Islam KTP Alias Islam Identitas
Oleh : Suryo Pranoto
Istilah di atas, yang sejak lama kita kenal, kini tidak banyak lagi digunakan. Yang disebut Islam KTP alias Islam Identitas adalah orang yang di dalam KTP disebut beragama Islam, tetapi dianggap bukan pemeluk Islam yang taat karena tidak menjalankan ibadah ritual seperti salat, zakat, atau haji. Kalau mereka berpuasa dan berderma, mungkin tidak seluruh puasa dan derma itu sama dengan puasa dan zakat yang sesuai dengan syariat Islam. Terkesan istilah Islam KTP bermaksud menunjukkan bahwa mereka tampaknya Islam, tetapi bukan Islam yang sesungguhnya.
Secara bertahap, sesuai dengan pertambahan
usia dan perkembangan masyarakat, mereka yang dulu disebut Islam KTP itu mulai
belajar tentang Islam. Banyak di antara mereka yang beribadah salat dengan
baik.
Setelah banyak sekali mereka yang kita sebut
Islam KTP menjalankan ibadah mahdhoh (ritual) dengan tekun, apakah hampir semua
muslim di Indonesia bisa kita sebut sebagai pemeluk Islam yang taat? Kalau
kriteria Islam taat itu adalah bersalat, berhaji, dan berderma, jawabannya
pasti positif. Tetapi, kita perlu meninjaunya dari sudut pandang yang lebih
luas. Kita saksikan di dalam kehidupan sehari-hari terdapat realitas yang amat
bertentangan dengan fakta itu. Praktik korupsi makin marak di pusat maupun
daerah. Kejujuran atau sikap amanah masyarakat tidak menggembirakan. Rasa
saling percaya dalam masyarakat menipis. Sudah banyak anak Islam seusia pelajar
SMP yang berhubungan seks. Amat sulit bagi kita menjelaskan kontradiksi seperti
itu.
Salat, puasa, dan haji adalah simbolisasi ibadah mahdhoh, yang bersifat ragawi. Substansi atau tujuan tiga ibadah itu, yang bersifat batiniah, tidak berbeda. Dengan salat, kita diharapkan tercegah dari perilaku keji dan mungkar. Seberapa banyak umat Islam Indonesia yang bisa mencapai tingkat seperti itu? Bukan hanya orang awam, tetapi juga banyak tokoh.
Menurut surat Al Baqarah ayat 183, ibadah puasa diharapkan membuat kita menjadi orang yang bertakwa. Ayat 188 surat tersebut berbunyi, “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa padahal kamu mengetahui.”
Kini kita menyaksikan banyak sekali Muslimin di Indonesia, termasuk kaum terpelajar, pejabat, kelompok profesional, bahkan mungkin sedikit tamatan pesantren, yang berpuasa Ramadhan, tetapi ternyata tidak mencapai dampak positif dari ibadah mahdhoh itu seperti yang dipesankan Al Baqarah ayat 183-188. Banyak di antara kita yang masih memperjualbelikan keadilan. Apa sebutan yang tepat bagi mereka yang berpuasa tetapi dengan sadar terus-menerus melanggar larangan Allah? Apakah mereka itu kita sebut Islam KTP atau Islam yang taat?
Kita juga menyaksikan banyak muslimin yang sudah berhaji (dan mungkin berumrah berkali-kali), tetapi dampak ibadah haji dan umrah itu belum sesuai dengan harapan. Seakan ibadah vertikal (kepada Tuhan) dan perilaku sosial (yang berpotensi ibadah) tidak menyambung dan terputus, bahkan bertolak belakang. Padahal, seharusnya ada kaitan yang kuat antara ibadah ritual (vertikal) dan sosial itu.
Apakah sebutan yang tepat bagi Muslimin/Muslimat yang beribadah mahdhoh, tetapi perilakunya buruk? Islam KTP atau Islam taat? Kalau taat secara ragawi, tetapi tidak taat secara batiniah, apakah masih layak disebut Islam yang taat? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Atau lebih baik dihilangkan saja istilah Islam KTP dan Islam taat? Yang penting, umat Islam harus taat menjalankan ibadah ritual dengan baik sehingga berdampak positif terhadap perilaku kita. Kita berjuang menjadi orang baik, yang berlaku baik terhadap orang lain, apa pun agamanya, apa pun pangkatnya, tidak peduli kaya atau miskin.
* Pengurus Nahdlatul Ulama Tambakreja - Cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar