Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Penyelesaian
Kasus Bank Century DPR
Ada angin segar berhembus dari KPK. Kabarnya,
para pimpinan komisioner hampir semuanya sepakat untuk menaikan status kasus
Bank Century ke penyidikan. Jika informasi itu benar, berarti KPK jilid III
sudah bergerak maju dan telah kembali ke jalan yang benar.
Sebab, selama ini Kita menduga KPK
menggunakan paradigma yang keliru dalam menentukan delik pidana saat
menafsirkan kesalahan (schuld) serta niat jahat (mens rea) untuk terpenuhinya
unsur delik korupsi. Padahal seharusnya pembuktian 'mens rea' adalah adanya
'actus reus' (tindakan salah).
Untuk membuktikan apakah actus reus
mengandung unsur mens rea kita liat dari unsur 'kesengajaannya' (opzettelijk).
Yakni, Willen (perbuatan itu dikehendaki dan diketahui) dan Wetten (perbuatan
itu diketahui akibatnya).
Nah, perbuatan2 yang melanggar ketentuan
dalam pemberian FPJP dengan merubah CAR dan peryaratan lain dengan mengabaikan
pandangan Direktur Pengawasan BI dalam rapat Dewan Gubernur BI serta bentuk
intervensi Gubernur BI agar Bank Century dibantu dangan alasan tidak ingin ada
Bank yang tutup karena akan berakibat buruk bagi perekonomian meskipun
melanggar ketentuan adalah dikehendaki dan diketahui akibat dari perbuatan
tersebut yang berdampak pada kerugian negara.
Unsur-unsur itu sesungguhnya telah memenuhi
unsur suatu 'niat jahat' dg cara melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Apalagi BPK telah menyimpulkan adanya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
wewenang dan indikasi kerugian negara.
Terlepas dari kemajuan dalam proses hukum
yang sedang berlangsung di KPK, LATARBELAKANG dan rekam jejak eks Bank Century
patut didalami mengingat skandal bank tersebut tidak bisa dipisahkan dari unsur
kekuatan dan dana asing. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara
tidak langsung ditantang untuk melakukan penyelidikan lebih komprehensif,
dengan meminta penjelasan dari Departemen Pertanian Amerika Serikat
(USDA) dan Commodity Credit Corporation (CCC).
Seperti diketahui, Banck Century terbentuk
dari proses merger Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac. Periode tahun
2000-2001, Bank Indonesia menunjuk Bank CIC menjadi peserta Program GSM-102
dari Departemen Pertanian AS yang dilaksanakan oleh Commodity Credit
Corp. Melalui program GSM-102, USDA menyediakan dana murah sebagai
dukungan pembiayaan ekspor produk-produk pertanian AS. Untuk Indonesia waktu
itu, USDA mengalokasikan kredit murah sebesar 1,2 miliar dolar AS.
Tidak kurang dari 14 bank lokal yang ditunjuk
BI, termasuk bank milik pemerintah. Dari total dana alokasi GSM-102 itu, Bank
CIC dipercaya mengelola 953,9 juta dolar AS atau mencapai 85 persen, dengan
jangka waktu tiga tahun. Jumlah ini mencerminkan begitu tingginya kepercayaan
BI kepada bank kecil bernama CIC. Anehnya, USDA, CCC maupun Kedutaan AS
di Jakarta menerima begitu saja penunjukan Bank CIC oleh BI. Padahal, Bank
CIC saat tercatat baru mendapat izin sebagai bank devisa. Sudah barang
tentu belum kredibel sebagai international banking. Pengalaman Bank CIC
dalam trade financing bisa dikatakan nol.
Fasilitas GSM 102 yang dikelola Bank
CIC jatuh tempo tahun 2002 dαn 2003, tetapi belum bisa dikembalikan oleh
Bank CIC, karena sebagian besar dana tertahan di Surat Berharga. Maka,
USDA dαn CCC sebagai penjamin fasilitas GSM memasukan Indonesia dalam daftar
hitam. Semua fasilitas penjaminan kredit yang berkait dengan impor komoditi
pertanian dari AS dibekukan (waktu itu).
Kegagalan Bank CIC mengembalikan dana dari
Program GSM-102 itu sempat menjadi masalah hukum. Sejumlah orang dari
manajemen CIC, BI serta pejabat pada Departmen Keuangan RI diperiksa Kejaksaan
Tinggi Jakarta. Entah apa alasannya, akhir penanganan kasus ini tak pernah
jelas hingga kini.
Setelah itu, identitas Bank CIC sengaja
dihilangkan melalui merger dengan dua bank lain. Lahirlah Bank Century. Logikanya,
beban Bank CIC berupa kewajiban mengembalikan dana Program GSM-102 dibukukan
menjadi beban Bank Century. Berarti, USDA-CCC punya tagihan di Bank Century.
Namun, ketika begitu banyak nasabah Bank Century menggugat dan mengajukan
tagihan instrumen pemerintah yang menangani bailout bank bermasalah ini, entah
kenapa USDA-CCC tidak ikut mengajukan tagihan.
Penunjukan Bank CIC, penyimpangan pengelolaan
dan kegagalan Bank CIC mengembalikan dana program GSM-102 mencerminkan
penyalahgunaan wewenang sejumlah oknum pejabat BI waktu itu. Penunjukan Bank
CIC tentu saja tak lepas dari rekomendasi dari divisi pengawasan di BI. Sebab,
baik-buruknya manajemen dan kinerja bank dimonitor dan dinilai oleh Divisi
pengawasan.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga
2004, sosok pejabat BI yang sangat berpengaruh dalam hal pengawasan bank adalah
Aulia Pohan. Sebelum pensiun pada 2005, Dia terakhir menjabat sebagai Deputi
Gubernur BI. Pengaruhnya di BI sangat dominan. Dalam banyak hal, orang dalam BI
lebih mendengar Aulia dibanding pejabat BI lainnya. Pengetahuannya tentang bank
yang sehat dan tidak sehat sangat lengkap.
Karena itu, tidak salah jika penunjukan Bank
CIC sebagai pengelola dana GSM-102 pada periode tahun 2000-2001 dikaitkan
dengan wewenang pengawasan bank yang melekat pada Aulia Pohan. Apalagi
jumlah dana yang dipercayakan kepada Bank CIC terbilang sangat besar pada saat
semua bank di Indonesia sedang diselimuti krisis likuiditas. Karenanya,
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang memang layak untuk diselidiki
lagi.
Status Dana
Kepada USDA dan CCC, KPK mestinya bisa
berkomunikasi, mempertanyakan dana GSM-102 sebesar 953,9 juta dolar AS yang
seharusnya tercatat sebagai kewajiban eks Bank Century yang kini berganti nama
menjadi Bank Mutiara itu. Apakah dana itu akan dianggap hangus atau akan terus
ditagih. Untuk sementara ini, layak diasumsikan bahwa Bank Mutiara terpaksa
menanggung beban pengembalian Dana GSM-102 itu.
KPK juga bisa mempertanyakan sikap USDA-CCC
yang tidak mempersoalkan penunjukakan Bank CIC oleh BI. Bukan rahasia lagi
bahwa kedutaan negara-negara sahabat selalu memberi rekomendasi kepada
pemerintah atau institusi pemerintah di negara asalnya sebelum menggelar atau
mengaktualisasikan program. Dalam konteks ini, menjadi aneh jika Kedutaan AS di
Jakarta tidak bersikap atas keputusan BI menunjuk Bank CIC sebagai peserta
program GSM-102 dengan jumlah sangat besar.
Kalau dana itu dianggap hangus, tentunya akan
dilihat sebaga masalah oleh pihak berwajib (penegak hukum) di AS, mengingat
dana GSM-102 adalah dana milik pemerintah AS (USDA), walaupun dicairkan
melalui mekanisme kredit bank. Dana GSM-102 untuk Indonesia
diterima dari SCB sebesar 191.4 juta dolar AS, Bank Denver 616 juta dolar AS,
dan Deutsche Bank 146.5 juta dolar AS.
Kalau status dana GSM-102 ini tidak
diperjelas, akan muncul beragam spekulasi. Bisa saja muncul anggapan bahwa
sebagian dana dari program GSM-102 untuk Indonesia itu sekadar sebagai
penyamaran. Artinya, bukan digunakan untuk memperlancar impor produk pertanian dari
AS, melainkan untuk membiayai kepentingan AS lainnya di Indonesia, termasuk
kepentingan politik. Apalagi, beberapa tahun lalu, sempat dimunculkan dugaan
bahwa ada aliran dana dari AS yang digunakan untuk membiayai kegiatan politik
pihak-pihak tertentu di Indonesia.
Pada akhirnya, persoalan dana GSM-102 untuk
Indonesia patut dikaitkan dengan kegelisahan Hesham Al Waraq dan Rafat Ali
Rizvi yang terpaksa mendaftarkan juga gugatan mereka di OKI (Organisasi
Konferensi Islam). Hingga bulan ini, gugatan Hesham-Rafat di International
Centre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID) di Washington nyaris
tanpa progres.
Di ICSID, gugatan Hesham-Rafat tercatat
sebagai perkara No.ARB/11/13), yang didaftarkan 19 Mei 2011. Namun, berdasarkan
ketetapan ICSID pada 22 Juni 2012, kasus ini ditunda (suspended). Pada daftar
penanganan kasus yang dibuat ICSID, kasus gugatan Rafat-Hesham berstatus
pending.
Mungkin karena progresnya yang begitu lamban,
Hesham-Rafat bermanuver dengan mencatatkan gugatan mereka di OKI. ICSID sendiri
dipahami sebagai pengadilan Arbitrase Bank Dunia. Boleh jadi, ICSID tidak ingin
mengganggu salah satu bos dari lembaga keuangan multilateral, yakni Sri Mulyani
yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Namun, langkah Hesham dan Rafat menggugat
pemerintah RI di ICSID dan OKI tetap saja harus dilihat sebagai pesan buruk
tentang Indonesia. Sebab, manuver kedua orang ini berpotensi merusak citra atau
kredibilitas Indonesia.
Jadi sekali lagi, sudah menjadi tugas kita
semua untuk mendorong para penegak hukum khususnya KPK bertindak cepat. Sebelum
alat bukti dan saksi-saksi hilang. Seperti diketahui, kasus Bank Century ini
sudah kehilangan beberapa saksi kunci karena meninggal dunia. Seperti Boedi
Sampoerna yang memiliki dana lebih Rp.2 triliun yang dipecah-pecah
pencairannya. Lalu, Budi Rohadi, Deputy Gubernur BI yang meninggal mendadak di
kamar mandi rumah dinas perwakilan BI di Amerika Serikat. Budi adalah orang
yang banyak mengetahui tentang kasus Bank Century. Sebelum kematiannya dia
sempat mengeluh merasa sendirian dan mengatakan bahwa BI adalah Bank Central
paling liberal di dunia.
Terakhir, ada Siti Fadjriah yang sedang
terbaring tidak berdaya karena sakit parah. Siti Fadjriah adalah saksi penting
atas peran Boediono selaku Gubernur BI ketika itu, dalam memuluskan bantuan
Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) Rp.683 miliar dan Bailout Rp.6,7
triliun terhadap Bank Century. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal
Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar