Sertifikasi Ulama, Yang
Benar Saja?
Oleh: Hamidulloh Ibda
Baru-baru ini, isu wacana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tentang sertifikasi untuk ulama mendapat penolakan keras dari berbagai kalangan. Sertifikasi yang diwacanakan BNPT adalah untuk menyertifikasi dai, kiai, ustadz, guru ngaji, mubalig atau sebutan lain bagi penyebar agama Islam. Namun, banyak kalangan dari ormas sepeti PBNU, parpol, politisi menolak wacana tersebut. Pantas kita bertanya, apakah BNPT sudah kehilangan cara untuk menanggulangi terorisme? Ini membuktikan “kesalahan berfikir” yang dilakukan BNPT.
Kiai atau ustadz adalah sebutan yang dilekatkan masyarakat kepada orang-orang yang mengabdikan dirinya bagi kepentingan dakwah. Mereka merupakan orang-orang yang dengan kesadaran sendiri menyediakan waktu, tenaga, pikiran, biaya, dan sarana untuk tugas sosial/pengabdian untuk umat yang dianggap mulia, yaitu menjalankan perintah agama untuk mengajak orang kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Para kiai itu merupakan pekerja sosial yang “tidak digaji” atau diberi honor tetap oleh pemerintah. Bahkan, banyak dari mereka yang “mengeluarkan uang sendiri” untuk membiayai kegiatannya.
Karena menjalankan tugas sosial, kegiatan mereka bukanlah profesi yang bisa dijenjangkan atau diklasifikasi berdasarkan suatu penilaian. Mereka tidak berhak menerima gaji atau honor dari pihak lain, karena gaji mereka langsung dari Allah SWT. Dalam bahasa Islam, mereka merupakan orang-orang yang berjuang di jalan Allah (fii sabilillaah). Mereka tidak dinilai atau mengharapkan ganjaran dari manusia, melainkan hanya mengharap rida-Nya.
Logika sesat
Atas dasar di atas, pantas jika sertifikasi dikatakan merupakan gagasan yang irasional dan sesat. Sertifikasi lazimnya diterapkan pada profesi tertentu sebagai syarat kompetensi untuk mendapatkan kompensasi tertentu. Dalam konteks gagasan BNPT, sertifikasi yang dimaksudkan adalah penyensoran terhadap kiai atau ustadz. Hal ini selain melanggar kebebasan beragama dan langkah mundur ke rezim otoritarianisme, juga akan merepotkan pemerintah sendiri.
Penanggulangan terorisme yang efektif adalah melalui upaya deradikalisasi dan pengawasan oleh masyarakat. Pengawasan masyarakat bisa didorong melalui administrasi kependudukan dan mobilitasnya yang tertib dan valid. Peran pemerintah dan aparat negara juga penting. Jika pemerintah dan aparat mampu bertindak adil, dengan sendirinya radikalisasi akan menurun. Penyensoran terhadap kiai atau ustadz justru akan meningkatkan radikalisasi.
Karena sebutan kiai atau ustadz diberikan oleh masyarakat, maka masyarakat pula yang akan menyensor mereka. Dengan masyarakat yang makin cerdas dan memiliki banyak informasi, maka ruang gerak oknum teroris yang bersembunyi di balik kegiatan agama bisa cepat dilacak. BNPT bisa mendorong pengawasan masyarakat ini melalui akses dan fasilitas yang dimilikinya.Berbahaya.
Menolak
Meskipun belum disahkan dan bahkan menjadi kontroversi, banyak kalangan yang menolak wacana sertifikasi ulama. Ini disebabkan karena “cara berpikir salah” yang dilakukan BNPT. Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD juga menolaknya (Media Indonesia, 11/9). Menurut Mahfud, sertifikasi ustadz seperti diusulkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) akan sangat berbahaya dan rawan dipolitisir jika suatu saat jatuh pada orang atau di tangan yang salah.
Seharusnya, BNPT lebih serius dan meningkatkan kinerjanya secara maksimal, bukan justru melakukan sertifikasi ulama. Ini sangat berbahaya sekali. Padahal, yang berhak lakukan sertifikasi ustadz adalah ustadz, bukan pemerintah. Jika alasan perlunya sertifikasi ustadz itu mengadopsi cara Singapura dan Saudi Arabia untuk tidak mencetak teroris, itu sangat berbahaya dan berlebihan. Hal itu seakan-akan BNPT tak punya ide, wacana, dan ketegasan dalam menanggulangi terorisme.
Sertifikasi ulama memang salah kaprah. Tidak semua kiai, ulama, ustadz adalah teroris. Itu yang harus dipahami secara mendalam. Jika sertifikasi ulama tetap dipertahankan untuk disahkan, maka sama saja BNPT mengklaim bahwa ulama adalah teroris. Lalu, apakah benar ulama itu guru/teroris itu sendiri? Tentu tidak.
Sisi positif dari sertifikasi itu memang bisa menyeleksi mana yang ulama beneran mana yang tidak. Sisi negatifnya, akan membuka peluang sertifikasi sebagai kontrol dari institusi tertentu kepada pemuka agama. Ulama akan diberi sertifikat oleh institusi tertentu. Lantas, bagaimana dengan ulama yang tidak memiliki sertifikat? Tentu menjadi polemik. Justru yang terpenting adalah memberi pemahaman kepada masyarakat dan semua tokoh agama tentang bahaya terorisme. Selain itu, solusi untuk menekan radikalisme dan terorisme melalui penegakan hukum, peningkatan pengetahuan, pendidikan, kesejahteraan.
Karena itu, seharusnya pemerintah harus segera menuntaskan polemik sertifikasi ulama yang saat ini sedang ramai di media massa. Jangan sampai polemik ini justru mengganggu agenda pemberantasan terorisme di Indonesia. Meskipun belum jelas diwacanakan dan disetujui oleh publik, pemerintah harus segera menuntaskannya. Maka, dibutuhkan ketegasan BNPT untuk segera menuntaskan kontroversi yang sedang terjadi. Wallahu a’lam bisshawab.
* Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar