Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
PEMBIARAN terhadap benih-benih
terorisme adalah sebuah perjudian konyol bagi masa depan negara. Demi
stabilitas kehidupan berbangsa, demi pembangunan nasional yang berkelanjutan
serta perbaikan citra Indonesia di panggung pergaulan antarbangsa, negara tidak
boleh memberi toleransi sekecil apa pun terhadap benih-benih terorisme.
International Crisis Group mengklaim bahwa
kekuatan kelompok-kelompok terorisme di Indonesia terus melemah setelah
terbongkarnya jaringan teroris pasca ledakan bom Bali. Sekalipun penilaian ini
benar, negara dan rakyat tidak boleh lengah. Sejumlah indikator tentang gerakan
teroris di negara ini tetap harus diwaspadai. Fakta serta catatan terbaru yang
sudah tersaji di ruang publik akhir-akhir ini mewajibkan negara dan rakyat
untuk tidak boleh menyepelekan bentuk ancaman yang satu ini.
Sebab, baik Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) maupun para pengamat sudah berulangkali mengingikasikan adanya
jaringan atau kelompok-kelompok baru yang bernafsu melancarkan aksi teror di
negara ini. Walaupun kelompok-kelompok tertentu sering menilai informasi ini
tidak akurat, masyarakat juga melihat pemerintah biasa-biasa saja dalam
menyikapi informasi yang sesungguhnya sangat penting ini. Maka, tidak
mengherankan jika muncul anggapan bahwa pemerintah tidak tegas terhadap ancaman
terorisme. Yang terlihat di permukaan hanya langkah atau aksi yang reaktif,
berupa serangan balik pasca serangan para terduga teroris.
Serangan balik oleh Detesemen Khusus (Densus)
88 Anti Teror pada pekan pertama September 2012 merupakan reaksi atas serangan
tiga terduga teroris di Solo. Ketiga terduga teroris sudah melancarkan teror
sejak paruh kedua Agustus 2012. Antara lain, penembakan Pos Pam Serengan (Jumat
17 Agustus) dengan akibat dua polisi terluka; melempar granat ke Pos Pam
di Gladak (Sabtu 18 Agustus), serta penembakan pos polisi Singosaren (Kamis 30
Agustus) dengan korban tewas Bripka Dwi Data Subekti.
Akankah terus seperti ini dalam merespons
eksistensi jaringan terorisme di Indonesia? Semestinya tidak dan tidak boleh!
Kalau selalu reaktif seperti ini, itu pertanda negara di posisi yang lemah, dan
warga tak berdosa setiap saat bisa menjadi korban. Apa jadinya jika bom rakitan
meledak di rumah Muhammad Toriq, terduga teroris yang tinggal di Jalan Teratai
VII, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat? Sangat banyak warga yang
terancam oleh kegiatan Toriq. Tentu saja ancaman itu harus direspons
dengan tegas-lugas demi keselamatan orang banyak.
Dilaporkan bahwa hingga saat ini ada sembilan
kelompok teroris yang berusaha menunjukkan eksistensi masing-masing.
Kelompok-kelompok itu membentuk jaringan, serta memiliki dana untuk membeli
senjata, bahan peledak dan membiayai kegiatan lainnya. Mereka telah menggelar
latihan di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi. Wilayah Poso di Sulawesi
Tengah diduga sebagai basis. Selain di Sulawesi Tengah, jaringan teroris
juga berlatih di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pesertanya berasal
dari sejumlah daerah. Peserta yang kembali ke daerah asal langsung membentuk
sel-sel baru.
Sebagai data atau informasi, gambaran tentang
kelompok dan jaringan teroris tadi idealnya diterjemahkan sebagai ancaman. Baik
ancaman terhadap keamanan masyarakat, ancaman terhadap stabilitas nasional,
ancaman yang setiap saat bisa merusak strategi pembangunan, serta ancaman yang
akan menghancurkan citra negara di panggung pergaulan antarbangsa.
Kalau seperti itu terjemahannya, bagaimana
seharusnya negara dan pemerintah menyikapi dan merespons informasi tentang
ancaman itu? Semestinya, pemerintah-lah yang paling tahu. Akan tetapi, menurut
pemahaman banyak orang, sebuah pemerintahan yang konsisten melindungi rakyat
dan menjaga stabilitas nasional pasti akan langsung mengeliminir ancaman itu,
at all cost.
Menyikapi Ancaman
Banyak orang masih ingat tentang kisah
operasi pemberantasan kejahatan yang dilancarkan pemerintah Orde Baru pada awal
dasawarsa 80-an. Operasi yang dikenal dengan sebutan Penembakan Misterius
(Petrus) ini dilancarkan di hampir seluruh pelosok negeri. Selain karena
eskalasi kejahatan dengan berbagai modus, gagasan melancarkan Petrus
berlatarbelakang pada fakta bahwa para penjahat saat itu mulai berani menyerang
dan membunuh baik anggota Polri maupun anggota TNI (dulu, ABRI).
Tentu saja, tidak ada maksud sedikit pun
untuk menyarankan atau memberi rekomendasi kepada pemerintahan sekarang
melancarkan juga Petrus dalam memerangi jaringan terorisme di negara ini.
Namun, dengan mengungkap sekilas cerita tentang Petrus tadi, ingin ditunjukan
mengenai perlunya ketegasan dan kelugasan sikap saat menghadapi ancaman yang
nyata-nyata terlihat di depan mata. Ancaman bagi masa depan negara, dan juga
ancaman bagi masyarakat kebanyakan.
Kalau komunitas internasional melihat dan
menilai bahwa Indonesia tidak pernah bersih dari jaringan dan kelompok-kelompok
teroris, pembangunan ekonomi Indonesia akan sulit mencatat progres yang
signifikan. Apalagi jika mengandalkan kualitas pertumbuhan ekonomi dari
investasi asing. Bukankah investasi butuh iklim dan suasana yang kondusif?
Walaupun obyek wisata Indonesia sangat beragam, jangan lagi mengharapkan
kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman) dalam jumlah yang banyak. Sebab,
komunitas Wisman tentu saja tidak mau menjadi sasaran serangan teroris lokal.
Karena itu, kalau benar-benar ingin
mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik, jangan melakukan perjudian
terhadap setiap ancaman, termasuk ancaman terorisme lokal. Bagaimana pun,
keberadaan dan ambisi terorisme lokal harus dipahami sebagai rencana kejahatan
terhadap negara dan rakyat, sebab pelaku teror tidak pernah memilah-milah
sasaran korbannya. Tentu saja masyarakat berharap pemerintah, dan juga
DPR, mau memaknai terorisme lokal sebagai ancaman yang serius terhadap negara
dan rakyat.
Sudah cukup lama dan hingga kini, data dan
informasi tentang jaringan serta aktivitas terduga teroris dikumpulkan oleh
intelijen negara. Bahkan, boleh jadi, untuk mengeliminasi eksistensi kelompok
terorisme lokal, banyak rekomendasi telah dibuat dan disodorkan kepada
pemerintah. Karena semua kewenangan dan kekuatan berada dalam kendali
pemerintah, persoalannya terpulang kepada pemerintah sendiri. Ingin terus
membiarkan eksistensi kelompok-kelompok teroris atau mengeliminasi ancaman?
Harus diingatkan bahwa pembiaran terhadap
benih-benih terorisme di negara ini bisa menjerumuskan masa depan Indonesia ke
dalam perangkap negara gagal. Risiko seperti inilah yang harus diperhitungkan
semua pihak. Karenanya, benih-benih terorisme seharusnya tidak mendapat
tempat di negara ini.
Akhirnya, sambil menunggu ketegasan sikap
pemerintah, perlu diingatkan bahwa rangkaian penangkapan terhadap sejumlah
terduga teroris akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor penyebab
terjadinya instabilitas nasional terus tereskalasi. Maka, kewaspadaan seluruh
elemen masyarakat harus ditingkatkan, karena terbukti bahwa sel-sel terorisme
terus berkembang dan meluas.
Fakta-fakta terbaru mengenai identitas
terduga teroris menunjukan bahwa mereka bukanlah orang lama, melainkan anggota
baru berusia belia. Dari fakta itu bisa dibuat kesimpulan bahwa proses
perekrutan dan pelatihan calon-calon pelaku teror terus berlangsung. Kalau
fakta ini tidak direspon sebagaimana mestinya, berarti ada yang salah pada
sistem hukum dan sistem pengendalian keamanan negara.
Fakta lain yang juga harus digarisbawahi
semua pihak adalah jaringan kelompok-kelompok terduga teroris yang diyakini
terus meluas. Negara dan semua elemen masyarakat harus memberi respons yang
tegas-lugas terhadap kecenderungan ini. Kalau responsnya minimalis seperti sekarang
ini, sama artinya negara dan rakyat membiarkan terjadinya eskalasi atas
potensi-potensi yang bisa menjadi penyebab instabilitas nasional.
Fakta tentang terduga teroris jangan
direduksi dengan faktor lain, seperti keyakinan atau kepentingan sempit lainnya.
Kalau bukti hukumnya menunjukan yang bersangkutan terduga teroris, dia harus
diperlakukan sebagai terduga teroris, tanpa harus dikaitkan dengan keyakinan
yang bersangkutan.
Munculnya tindak kekerasan dan teror
diberbagai daerah akhir2 ini setidaknya menimbulkan berbagai dugaan. Paling
tidak, ada 3 (tiga) kemungkinan terkait kinerja intelejen kita.
Pertama, kinerja aparat intelejen kita memang
telah merosot tajam dan tdk lagi bekerja profesional seperti masa orde baru
dulu yg mampu mendektesi secara dini setiap gerakan yg dinilai berpotensi
mengganggu stabilitas nasional.
Kedua, aparat intelejen kita telah bekerja dg
benar dan profesional, namun setiap laporan analisa dan perkiraan keadaan
(kirka) mereka tdk ditindak lanjuti dan masuk keranjang sampah.
Ketiga, operasi intelijen kita masih
dipengaruhi oleh kepentingan politik 'kekuasaan' yg tidak menjamin obyektifitas
analisis dan profesionalisme. Sehingga tdk tertutup kemungkinan, justru
diciptakan utk melakukan tugas2 kotor kekuasaan. Dalam dunia intelejen biasa
disebut dg istilah Black Cell Task Force. Tugas mereka antara lain melakukan
kontra intelejen terhadap lawan politik pemerintah atau pihak oposisi,
pembusukan dan pengalihan isu manakala ada opini negatif yg mengancam
kekuasaan. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar