Selasa, 22 Mei 2012

(Taushiyah of the Day) Tugas Akademis dan Tanggung Jawab Sosial Perguruan Tinggi


Ceramah KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua MWA UI

Ahad, 20/05/2012 05:05



Tugas Akademis dan Tanggung Jawab Sosial Perguruan Tinggi


Perguruan tinggi dewasa ini dihadapkan pada situasi yang besar dan pelik. Untuk mengelola sebuah perguruan tinggi saat ini dibutuhkan pengetahuan dan tenaga ekstra, karena selain banyak menghadapi perkembangan baru di bidang ilmu pengetahuan yang begitu cepat dalam melakukan berbagai inovasi, juga dihadapkan pada berbagai persoalan sosial politik yang semakin rumit.


Sementara tugas tradisional untuk memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan mendorong perubahan sosial belum juga bisa dituntaskan oleh perguruan tinggi yang ada. Kesediaan saya menjadi anggota Majelis Wali Amanah bahkan sebagai ketuanya ini tidak lain merupakan bagian dari upaya untuk ikut membangun negara ini. Bagaimanapun universitas, apalagi Universitas Indonesia merupakan aset terpenting bangsa dan kebanggaan dari Republik ini.


Sebagai universitas terkemuka di Indonesia bahkan ternama di Asia Tenggara, UI ditantang untuk melakukan penggalian epistemologi, melakukan berbagai inovasi (pembaruan) bahkan perlu melakukan invensi (penemuan) di berbagai bidang pengetahuan. Bagaimanapun UI menjadi barometer bagi perguruan tinggi lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kehadiran UI memberikan kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan di negeri ini.


Dengan penggalian epistemologi ini kita tidak hanya bersikap konsumtif dalam bidang teori dan pemikiran seperti sekarang ini, minimal dalam hal ini para ilmuwan Indonesia bisa melakukan indegenisasi (pribumisasi) ilmu pengetahuan yang diperoleh dari luar, sehingga ilmu yang dikembangkan benar-benar relevan ketika diterapkan di Indonesia. Dengan tidak adanya upaya pribumisasi ini, semua kosakata ilmiah diambil dari bahasa asing sehingga bahasa Indonesia menjadi kacau karena kebanjiran bahasa asing.


Langkah pribumisasi itu semestinya dilanjutkan untuk menemukan teori-teori baru baik di bidang sosial, humaniora dan juga eksakta, sehingga ilmu pengetahuan yang kita kembangkan bisa melahirkan teknologi yang maju setara dengan penemuan dari bangsa-bangsa yang lain, dengan demikian akan mampu mendorong terjadinya industrialisasi. Perlu diingat bahwa teknologi hampir tidak pernah bisa dialihkan, tetapi perlu digali dan dikembangkan sendiri secara sungguh-sungguh. Contohnya Indonesia hingga saat ini tidak bisa mengembangkan industri otomotif.


Di sisi lain dalam situasi transisional seperti sekarang ini, tanggung jawab sosial perguruan tinggi juga tidak kalah besarnya. Dalam situasi pancaroba ini semuanya berubah, sementara masyarakat belum semuanya siap menghadapi perubahan, karena itu berbagai ketegangan sosial dan konflik politik terjadi. Juga terjadi kesenjangan kaya miskin. Situasi seperti ini mengharuskan perguruan tinggi melakukan langkah axiologis, melangkah keluar dari menara gading (kampus) untuk mengkaji dan menyediakan solusi berbagai persoalan sosial politik yang terjadi.


Perguruan tinggi tidak hanya menyiapkan lahirnya kaum profesional tetapi juga diharapkan mampu melahirkan leader, pemimpin. Mengingat tuntutan ini maka pendidikan tinggi perlu melakukan pendidikan dan pembentukan karakter. Dalam upaya pembentukan karakter, moral dan akhlak ini bisa mengambil pengalaman di dunia pesantren.


Perguruan tinggi modern tidak perlu malu belajar dari pesantren. Sebab jauh sebelum adanya pendidikan modern seluruh sumberdaya manusia, baik kalangan militer, kalangan bangsawan kerajaan dan priyayi, semuanya belajar di pesantren. Mereka tidak hanya belajar teknik kemiliteran atau manajemen pemerintahan tapi juga belajar agama dan dibentuk karakter mereka oleh para ulama atau kiai.


Dalam epistemologi pesantren tidak hanya mengenal ta’lim (pengajaran, kecerdasan), tetapi dilanjutkan dengan proses tadris (diamalkan) dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu dilengkapi dengan tahap ta'dib (melatih kedisiplinan) selanjutnya disempurnakan dengan proses tarbiyah (mendidik, mengayomi). Dengan demikian ilmu tidak hanya dipahami secara kognitif, tetapi diterjemahkan menjadi sikap dan perilaku. Maka di situ terbentuklah karakter seorang santri atau mahasiswa. Dengan demikian mereka bisa menjadi pemimpin yang mumpuni dan berwibawa.


Pendidikan karakter ini penting baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan sendiri, karena hal itu menjamin adanya objektivitas dan kejujuran. Selain itu sangat berguna untuk melahirkan pemimpin yang mampu menjadi pelopor terjadinya perubahan social. Karakter keindonesiaan ini menjadi penting dikembangkan karena dengan adanya intelektual dan pemimpin yang berkarakter itu bisa menjaga martabat bangsa. Pemimpin yang berkarakter tidak mudah terseret oleh berbagai ideologi yang bertentangan dengan karakter bangsa ini baik yang berbasis pada radikalisme Islam maupun ideologi liberal kapitalis, yang telah mengacaukan tata kehidupan dan sistem ketatanegaraan kita sekarang ini.


Kerjasama perguruan tinggi dengan pihak lain yang ada di masyarakat seperti kalangan ulama, kalangan usaha bahkan kalangan tokoh politik diperlukan dalam hal ini. Demikian juga kerjasama dengan kalangan industriawan lembaga riset juga sangat diperlukan guna pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dalam upaya perubahan sosial perguruan tinggi tidak sendiri, tetapi bermitra dengan masyarakat luas, sebagai penopang dan pengguna dari perguruan tinggi yang ada.


Dengan demikian diharapkan perguruan tinggi tidak terpisah dari masyarakat, sebaliknya menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Proses integrasi ini tampaknya sedang berlangsung saat ini.


Jakarta, 15 Mei 2012

Dr. KH Said Aqil Siroj, MA


*Disampaikan dalam acara tasyakuran terpilihnya KH Said Said Aqil Siroj sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) yang dihadiri sejumlah tokoh nasional dan civitas akademika UI, di aula kantor PBNU lt.8, Jl. Kramat raya 164 Jakarta Pusat, Selasa (15/5) malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar