Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Rencana Kebijakan pengetatan remisi bagi
terpidana koruptor dan narkotika tidak mudah karena serba dilematis. Apalagi,
remisi terbukti bisa digunakan presiden untuk melindungi WNI yang sedang
menghadapi masalah hukum di negara lain.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham) masih menunggu respons dari Kantor Presiden atas rancangan
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengetatan Remisi sebagai pengganti
atau perubahan dari PP No.28/2006. Oleh karena itu, pijakan hukum dalam
pemberian remisi tetap harus mengacu pada ketentuan yang berlaku sekarang.
Maka, tidak bisa tidak, Kemenkumham tetap
harus memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika.
Dengan pemberian remisi itu, siapa pun tidak bisa serta merta menuduh
Kemenkumham sebagai pembela koruptor, pembela bandar narkoba atau pembela
teroris. Pemberian remisi adalah amanah undang-undang (UU), dan UU wajib
dilaksanakan tanpa kecuali. Pengetatan remisi bagi tiga kelompok narapidana itu
otomatis tidak bisa diterapkan karena belum ada ketentuan legal yang
mengaturnya.
Menyongsong HUT Proklamasi RI dan Idul Fitri
tahun ini, Kemenkumham memberikan remisi kepada Gayus Tambunan sebanyak empat
bulan. Bukan hanya Gayus yang mendapatkan remisi. Mengacu pada PP No.28/2006,
total terpidana korupsi yang mendapatkan remisi mencapai 583 orang narapidana.
Dari jumlah itu. 32 terpidana di antaranya bebas dari lembaga pemasyarakatan
masing-masing. Sementara itu, pada kelompok terpidana narkotika, remisi
diberikan kepada 135 narapidana. Satu di antaranya langsung bebas.
Sudah menjadi fakta yang diketahui publik
bahwa kejahatan narkotika di Indonesia melibatkan sejumlah warga negara asing
(WNA). Contoh kasus yang masih diingat banyak orang adalah Schapelle Leigh
Corby dari Australia. Corby, yang kini berstatus terpidana atas pemilikan narkotika,
baru-baru ini mendapatkan grasi (pemotongan masa tahanan) lima tahun dari
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sejumlah WNA pun diduga terlibat pada
sejumlah kasus korupsi di negara ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
menetapkan Presiden Direktur PT Onamba Indonesia, Shiokawa Toshio, sebagai
tersangka kasus korupsi. Pengusaha asal Jepang itu terseret kasus suap terkait
sengketa serikat pekerja di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat.
Selain itu, KPK pun baru-baru ini menangkap
tangan seorang WNA asal Amerika Serikat yang diduga menyuap petugas Bea Cukai.
Jumlah WNA yang tersandung kasus korupsi akan bertambah banyak jika
penyelidikan terhadap belasan perusahaan Migas asing penunggak pajak
memunculkan tersangka-tersangka baru.
Kalau remisi ternyata bisa digunakan Presiden
untuk melindungi atau menyelamatkan WNI yang bermasalah dengan hukum di negara
lain, masih relevan-kah upaya Kemenkumham menggolkan rencana kebijakan
pengetatan remisi bagi terpidana koruptor dan narkotika? Pemberian grasi untuk
Corby oleh Presiden menunjukan kecenderungan bahwa rencana kebijakan pengetatan
remisi itu bisa saja tidak relevan. Selain bertentangan dengan undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang mengatur pemberian remisi bagi
narapidana, juga tidak sejalan dengan kebijakan dan strategi presiden
melindungi WNI bermasalah di negara lain.
Ketika merespons kecaman masyarakat atas
grasi Corby, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menjelaskan bahwa
kebijakan presiden memberi pemotongan masa tahanan lima tahun bagi Corby
merupakan bentuk kesamaan perlakuan hukum. Sebab, Presiden juga meminta
warga negara Indonesia yang mendapat hukuman berat di negara lain untuk diberi
keringanan hukuman. Ketika itu, berbagai kalangan memaknai grasi Corby sebagai
‘barter’ dengan sejumlah narapidana WNI yang mendekam di penjara-penjara
Australia.
Soal Kredibilitas
Penjelasan Denny itu dengan mudah ditafsirkan
bahwa remisi bisa menjadi alat bagi presiden untuk mengatasi persoalan hukum
yang dihadapi WNI di negara lain. Seharusnya, faktor ini ikut diperhitungkan
dalam draft PP pengetatan remisi.
Dengan begitu, suatu saat nanti, WNA yang
terlibat kasus korupsi di negara ini bisa juga diposisikan seperti Corby, baik
untuk melindungi WNI yang bermasalah di negara asal terpidana WNA, maupun untuk
kepentingan lain. Karena itu, dalam konteks HAM, pengetatan remisi bagi
terpidana korupsi dan narkotika tampaknya memang tidak mudah untuk
diterapkan.
Barangkali, itu pula sebabnya rancangan PP
sebagai pengganti PP No. 28/2006 tentang pengaturan remisi belum juga direspons
presiden. Seperti diketahui, draft PP baru itu berintikan kebijakan pengetatan
remisi bagi terpidana koruptor dan narkotika yang digagas oleh Kemenkumham,
khususnya Denny Indrayana. Denny sendiri mengatakan terus berikhtiar agar PP
pengetatan remisi bisa segera diterbitkan.
Seperti diketahui, Pengadilan Tata Usaha
Negara(PTUN) telah membatalkan Surat Keputusan (SK) Menkum HAM per 16
November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap tujuh koruptor. PUTN menilai
SK Menkum HAM itu tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Karena SK
itu dibatalkan, Kemenkumham mencoba lagi melalui rancangan PP.
Tidak ada yang tahu kapan PP Pengetatan
remisi itu akan ditandatangani presiden dan diberlakukan. Sebaliknya, muncul
keyakinan di sejumlah kalangan bahwa kantor presiden tidak ingin buru-buru
memproses draft PP yang diajukan Kemenkumham itu. Faktor Wamenkumham yang tidak
kredibel menyebabkan kantor presiden ekstra hati-hati menyikapi draft PP itu.
Intinya adalah kantor presiden tidak ingin dipermalukan lagi. Bagaimana pun,
keputusan PTUN atas SK Menkumham tentang pengetatan remisi harus benar-benar
diperhitungkan.
Tentu saja kantor presiden akan mempelajari
muatan rancangan PP itu. Kalau Undang-undang menetapkan remisi sebagai hak
narapidana, tidakkah PP itu akan melanggar hak-hak narapidana. Sudah barang
tentu Kemenkumham akan memberi penjelasan guna meyakinkan kantor presiden.
Tetapi, apakah kantor presiden akan percaya begitu saja dengan penjelasan
Kemenkumham yang telah melakukan blunder dengan SK pengetatan remisi itu? Tidak
salah kalau kantor presiden ekstra hati-hati.
Berdasarkan fakta tentang grasi untuk Corby
plus alasan-alasan yang menyertainya, ditambah lagi dengan fakta tentang remisi
untuk Gayus Tambunan, terbaca dengan Jelas bahwa rencana kebijakan pengetatan
remisi itu bukan inisiatif pemerintahan presiden SBY, melainkan inisiatif
pribadi Denny yang boleh jadi tidak pernah dikonsultasikan kepada presiden.
Kalau niat memperketat pemberian remisi
menjadi gagasan pemerintah, rasanya tidak mungkin SBY gegabah mau memberikan
potongan masa tahanan untuk Corby cs. Sebab, wewenang meloloskan atau
menggugurkan usul pemberian grasi ada pada presiden dan bersifat final.
Untuk merespons setiap masalah yang mengemuka
di areal tugasnya, para menteri atau wakil menteri selaku Pembantu presiden
memang harus kreatif. Namun, kebebasan mengkreasi kebijakan kementerian tidak
boleh disalahgunakan atau semena-mena, apalagi untuk tujuan politik yang
sempit.
Tindakan semena-mena, dan cenderung
menyalahgunakan wewenang, terlihat Ketika menyimak proses menerbitkan SK
Menkumham tentang pengetatan remisi itu. Kebijakannya ditetapkan melalui
telepon pada 30 Oktober 2011, dan esok harinya,31 Oktober 2011, perintah lisan
itu langsung dijadikan surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan.
Penerbitan SK Menkumham untuk membatalkan
remisi para terpidana ibarat sirkus. Sebab, tanggal penerbitannya janggal.
Rujukannya pun ngawur. Paling konyol adalah keterpaksaan merubah judul
kebijakan dalam hitungan jam; semula ‘Moratorium Remisi’ menjadi
‘Pengetatan Remisi’. Dan kita pun patut menduga, tindakan tersebut hanya untuk
mencari muka kepada Presiden SBY dengan menjegal kebebasan Paskah Suzeta. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar