Selasa, 18 September 2012

(Ngaji of the Day) Membonsai Pemahaman Islam Aspiratif


Membonsai Pemahaman Islam Aspiratif

Oleh: Fariz Alniezar


Sebagaiman kita alami bersama, hari-hari ini kita sedang di suguhi berbagai “drama” menarik, cerita kehidupan penuh intrik, konflik berkepanjangan yang sangat pelik dan bahkan banyak pakar yang—saking latennya masalah—merasa kesulitan untuk merumuskan akar permasalahnya. Namun satu hal “drama” tersebut muaranya pada satu hal yakni “kekerasan” dengan berbagai tingkat dan varian.


Menarik untuk kita cermati bersama bahwa, setidaknya dari berbagai macam aksi teror, kekerasan, pencekalan, penolakan serta rencana sweeping yang terjadi akhir-akhir ini ada semacam kemiripan pangkal permasalahan, yakni pemahaman yang dangkal serta rigid antar ajaran serta doktrin dari sebuah agama. Agama dalam hal ini sering dijadikan topeng demi tercapainya “hasrat” keberagamaan yang tentu secara subjektif dianggap benar oleh mereka.


Lebih mengerucut lagi jika kita tarik permasalahan ini ke dalam suatu agama tertentu, artinya jika kita identifikasi para pelaku teror apapun jenisnya semuanya beragama Islam atau bahkan dari satu kalangan ormas tertentu. Di sini tentu ada semacam “branding” bahwa Islam adalah agama pedang, agama kekerasan dan juga agama yang sama sekali tidak mengajarkan perdamaian. Secara filologi Islam memang berarti agama yang menyelamatkan, to save, tapi sungguh bukanlah perkara mudah untuk menterjemahkan konsep tersebut ke dalam kehidupan yang sudah sangat ruwet dan tidak waras seperti saat ini.


Sejak mencuatnya Samuel Huntington (Huntington: 1996) dengan tesisnya the clash of civilization, maka kekerasan yang berkedok keagamaanpun seakan-akan menemukan momentum yang tepat, terlebih jika hal tersebut kita hubungkan dengan peristiwa 9/11 yang sangat memojokkan bukan saja Agama Islam tapi juga bahkan umat Islam secara keseluruhan.


Islam yang semestinya --meminjam bahasa al-Qur’an—rahmatan lil alamin, menebar kedamain seakan-akan ternodai dengan sikap beragama sebagian kecil pemeluknya yang radikal serta ekstrim.


Islam, memang selamanya akan berbeda dengan tafsir tentang Islam, karena penafsiran tentu sangatlah subjektif sebagaimana dalam bahasa Immanuael Kant yang di kutip oleh Richard Tarnas (1993) bahwa sesungguhnya di depan mata manusia itu terdapat “lensa” dan “lensa” tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang, nilai serta kejadian-kejadian lain yang bersifat pribadi. Maka boleh jadi ada sejuta bahkan lebih tafsir tentang Agama itu sendiri.


Berangkat dari akar penafsiran yang berbeda itulah ada sebagian orang yang dengan seenaknya sendiri menafsirkan doktrin agama Islam dalam hal ini jihad sebagai sebuah bentuk perlawanan atas segala tindakan yang mereka anggap menyimpang.


Dari sinilah penting untuk kita rumuskan kembali makna jihad yang lebih tajam dan aktual untuk konteks masa dan juga konteks masyarakat plural seperti di Indonesia ini. Jika di telaah lebih jauh kata jihad merupakan satu rumpun (derivasi) dari kata jahada yang berarti berusaha (fisik), dekat juga artinya dengan kata ijtihad segala upaya yang lebih mengandalkan kerja otak dan intelegensia serta mujahadah yakni usaha yang lebih menekankan pada dimensi intuitif bathiniyyah.


Para sarjana klasik mengatakan bahwa berjihad bukanlah semata berperang angkat senjata sebagaimana yang kita saksiakan akhir-akhir ini, berjihad adalah usaha positif untuk melawan musuh bersama, lha musuh bersama inilah yang harus kita rumuskan bersama, sebagaimana Muhamad Sobary (2008) mengatakan bahwa jihad akan lebih efektif mana kala kita mampu untuk terlebih dahulu merumuskan musuh bersama kita.


Jika mengacu pada konsep tiga kata yang berakar dari satu kata di atas maka muslim yang ideal adalah yang mampu mandayagunakan akal dengan maksimal dibarengi dengan usaha kongkret yang optimal serta di sokong dengan kontemplasi ritual yang sungguh-sungguh. Maka tentu akan terwujud karakter seorang muslim yang ideal.


Lha, sementara ini yang banyak kita jumpai adalah muslim yang sepotong-potong. Ada yang mujahadah saja sehingga kesehariannya berurusan dengan Tuhan dan dimensi asketis rituil lainnya, kemudian ada lagi yang kesehariannya hanya menjadi pemikir saja dengan mengandalkan intelgensia yang ia miliki tanpa melakukan kerja yang nyata dan yang terakhir serta yang paling berbahaya tentunya adalah seorang muslim yang melakukan kerja-kerja fisik saja, kesehariannya jihad saja tanpa dibarengi dengan akal serta pemahaman yang matang tentang agama.


Jika kita renungkan lebih dalam bahwa jihad yang lebih relevan untuk saat ini adalah bagaimana kita secara kolektif mampu untuk memerangi kemiskinan dan juga kebodohan, ini penting mengingat dua musuh kita bersama itulah akar dari masalah yang kita hadapi. Sebagaimana pendapat mendiang Moeslim Abdurrohman (2000) yang mengatakan bahwa segala bentuk kekerasan serta konflik keberagamaan yang terjadi adalah karena dua hal satu karena lemahnya pemahaman yang berarti kebodohan serta dua dikarenakan kesenjangan ekonomi.


Kita mestinya --tak perlu takut pada misalnya-- istilah cuci otak, brain washing, negara Islam Indonesia atau mungkin Negara Insyaallah Islam, bom buku, bom bunuh diri, gerakan tolak Irshad Mandji yang aktivis gender, gerakan cekal Lady Gaga, sweeping kaki lima selama bulan puasa atau berbagai tindak kekerasan serta terorisme yang lain asal kita punya dua pilar tadi yakni masyarakat yang matang pemahaman kebergamaannya dan juga kesejahteraan ekonomi yang terjamin.


Fenomena menangapi suatu persoalan dengan gegabah dan reaktif inilah yang kita berarti sebagai persoalan yang nyata hari ini, kita cenderung reaktif-defensif serta reaksioner terhadap sesuatu yang belum tentu itu buruk bagi kita, ini sinyal bahwa kita lemah dan belum mempunyai pandangan yang holistik-komprehensif dalam memandang suatu masalah.


Masalahnya sekarang ini adalah pemerintah sangat tidak sportif dalam berbagai hal, mestinya kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga dari sini, mengapa misalnya tidak ada peraturan tegas yang mengatur para “gangster motor Islami” yang kian hari kian meresahkan warga? datang kesebuah pengajian dengan seremonial konvoi tak jarang juga tak memakai atribut kwajiban berkendara semisal helmet dan lain sebagainya? sampai hari ini kita hanya bisa mengandaikan bahwa akan ada policy-policy yang dengan tegas mengatur setiap tindak tanduk yang cenderung mengarah kepada anarkisme.


Alakullihal, sangat menarik merenungi ungkapan Said Aqil Siradj (2008) bahwa Islam itu inspiratif bukan aspiratif . Wallahu a’lam bisshowab


* Nahdliyyin, Esais dan Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar