannya selama hidup di dunia. Beberapa informasi awal yang dipahami masyarakat dijadikan kata kunci untuk melakukan klarafikasi olehnya. Hasil dari klarafikasi itulah yang ditulis oleh Argawi Kandito.
Secara garis besar buku ini mengisahkan masa kecil syaikh Siti Jenar, masa remajanya, masa menuntut ilmu, bagaimana ia meramu ajarannya, pokok-pokok ajaran dan pemikrannya, kendala-kendala yang dihadapi dalam kehidupannya hingga kematiannya. Data klarafikasi yang berasal dari pengakuan-pengakuannya kemudian dideskripsikan olehnya agar mudah dipahami oleh para pembaca.
Gaya penulisan buku ini sedikit berbeda denga buku-buku yang lainnya. Dalam buku ini pembahasannya berbentuk deskriptif. Meskipun demikian, teknik pengambilan data sama saja yakni melalui perjumpaan dengan nara sumber di alamnya secara kontak batin. Demikian pula, dan tujuannya pun sama yakni ingin berbagi informasi dari perjalanan spiritual yang dilakukan oleh penulis.
* Penulis adalah mahasiswa jurusan Sastra Inggris fakultas Adab sekaligus jurnalis pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar