Jumat, 14 September 2012

BamSoet: Unsur Asing Dalam Konspirasi Century

Unsur asing dalam Konspirasi Century

 

Bambang Soesatyo

Anggota Timwas Penyelesaian

Kasus Bank Century DPR

 

Ada angin segar berhembus dari KPK. Kabarnya, para pimpinan komisioner hampir semuanya sepakat untuk menaikan status kasus Bank Century ke penyidikan. Jika informasi itu benar, berarti KPK jilid III sudah bergerak maju dan telah kembali ke jalan yang benar.

 

Sebab, selama ini Kita menduga KPK menggunakan paradigma yang keliru dalam menentukan delik pidana saat menafsirkan kesalahan (schuld) serta niat jahat (mens rea) untuk terpenuhinya unsur delik korupsi. Padahal seharusnya pembuktian 'mens rea' adalah adanya 'actus reus' (tindakan salah).

 

Untuk membuktikan apakah actus reus mengandung unsur mens rea kita liat dari unsur 'kesengajaannya' (opzettelijk). Yakni, Willen (perbuatan itu dikehendaki dan diketahui) dan Wetten (perbuatan itu diketahui akibatnya).

 

Nah, perbuatan2 yang melanggar ketentuan dalam pemberian FPJP dengan merubah CAR dan peryaratan lain dengan mengabaikan pandangan Direktur Pengawasan BI dalam rapat Dewan Gubernur BI serta bentuk intervensi Gubernur BI agar Bank Century dibantu dangan alasan tidak ingin ada Bank yang tutup karena akan berakibat buruk bagi perekonomian meskipun melanggar ketentuan adalah dikehendaki dan diketahui akibat dari perbuatan tersebut yang berdampak pada kerugian negara.

 

Unsur-unsur itu sesungguhnya telah memenuhi unsur suatu 'niat jahat' dg cara melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Apalagi BPK telah menyimpulkan adanya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang dan indikasi kerugian negara.

 

Terlepas dari kemajuan dalam proses hukum yang sedang berlangsung di KPK, LATARBELAKANG dan rekam jejak eks Bank Century patut didalami mengingat skandal bank tersebut tidak bisa dipisahkan dari unsur kekuatan dan dana asing. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tidak langsung ditantang untuk melakukan penyelidikan lebih komprehensif, dengan meminta penjelasan dari Departemen Pertanian Amerika Serikat  (USDA) dan Commodity Credit Corporation (CCC).

Seperti diketahui, Banck Century terbentuk dari proses merger Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac. Periode tahun 2000-2001, Bank Indonesia menunjuk Bank CIC menjadi peserta Program GSM-102 dari Departemen Pertanian AS yang dilaksanakan oleh Commodity Credit Corp. Melalui program GSM-102, USDA menyediakan dana murah sebagai dukungan pembiayaan ekspor produk-produk pertanian AS. Untuk Indonesia waktu itu, USDA mengalokasikan kredit murah sebesar 1,2 miliar dolar AS.

 

Tidak kurang dari 14 bank lokal yang ditunjuk BI, termasuk bank milik pemerintah. Dari total dana alokasi GSM-102 itu, Bank CIC dipercaya mengelola 953,9 juta dolar AS atau mencapai 85 persen, dengan jangka waktu tiga tahun. Jumlah ini mencerminkan begitu tingginya kepercayaan BI kepada bank kecil bernama CIC. Anehnya,  USDA, CCC maupun Kedutaan AS di Jakarta menerima begitu saja penunjukan Bank CIC oleh BI. Padahal, Bank CIC  saat tercatat baru mendapat izin sebagai bank devisa. Sudah barang tentu belum kredibel sebagai international banking.  Pengalaman Bank CIC dalam trade financing bisa dikatakan nol.

 

Fasilitas GSM 102  yang dikelola Bank CIC jatuh tempo tahun 2002 dαn 2003,  tetapi belum bisa dikembalikan oleh Bank CIC, karena sebagian besar dana tertahan di Surat Berharga. Maka,  USDA dαn CCC sebagai penjamin fasilitas GSM  memasukan Indonesia dalam daftar hitam. Semua fasilitas penjaminan kredit yang berkait dengan impor komoditi pertanian dari AS dibekukan (waktu itu).

 

Kegagalan Bank CIC mengembalikan dana dari Program GSM-102 itu  sempat menjadi masalah hukum. Sejumlah orang dari manajemen CIC, BI serta pejabat pada Departmen Keuangan RI diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta. Entah apa alasannya, akhir penanganan kasus ini tak pernah jelas hingga kini.

 

Setelah itu, identitas Bank CIC sengaja dihilangkan melalui merger dengan dua bank lain. Lahirlah Bank Century. Logikanya, beban Bank CIC berupa kewajiban mengembalikan dana Program GSM-102 dibukukan menjadi beban Bank Century. Berarti, USDA-CCC punya tagihan di Bank Century. Namun, ketika begitu banyak nasabah Bank Century menggugat dan mengajukan tagihan instrumen pemerintah yang menangani bailout bank bermasalah ini, entah kenapa USDA-CCC tidak ikut mengajukan  tagihan.

 

Penunjukan Bank CIC, penyimpangan pengelolaan dan kegagalan Bank CIC mengembalikan dana program GSM-102 mencerminkan penyalahgunaan wewenang sejumlah oknum pejabat BI waktu itu. Penunjukan Bank CIC tentu saja tak lepas dari rekomendasi dari divisi pengawasan di BI. Sebab, baik-buruknya manajemen dan kinerja bank dimonitor dan dinilai oleh Divisi pengawasan.

 

Dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga 2004, sosok pejabat BI yang sangat berpengaruh dalam hal pengawasan bank adalah Aulia Pohan. Sebelum pensiun pada 2005, Dia terakhir menjabat sebagai Deputi Gubernur BI. Pengaruhnya di BI sangat dominan. Dalam banyak hal, orang dalam BI lebih mendengar Aulia dibanding pejabat BI lainnya. Pengetahuannya tentang bank yang sehat  dan tidak sehat sangat lengkap.

 

Karena itu, tidak salah jika penunjukan Bank CIC sebagai pengelola dana GSM-102 pada periode tahun 2000-2001 dikaitkan dengan wewenang pengawasan bank yang melekat pada Aulia Pohan.  Apalagi jumlah dana yang dipercayakan kepada Bank CIC terbilang sangat besar pada saat semua bank di Indonesia sedang diselimuti krisis likuiditas. Karenanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang memang layak untuk diselidiki lagi.

 

Status Dana

 

Kepada USDA dan CCC, KPK mestinya bisa berkomunikasi, mempertanyakan dana GSM-102 sebesar 953,9 juta dolar AS yang seharusnya tercatat sebagai kewajiban eks Bank Century yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara itu. Apakah dana itu akan dianggap hangus atau akan terus ditagih. Untuk sementara ini, layak diasumsikan bahwa Bank Mutiara terpaksa menanggung beban pengembalian Dana GSM-102 itu.

 

KPK juga bisa mempertanyakan sikap USDA-CCC yang tidak mempersoalkan penunjukakan Bank CIC oleh BI. Bukan rahasia lagi bahwa kedutaan negara-negara sahabat selalu memberi rekomendasi kepada pemerintah atau institusi pemerintah di negara asalnya sebelum menggelar atau mengaktualisasikan program. Dalam konteks ini, menjadi aneh jika Kedutaan AS di Jakarta tidak bersikap atas keputusan BI menunjuk Bank CIC sebagai peserta program GSM-102 dengan jumlah sangat besar.

 

Kalau dana itu dianggap hangus, tentunya akan dilihat sebaga masalah oleh pihak berwajib (penegak hukum) di AS, mengingat dana GSM-102 adalah dana milik pemerintah AS (USDA), walaupun dicairkan melalui  mekanisme kredit bank. Dana GSM-102 untuk Indonesia  diterima dari SCB sebesar 191.4 juta dolar AS, Bank Denver 616 juta dolar AS, dan Deutsche Bank 146.5 juta dolar AS.

 

Kalau status dana GSM-102 ini tidak diperjelas, akan muncul beragam spekulasi. Bisa saja muncul anggapan bahwa sebagian dana dari program GSM-102 untuk Indonesia itu sekadar sebagai penyamaran. Artinya, bukan digunakan untuk memperlancar impor produk pertanian dari AS, melainkan untuk membiayai kepentingan AS lainnya di Indonesia, termasuk kepentingan politik. Apalagi, beberapa tahun lalu, sempat dimunculkan dugaan bahwa ada aliran dana dari AS yang digunakan untuk membiayai kegiatan politik pihak-pihak tertentu di Indonesia.

 

Pada akhirnya, persoalan dana GSM-102 untuk Indonesia patut dikaitkan dengan kegelisahan Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi yang terpaksa mendaftarkan juga gugatan mereka di OKI (Organisasi Konferensi Islam). Hingga bulan ini, gugatan Hesham-Rafat di International Centre for Settlement of  Invesment Disputes (ICSID) di Washington nyaris tanpa progres.

 

Di ICSID, gugatan Hesham-Rafat tercatat sebagai perkara No.ARB/11/13), yang didaftarkan 19 Mei 2011. Namun, berdasarkan ketetapan ICSID pada 22 Juni 2012, kasus ini ditunda (suspended). Pada daftar penanganan kasus yang dibuat ICSID, kasus gugatan Rafat-Hesham berstatus pending. 

 

Mungkin karena progresnya yang begitu lamban, Hesham-Rafat bermanuver dengan mencatatkan gugatan mereka di OKI. ICSID sendiri dipahami sebagai pengadilan Arbitrase Bank Dunia. Boleh jadi, ICSID tidak ingin mengganggu salah satu bos dari lembaga keuangan multilateral, yakni Sri Mulyani yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.

 

Namun, langkah Hesham dan Rafat menggugat pemerintah RI di ICSID dan OKI tetap saja harus dilihat sebagai pesan buruk tentang Indonesia. Sebab, manuver kedua orang ini berpotensi merusak citra atau kredibilitas Indonesia.

 

Jadi sekali lagi, sudah menjadi tugas kita semua untuk mendorong para penegak hukum khususnya KPK bertindak cepat. Sebelum alat bukti dan saksi-saksi hilang. Seperti diketahui, kasus Bank Century ini sudah kehilangan beberapa saksi kunci karena meninggal dunia. Seperti Boedi Sampoerna yang memiliki dana lebih Rp.2 triliun yang dipecah-pecah pencairannya. Lalu, Budi Rohadi, Deputy Gubernur BI yang meninggal mendadak di kamar mandi rumah dinas perwakilan BI di Amerika Serikat. Budi adalah orang yang banyak mengetahui tentang kasus Bank Century. Sebelum kematiannya dia sempat mengeluh merasa sendirian dan mengatakan bahwa BI adalah Bank Central paling liberal di dunia.

 

Terakhir, ada Siti Fadjriah yang sedang terbaring tidak berdaya karena sakit parah. Siti Fadjriah adalah saksi penting atas peran Boediono selaku Gubernur BI ketika itu, dalam memuluskan bantuan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) Rp.683 miliar dan Bailout Rp.6,7 triliun terhadap Bank Century. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar