Bank Century adalah kasus seksi, tapi orang
terengah-engah mengikuti detilnya. Terlalu rumit, teknis, dan menyangkut rimba
belantara perbankan yang tak dikenal orang ramai: termasuk wartawan. Belum lagi
akses data yang serba terbatas karena industri keuangan memang dilindungi aneka
aturan yang tak memungkinkan lalu lintas informasi diakses banyak pihak. Tapi
sejauh berkaitan dengan dana publik, maka kita berhak memperbincangkannya,
termasuk membuka-buka datanya.
Salah satu bagian yang perlu diperjelas dari
kasus Bank Century ini adalah; tak banyak orang menyadari bahwa pengucuran dana
terhadap bank milik Robert Tantular itu sejatinya terjadi dua kali. Pertama
sebesar Rp 689 miliar, dan kedua sebesar Rp 6,7 triliun. Tentu saja yang lebih
tersohor adalah pengucuran dalam skema total Rp 6,7 triliun yang dilakukan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara (PMS),
antara 24 November 2008 hingga 24 Juli 2009. Sementara yang Rp 689 miliar
dikucurkan antara 14-18 November 2008 melalui skema Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek (FPJP). Kucuran melalui skema FPJP dan skema LPS memiliki perbedaan dari
sisi sumber dananya. FPJP adalah dana talangan dari (kantong) Bank Indonesia,
sementara dana LPS merupakan gabungan antara dana publik (modal awal Rp 4
triliun dari APBN) dan dana masyarakat melalui iuran perbankan.
Mungkin karena fasilitas pengucuran melalui
skema FPJP ini sudah dilunasi 11 Februari 2009, maka urusannya dianggap selesai
dan ―kurang diributka !!. Padahal, tidak semudah itu urusannya.
Sebagaimana tersurat dalam catatan
sebelumnya, karena kesulitan likuiditas, manajemen Bank Century pada 30 Oktober
2008 mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank
Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Permohonan itu diulangi empat hari kemudian, 3
November 2008. Karena permohonan itulah maka pada 6 November 2008, Bank Century
resmi berada dalam pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Sejak itu pula, Bank
Indonesia menempatkan para pengawasnya di kantor Bank Century.
Tanggal 14 November 2008, setelah mengubah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang ketentuan Rasio Kecukupan Modal atau CAR
minimum dari 8 persen menjadi minimal 0 persen, Bank Century pun mendapat
kucuran dana Rp 356,8 miliar. Tiga hari kemudian (17/11) dikucuri lagi Rp 145,2
miliar dan sehari kemudian ditambah lagi Rp 187,3 miliar, sehingga jumlah total
FPJP yang diterima adalah Rp 689 miliar (dari permohonan awal Rp 1 triliun).
Jadi ribut-ribut soal mengubah aturan yang
dianggap ―last minute dan ―demi Bank Century seorang itu
sesungguhnya adalah keributan di tahap fase pengucuran pertama (melalui
skema FPJP), dan bukan bagian dari keributan Rp 6,7 triliun.
Nah, menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 10/30/PBI/2008 ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah bank
yang mengajukan FPJP, di antaranya adalah menyerahkan jaminan aset. Jadi dalam
hal ini, Bank Indonesia bertindak sebagai layaknya bank, yang memberi pinjaman
dan meminta jaminan aset dari debiturnya. Jaminan aset (kolateral) yang
diserahkan manajemen Bank Century kepada Bank Indonesia adalah Aset Kredit atau
dalam kira-kira sama dengan hak tagih. Jadi Bank Century punya tagihan kredit
kepada para nasabahnya, dan tagihan kredit itulah yang dialihkan ke Bank
Indonesia sebagai jaminan.
Keganjilan a. Di sinilah persoalan mulai
muncul. Dalam dokumen hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada bulan
April 2009 (sebelum kasus Bank Century meledak ke permukaan –Juli 2009),
ditemukan bahwa dokumen Aset Kredit senilai Rp 232,5 miliar baru diserahkan ke
Bank Indonesia, tiga hari setelah pengucuran termin pertama, alias 17 November
2008. Itu berarti, Bank Indonesia dengan sadar mengucurkan duit talangan
terlebih dahulu, tanpa meneliti kelengkapan dokumen Aset Kredit yang dijadikan
jaminannya.
Kesalahan (secara sengaja?) kembali terulang
pada pengucuran selanjutnya, di mana Bank Indonesia sudah memberikan dana Rp
187,2 miliar pada 18 November 2008, namun dokumen jaminannya baru diterima dua
hari kemudian. Menurut BPK, dua kesalahan beruntun ini melanggar aturan yang
dibuat Bank Indonesia sendiri. Pasal 8, PBI 10/30/2008 misalnya, menyebut bahwa
permohonan FPJP wajib dilengkapi dengan dokumen antara lain daftar aset yang
menjadi agunan beserta dokumen pendukung. Jadi, daftar agunan dan dokumennya
harus diserahkan dulu, lalu BI membuat penilaian, dan fasilitas pun dikucurkan.
Pasal 9 menyatakan, persetujuan BI atas permohonan FPJP dilakukan apabila
antara lain Bank memenuhi persyaratan kelengkapan permohonan FPJP. Jadi
bagaimana Bank Century yang kelengkapannya ―menyusul justru bisa mendapat
kucuran Rp 689 miliar dalam empat hari berturut-turut?
Keganjilan b. Keganjilan lain yang sangat
menggangu adalah kuantitas dari agunan berupa Aset Kredit yang diserahkan Bank
Century kepada BI. Lagi-lagi menurut aturan yang dibuat Bank Indonesia sendiri
(PBI 10/26/2008) tentang FPJP, jumlah bank yang menyerahkan Aset Kredit sebagai
jaminan, harus berjumlah ―palig kurang 150 persen (Pasal 5) dari nilai FPJP.
Nah, menurut temuan BPK, jumlah Aset Kredit yang dijaminkan ke Bank Indonesia
hanya 148 persen dari FPJP yang dikucurkan alias hanya Rp 1,02 triliun.
Keganjilan c. Nah, di dalam agunan yang
kurang itupun (kuantitas), masih terdapat persoalan dari sisi kualitas
agunanannya. Di dalam Aset Kredit yang dijaminkan Bank Century kepada Bank
Indonesia, terdapat hak tagih terhadap tiga debitur besar: a. PT Artha Persada
(Rp 222,99 miliar) b. Boedi Sampoerna (Rp 195 miliar) c. PT Tranka Kabel (Rp 50
miliar)
Jadi, pengusaha Boedi Sampoerna yang namanya
banyak disebut-sebut, sesungguhnya tak hanya sebagai deposan di Bank Century,
tetapi juga sebagai debitur alias orang yang berhutang. Nah, ketiga debitur ini
menyerahkan depositonya sebagai jaminan di bank yang sama. Jadi ketika Bank
Century menyerahkan Aset Kredit dari ketiganya ke BI, maka agunan mereka berupa
deposito pun ikut terbawa (carry over) sebagai jaminan FPJP.
Di mata BPK, ini adalah blunder yang
dilakukan Bank Indonesia. Sebab, dengan jaminan deposito, bila ketiga debitur
tersebut gagal bayar (kreditnya macet), maka agunan yang dapat dicairkan dari
masing-masing mereka hanya Rp 2 miliar sesuai batas Dana Pihak Ketiga (DPK)
yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi dari agunan sebesar Rp 467
miliar itu (milik ketiga debitur), bisa-bisa hanya tinggal Rp 6 miliar.
Inilah yang disebut dalam hasil audit BPK
September 2009 (setelah kasus Bank Century ramai) sebagai ―jaminan yang tidak
secure.
Dengan adanya unsur jaminan deposito sebesar
Rp 467 miliar di dalam agunan Bank Century kepada Bank Indonesia itu pula, saya
menganggap bila Bank Century dinyatakan sebagai Bank Gagal dan kemudian
ditutup, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 461 miliar. Sebab, bila
BI memutuskan menutup Bank Century, maka dia pun hanya akan menerima pembayaran
dari LPS sebesar maksimal Rp 6 miliar dari ketiga deposito itu. Karena
lagi-lagi, batas deposito yang dijamin hanya Rp 2 miliar.
Jadi, dalam hal ini, Bank Indonesia sudah
tersandera dengan keteledorannya( ?) sendiri dalam episode pengucuran FPJP,
sehingga mau tak mau memang harus ―ngotot menyelamatkan Bank Century (dengan
episode Rp 6,7 triliun LPS). Apalagi bila keteledoran ini adalah kesengajaan,
maka menutup Bank Century sama dengan membuka kotak pandora berbagai
kemungkinan tindak pidana persekongkolan yang sangat potensial merugikan
negara. Sebab, baik keganjilan penyerahan dokumen Aset Kredit (a), kuantitas
Aset Kredit (b), maupun kualitasnya ini (c), mustahil tak bisa dikaitkan dengan
aspek-aspek pengawasan dari orang-orang BI sendiri, sejak Bank Century
berstatus Bank Dalam Pengawasan Khusus, 6 November 2008.
Mendadak Bengkak
Bank Century diputuskan sebagai Bank Gagal
yang direkomendasikan Berdampak Sistemik pada 20 November 2008 jam 8 malam oleh
Dewan Gubernur Bank Indonesia. Keputusan itu diteruskan ke Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) di mana Menteri Keuangan sebagai ketuanya, yang langsung
menggelar rapat pada hari yang sama jam 11 malam sampai jam 5 pagi. Rapat
itulah yang lalu mengesahkan rekomendasi BI agar Bank Century di-bailout.
Seperti disampaikan pemerintah, pertimbangan
memilih bailout dibanding menutup –selain dampak sistemik— adalah karena
biayanya yang jauh lebih murah: Rp 632 miliar dibanding Rp 5,6 triliun.
Suntikan Rp 632 miliar oleh LPS akan menaikkan Rasio Kecukupan Modal/CAR Bank
Century dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen (syarat minimum bank sehat).
Angka CAR negatif 3,53 persen itu adalah perhitungan CAR per 31 Oktober 2008
yang hasilnya konon baru diketahui tanggal 20 November 2008 (hari di mana Dewan
Gubernur BI memutuskan Bank Century berstatus Bank Gagal yang Berdampak
Sistemik).
Jadi, Bank Indonesia tidak mendasarkan
datanya pada perhitungan CAR paling aktual (November) yang perhitungannya
katanya baru keluar 20-25 hari setelah akhir bulan. Ini mirip pengucuran
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang menggunakan asumsi CAR per 30
September, untuk pengucuran 14 November 2008. Padahal, selisihnya sudah jauh.
CAR Bank Century per 30 September masih positif 2,35 persen. Sehingga dengan
mengubah aturan tentang FPJP dari positif 8 persen menjadi positif saja, Bank
Century bisa mendapat kucuran dana FPJP Rp 689 miliar. Padahal, pada saat
periode pengucuran itu, CAR Bank Century sudah jatuh ke level negatif 3,53
persen (perhitungan 31 Oktober yang dikatakan baru keluar 20 November). Tentu
saja bila angka ini yang menjadi acuan, Bank Century tetap tak layak ditolong
dengan FPJP, meski standar aturannya sudah diturunkan sedemikian rupa (dari
minimal CAR 8 persen menjadi minimal 0 persen).
Nah, ketika Bank Indonesia
"meyakinkan" KSSK dan LPS bahwa Bank Century layak diselamatkan
karena biayanya lebih murah, data yang digunakan lagi-lagi data CAR 31 Oktober
2008. Padahal para pejabat peserta rapat ini tahu belaka, bahwa ongkos
penyelamatan yang katanya lebih murah daripada ongkos menutup itu, didasarkan
pada data yang seharusnya sudah di-update agar lebih aktual. Terkesan lah bahwa
keputusan ini diambil dari informasi-informasi yang sepatutnya sudah basi.
Sebab, hanya beberapa jam setelah KSSK
mengetok palu memutuskan mem-bailout Bank Century dengan Rp 632 miliar saja,
Bank Indonesia mengeluarkan perhitungan CAR terbaru!
Tidak ada keterangan dalam laporan BPK
seberapa anjlok CAR Bank Century yang data terbarunya baru dikeluarkan BI
setelah keputusan bailout "berbiaya lebih murah" itu diambil. Yang
jelas, tiga hari kemudian: Senin, 24 November 2008, LPS mulai mengucurkan dana
dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara (PMS) kepada Bank Century yang
jumlahnya mencapai Rp 2,7 triliun hanya dalam tempo 6 hari (sampai 1 Desember
2008). Itulah pengucuran Tahap I. Meski begitu, dana yang mendadak bengkak
(dari semula Rp 632 miliar) itu ternyata belum juga mampu mendongkrak CAR Bank
Century ke level 8 persen. Sebab, pada tanggal 9 – 30 Desember 2008, Bank
Century kembali mendapat kucuran Rp 2,2 triliun! Sehingga hanya dalam tempo 39
hari (21 November saat diputuskan hingga 30 Desember 2008), bank ini sudah
menelan dana Rp 4,9 triliun!
Belakangan, Kepala Eksekutif LPS, Firdaus
Djaelani menyatakan bahwa saat diambil alih lembaganya, CAR Bank Century
negatif 153,66 persen! (Kompas, 28 Agustus 2009). Jadi, bila titik
pengambilalihan Bank Century itu tanggal 21 November dini hari —dan Bank
Indonesia menyodorkan angka CAR "basi" pada malam harinya— maka bisa
dikatakan, bahwa dari sisi informasi yang dijadikan rujukan dalam proses
pengambilan keputusan, hanya dalam beberapa jam saja, CAR Bank Century sudah
amblas dari negatif 3,53 persen menjadi 153,66 persen!
Tentang CAR Bank Century saat diambil alih
memang ada beberapa versi informasi. Menurut Bank Indonesia seperti dikutip
laporan BPK disebutkan, bahwa saat keputusan diambil, 20-21 November 2008, CAR
Bank Century masih menggunakan perhitungan CAR 31 Oktober, yakni negatif 3,53
persen. Angka CAR bulan November menurut BI baru keluar tanggal 23 November
2008 yang angkanya (tidak sefantastis klaim LPS), hanya negatif 35,9 persen
alias anjlok 30 basis poin lebih. Jadi patokan CAR yang paling anyar, baru
keluar perhitungannya tanggal 23 November 2008 atau dua hari setelah keputusan
dibuat.
Saya sekedar penasaran apakah perhitungan CAR
oleh Bank Sentral memang lazim dibuat di hari libur, mengingat tanggal 23
November 2008 adalah hari Minggu. Tapi jangan heran juga, sebab keesokan
harinya (24/11), perhitungan CAR inilah yang langsung dijadikan acuan untuk
pengucuran tahap pertama sebesar Rp 2,7 triliun hingga sepekan kemudian.
Memang membengkaknya kebutuhan suntikan dana
ini sudah diperingatkan oleh BI karena potensi perubahan CAR dinamis. Tetapi
justru di sinilah blundernya. Bercermin dari anjloknya CAR yang signifikan
sejak keputusan FPJP beberapa hari sebelumnya —yang terbukti tak mampu
menyehatkan bank tersebut meski diguyur uang Rp 689 miliar— bagaimana mungkin
opsi bailout diyakini masih lebih murah dari opsi menutup bank tersebut? Di
benak saya yang awam: bila disuntik Rp 689 miliar saja tidak manjur, mengapa
KSSK berpikir Bank Century akan sehat bila disuntik Rp 632 miliar? Apalagi
perhitungan CAR-nya tidak aktual dan jauh panggang dari api.
Bukankah keputusan ini terkesan didasarkan
pada asumsi dan kira-kira belaka? Seperti halnya asumsi dampak sistemik? Lantas
apa yang terjadi dengan uang triliunan yang bak menggarami air laut karena tak
berdampak apa-apa itu (terbukti uang terus dialirkan)? Adakah uang itu mengalir
ke sebuah tempat sehingga Rp 4,9 triliun hingga akhir Desember 2008 tak mampu
menyehatkan Century?
Sebab, hingga 4 Februari sampai dengan 24
Februari 2009, Bank Century masih mendapat kucuran dana lagi dari LPS sebesar
Rp 1,15 triliun. Kucuran baru berhenti pada 24 Juli 2009 dengan suntikan
terakhir Rp 630 miliar. Jadi total jenderal, Bank Century memang mendapat
kucuran dana Rp 6,7 triliun selama periode 8 bulan (November 2008 – Juli 2009).
Setelah kucuran terakhir itu, LPS barulah menyatakan bahwa CAR Bank Century
sudah positif 9,28 persen.
Atas fakta adanya angka yang bengkak mendadak
ini, dalam laporannya BPK menarik kesimpulan sementara:
"...BI tidak memberikan informasi
mengenai berapa risiko penurunan CAR. Informasi yang tidak diberikan tersebut
adalah informasi penurunan kualitas aset yang seharusnya diketahui oleh BI,
yaitu antara lain dugaan rekayasa akuntansi yang selama ini dilakukan Bank
Century dengan tidak menerapkan PPAP (Penyediaan Pencadangan Aktiva Produktif)
secara benar, dugaan Letter of Credit (LC) dan kredit fiktif, serta
penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh pemilik/pengurus BC sebelum diambil
alih oleh LPS".
Kita akan sama-sama lihat, bahwa Bank
Indonesia patut diduga dengan sengaja menerima jaminan aset yang berpotensi
merugikan negara saat memberi Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada
Bank Century. Jadi, gejala-gejala penyakit sudah terang benderang (dan
dibiarkan?), namun diagnosa dan obat yang diberikan, seolah-olah Bank Century
adalah pasien yang masih penuh harapan hidup. []
(Bambang Soesatyo, Anggota TImwas Century)
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar