Agama dan Pendidikan
sebagai Resolusi Konflik
Oleh: HM Sulton Fatoni
Manusia yang hidup berkelompok akan mengalami
interaksi. Kecenderungan manusia untuk berinteraksi akan melahirkan dua fakta
sosial, yaitu ketertiban sosial dan konflik sosial. Beberapa kajian sosial pun
mengamati bahwa dua fakta sosial tersebut akan selalu terjadi. Hanya saja kadar
ketertiban sosial setiap kelompok berbeda-beda tergantung pada pola interaksi
yang disepakati bersama.
Kecenderungan dua fakta sosial yang selalu menggelayuti manusia pada prinsipnya ditentukan oleh kesepakatan bersama. Bentuknya bisa peraturan, norma, nilai, pranata yang mampu menimbulkan kohesi sosial. Maksudnya, sekelompok orang yang mempunyai komitmen untuk hidup berdampingan secara bersama-sama yang diikat dengan aturan yang disepakati dan berkomitmen untuk tunduk pada aturan tersebut agar tercipta kehidupan yang harmoni di lingkungannya.
Agama sering diposisikan sebagai aturan yang disepakati bersama. Bisa juga dikatakan bahwa agama adalah unsur terpenting kehidupan manusia yang sepakat untuk dihormati dan ditaati. Bentuk agama yang sering dibaca sebagai norma berkehidupan secara otomatis telah memberikan suasana tertib sosial dan rasa harmoni. Sehingga manusia merasakan manfaat beragama. Manusia juga mengakui bahwa agama telah memberi kontribusi besar terhadap ketenangan hidup di tengah keragaman suku, ras dan etnik. Agama memberi sumbangan besar terhadap nilai-nilai universal yang diakui bersama. Maka dengan beragama akan muncul garansi ketertiban sosial, modal keteraturan sosial dengan kadar yang berbeda-beda.
Di samping beragama, ketertiban sosial juga dapat dibangun melalui peningkatan kapasitas diri manusia. Hal ini berkaitan dengan proses perubahan zaman yang inheren dengan proses kehidupan manusia itu sendiri. Perkembangan zaman juga perkembangan manusia itu sendiri. Kebutuhan dasar manusia untuk melewati tahapan zaman adalah menjaga eksistensinya dengan cara meningkatkan kapasitas diri. Keterjagaan eksistensi, jaminan kapasitas diri, dapat dipenuhi dengan pendidikan. Hak berpendidikan secara otomatis memberi kesempatan pada setiap individu untuk mempersiapkan diri menjadi manusia yang sesuai dengan zamannya. Pola bisa bermacam-macam, seperti kegiatan bimbingan, pengajaran, pelatihan dan lainnya.
Bagi masyarakat Indonesia, beragama dan berpendidikan adalah dua hal mendasar kebutuhan hidup sehari-hari. Faktanya, masyarakat memang tidak bisa lepas dari agama dan pendidikan. Ratusan juta penduduk Indonesia yang tersebar di berbagai pulau besar dan kecil selalu akrab dengan ritual keagamaan dan pendidikan. Masyarakat yang berada di kawasan Aceh lebih memilih Islam dengan pendidikan yang diwarnai Islam. Sumatera Utara terdapat komunitas Kristen dengan pendidikan warna Kristen. Masyarakat Jakarta makin beragam keberagamannya juga dengan model pendidikan yang warna-warni pula. Di timur Jawa terdapat Bali yang beragama Hindu dengan pendidikan yang diwarnai Hindu. Lalu terdapat Nusa Tenggara Barat yang mayoritas beragama Islam dengan warna pendidikan Islam. Kemudian Nusa Tenggara Timur yang mayoritasnya beragama Kristen dengan warna pendidikan Kristen. Menyeberang lagi Papua yang mayoritas beragama Kristen dengan warna pendidikan Kristen. Berputar ke utara terdapat Maluku yang komposisi masyarakatnya beragama Kristen dan Islam juga nilai agama hadir di tengahnya. Menyeberang ke Sulawesi terdapat Manado yang dihuni masyarakat beragama Kristen dan Sulawesi Selatan atau Makassar yang mayoritas beragama Islam. Kedua agama itu pun mewarnai dunia pendidikannya. Menyeberang ke Kalimantan terdapat komunitas Kristen di Kalimantan Barat, Islam di Kalimantan Selatan dan Timur dengan kebutuhan pendidikan yang diwarnai kedua agama itu juga.
Potret masyarakat Indonesia di atas telah melahirkan corak manusia Indonesia yang beradab. Kontribusi keberadaban manusia Indonesia adalah agama dan pemberdayaan kapasitas diri. Basis agama yang warna-warni dan kapasitas diri yang beriringan dengan perkembangan zaman telah melahirkan komposisi manusia Indonesia yang harmoni, tertib sosial dan menghargai kesepkatan bersama. Karena itu diperlukan upaya untuk mempertahankan kondisi tersebut agar tidak terjadi konflik sosial.
Keberagaman Agama dan Pemenuhan Hak
Berpendidikan
Setiap orang mengenal kata ‘agama’ meskipun tidak semua orang mempercayai agama. Kelompok masyarakat yang percaya terhadap keberadaan agama menempatkan agama sebagai referensi utama aktifitas kehidupan. Bahkan bagi kelompok ini tidak hanya sebatas referensi kehidupan manusia yang mempunyai dampak di kemudian hari. Bahkan agama sudah menjadi tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari.
Tradisi yang berbasis agama termasuk tradisi
yang berakar pada dua pondasi kokoh: perilaku manusia yang telah disepakati
bersama dan membudaya; teks agama otentik yang telah terinterpretasi dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika ada anggota keluarga muslim meninggal
dunia maka diselenggarakan tahlil, yaitu mempersolid solidaritas sosial dan
penguatan empati yang diiringi dengan ritual. Di sisi lain masyarakat Kristen
di Sumatera Utara mengenal tradisi marbinda, yaitu membangun kebersamaan di
hari Natal dengan menyembelih hewan dan dibagi secara adil dan merata
(marhobas).
Pada masyarakat Hindu Bali dikenal budaya tari pendet, yaitu sebuah ritual yang dibawakan secara kelompok oleh kaum putri dalam sebuah ritual Dewa Yadnya. Secara etimologi, tari pendet diperkirakan berasal dari ‘pundut/pikul (sesajen)’ untuk menyongsong turunnya Ida Betara-Betari. Karena itu penari Pendet membawa sebentuk sajen. Maka tari Pendet merupakan elemen budaya Bali yang tidak terpisahkan dari rangkaian upacara ritual Dewa Yadnya dalam Hindu (Wayan Dibia, MI:26/8/2009).
Pada masyarakat Buddha Tiong Hoa terdapat
tradisi Ceng Beng, yaitu sembahyang di bulan ke tiga yang ditujukan untuk
keluarga yang telah meninggal dunia dan masih dikenali. Ritual ini menjadi
tradisi ziarah kubur di komunitas Tiong Hoa yang secara tidak langsung
mengajarkan nilai bakti dan penghormatan terhadap kedua orang tua dan para
leluhur (Bhikkhu Dhammiko: 21/03/2010).
Ritual agama yang telah mengalami akulturasi
budaya dan mentradisi di tengah kehidupan masyarakat sudah menjadi kajian para
akademisi dengan berbagai pendekatan keilmuan. Buku Islam Jawa, Sufisme dalam
Etika dan Tradisi Jawa, yang ditulis Ahmad Khalil (UIN-Malang Press, Mei 2008)
menjelaskan bahwa proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa hingga
menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan. Islam lahir
tidak hanya untuk mengatur kehidupan manusia dan relasinya dengan kehidupan
akhirat, tapi mengatur semua aspek manusia. Ahmad Khalil mengupas tentang
etika, kebijaksanaan hidup, dan tradisi masyarakat Jawa dalam perspektif
tasawuf. Untuk memperkuat teorinya, Ahmad Khalil mencontohkan ritual Seblang
yang berkembang di komunitas Jawa Osing Banyuwangi, Jawa Timur.
Uraian secara visual Ajaran Sang Budhha dan
tradisi karya Bhikkhu Uttamo (produksi Vihara dan Cetiya Padma Sambhava) juga
pengakuan atas ritual Budhha yang berakulturasi dengan budaya lokal. Pada
uraiannya, Bhikkhu Uttomo menjelaskan posisi ajaran Budhha dan tradisi agar
penganut agama Budhha tidak kebingungan membedakan antara pelaksanaan ajaran
Sang Buddha atau tradisi.
Sedangkan Diana A.V. Sasa dalam artikelnya
Upacara Buku menunjukkan relasi ritual Hindu Bali dengan tradisi dalam upacara
buku. Menurut Diana, masyarakat Hindu di Bali mengenal ritual penghormatan
kepada Dewi Saraswati, sebuah nama suci Dewi Ilmu Pengetahuan, yakni seorang
dewi yang digambarkan memiliki empat lengan yang masing-masing memegang buku,
ganitri, wina, dan bunga teratai. Bentuk penghormatan tersebut adalah upacara
buku saban 210 hari, tepatnya jatuh setiap Sabtu Umanis Watugunung (sistem
penanggalan Bali). Ritual ini menjadi tradisi masyarakat Hindu Bali sebagai
bentuk penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan (Diana, Jawa
Pos:2009).
Berbagai studi di atas menunjukkan bahwa
keragaman agama yang berjalan dengan baik akan menjadi tradisi seiring
membaiknya pendidikan dan kecerdasan masyarakat. Pendidikan sangat menolong
manusia untuk memahami agama di setiap kurun waktu mengingat kompleksitas
persoalan manusia. Artinya, pemahaman tentang agama tidak boleh berhenti, dan
dalam penyampaian isi dari kitab yang dibaca juga harus kontekstual sesuai
tuntutan zaman (Said Aqil Siroj:2011). Karena itu agama membutuhkan pendidikan
dan sebuah tradisi yang berbasis agama sangat ditentukan oleh kemampuan manusia
dalam memahami ajaran agamanya dan membaca tantangan kehidupan saat itu.
Ketika keragaman agama telah melahirkan
tradisi maka muncul garansi masyarakat yang berkomitmen menghargai norma yang
sudah disepakati. Tidak mudah menghargai suatu norma di tengah masyarakat yang
makin rasional. Namun ketertundukan masyarakat terhadap norma yang sudah turun
temurun melahirkan karya besar yang bernama tradisi. Kekuatan tradisi suatu
masyarakat akan memberikan garansi ketertiban sosial. Masyarakat Kristen di Manado
misalnya, setiap hari Paskah selalu membuat lampion dan arak-arakan mirip
karnaval untuk bersama melakukan refleksi atas kesengsaraan hidup di dunia.
Tidak ada seorang pun umat Kristen di Manado mengingkari tradisi ini dan
terjadi tertib sosial. Begitu juga tradisi tahlil di kalangan Nahdliyyin telah
menumbuhkan solidaritas sosial di kalangan mereka. Tidak seorang pun kalangan
Nahdliyyin yang mengingkari tahlil. Di sini terjadi ketertiban sosial untuk
bersama melestarikan norma tahlil yang telah disepakati bersama.
Jika penghormatan atas tradisi akan
melahirkan ketertiban sosial maka sebaliknya pengingkaran atas tradisi akan
melahirkan pembangkangan sosial. Maksudnya, tradisi yang sudah berjalan baik di
tengah masyarakat akan mengalami goncangan jika ada satu pun individu yang
mengingkari atau menentangnya. Pengingkaran atas kesepakatan bersama itulah
pembangkangan social. Sedangkan pembangkangan sosial berkonsekuensi pada
hukuman. Pada konteks ini tentu hukuman yang akan dijatuhkan kepada seseorang
yang melakukan pembangkangan sosial mempunyai tingkatan berbeda-beda tergantung
kadar pembangkangan sosial tersebut. Namun para sosiolog mengamati bahwa sebuah
hukuman yang dijatuhkan oleh suatu kelompok kepada anggota kelompoknya
cenderung lebih keras dibanding sanksi yang ditimpakan kepada seseorang yang
bukan berasal dari kelompoknya.
Hukuman atas pelanggar ketertiban sosial bisa berbentuk yang lebih ringan hingga yang lebih berat. Hukuman ringan bisa berupa sanksi memaksa untuk menerima kembali tradisi yang sudah ditolak; atau sanksi tidak mendapatkan fasilitas komunitas tersebut. Hukuman yang berat bisa berupa pengusiran dari tempat tinggalnya. Pengusiran harus dilakukan agar ketertiban sosial bisa kembali pulih. Pengusiran juga perlu dilakukan untuk memberi pemahaman bahwa sebuah tradisi itu mempunyai nilai yang sangat mahal. Pengusiran juga untuk proses penyadaran bahwa sebuah ketertiban sosial itu sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang mempunyai keragaman agama di tengah masyarakat rasional.
Pembangkangan sosial harus segera diatasi
dengan pendekatan sosial budaya. Pembiaran atas pembangan sosial dapat
memperbesar volume keterlibatan individu. Semakin banyak kelompok pembangkang
akan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan ketertiban sosial. Pada tahap ini
tidak lagi sebatas pembangkangan sosial yang hanya dilakukan individu atau
beberapa individu tapi sudah mengarah kepada konflik sosial. Masyarakat yang
terbelah dua memasuki proses sosial dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain: menghancurkan atau tidak memfungsikan. Konflik sumber
ketidaktenangan. Namun kelompok sosial yang mengalami konflik tetap harus
berupaya mencari solusi agar tatanan kehidupan menjadi damai.
Masyarakat yang mengalami konflik sosial
menunjukkan adanya problem sosial yang tidak terselesaikan. Substansi konflik
itu ‘saling memukul’. Secara sosiologis konflik sosial berdampak buruk bagi
kelangsungan tradisi dan budaya yang sudah member garansi ketertiban sosial.
Maka perlu ada penyelesaian komprehensif agar konflik sosial tidak meledak dan
menghancurkan sendi-sendi kehidupan.
Advokasi Atas Keragaman Agama dan Pemenuhan
Hak Pendidikan: Suatu Resolusi Konflik
Agama telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Keragaman suku dan persebaran penduduk juga diikuti fakta keragaman agama dan keragaman model pendidikan. Kondisi antropologis ini harus disikapi dengan komitmen melindungi hak warga untuk mendapatkan hak beragama (hifdud din) sesuai dengan keyakinannya. Maksud hak beragama di sini adalah kemerdekaan dan rasa aman dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Hak beragama juga berarti hak untuk tidak dipaksa melaksanakan ajaran agama yang tidak diyakininya. Islam mengajarkan dalam surah al-Baqarah ayati 256, “tidak ada paksaan dalam agama.” Teks suci ini diinterpretasikan Said Aqil Siroj, tidak ada kekerasan dalam agama. Maksudnya, setiap manusia harus memastikan menjalankan ajaran agama tanpa ada intimidasi dan paksaan. Karena itu untuk menjamin prinsip ini diperlukan sebuah kesepakatan bersama, baik secara tertulis (legal formal) maupun fatsun sosial budaya yang berbentuk tradisi.
Agama Islam juga mengajarkan bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa kehidupan manusia itu diikuti oleh fakta keragaman agama. Pemeluk Islam harus menyadari bahwa di luar dirinya terdapat pemeluk agama lain yang harus dihormati. Kewajiban untuk berdakwah dalam konteks ini adalah seruan seorang muslim berkompetisi menjalani kehidupan dengan kualitas yang terbaik. Al-Quran menegaskan dalam surah an-Nahl ayat 125, “hendaklah kamu mengajak ke jalan Tuhan dengan cara hikmah dan nasehat yang baik.” Maksudnya, mengajak seseorang untuk berislam dengan cara menunjukkan keteladanan hidup dan etika komunikasi yang obyektif dan baik.
Agar tidak terjadi konflik, manusia juga
harus bersama-sama menciptakan kondisi yang menjamin hak mendapatkan
pendidikan. Islam memandang penting pendidikan. Allah berfirman dalam al-Quran
surah Yusuf ayat 111: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal…” Islam mengajarkan bahwa
pendidikan (tarbiyah) itu proses menuju kecintaan kepada Allah (Said Aqil
Siroj:2004). Maka pendidikan harus menghasilkan ilmu pengetahuan yang menjamin
tatanan kehidupan mulia.
Komitmen masyarakat untuk beragama dengan
tenang dan merdeka sesuai keyakinan masing-masing dalam ranah negara
diakomodasi dengan melahirkan berbagai regulasi dan program kerja. Jaminan
beragama misalnya, dapat dilihat pada UUD 1945 pasal 28E ayat satu (1) yang
menyatakan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya….”
dan Pasal 28E ayat dua (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa,
”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pada tataran implementatif, Pemerintah
mempunyai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 01/BER/MDN-MAG/1969 yang mengatur tentang kerukunan umat beragama di
Indonesia. Pada era reformasi SKB ditingkatkan menjadi Peraturan Bersama
(Perber) Menag dan Mendagri Nomor 9 tahun 2006/Nomor 8 tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama dan pendirian rumah ibadah. Substansi peraturan bersama ini adalah
mendorong umat beragama untuk menciptakan keadaan hubungan sesama umat beragama
yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pada tataran taktis Pemerintah memfasilitas
masyarakat untuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang anggotanya
terdiri dari beberapa tokoh agama masyarakat setempat. FKUB dapat berfungsi
maksimal sebagai lembaga konsultatif yang dapat menggagas dialog dengan pemuka
agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan
dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
Pada ranah pendidikan, negara menjamin warga
negara untuk mendapatkan pendidikan. UUD 1945 pasal 31 ayat satu (1) dikatakan
bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat dua (2) mengatakan
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Sedangkan ayat tiga fokus pada perlindungan Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
Pada ayat empat Pasal 31 ayat empat (4)
negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sedangkan pada ayat lima (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Indonesia juga sudah mempunyai UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengatur adanya pendidikan lebih implementatif. Salah satu penekanan UU Sisdiknas adalah pendidikan nasional tanpa diskriminasi. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan siapapun penyelenggara pendidikan, baik pesantren maupun non pesantren memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan pendidikan sebaik-baiknya dari pemerintah. Apa yang telah dilakukan adalah sama-sama untuk kepentingan membangun bangsa lebih baik (nubanyuwangi, 21/03/12).
Dua kebutuhan dasar manusia Indonesia di atas
adalah langkah resolusi konflik. Memang faktanya masih terjadi benturan
antarmasyarakat akibat tidak ada perlindungan atas dua kebutuhan dasar di atas.
Seperti kasus umat Ahmadiyah di beberapa tempat, umat Syiah di tempat lain,
atau tekanan yang dialami Nahdliyyin di tempat tertentu. Namun beberapa kasus
tersebut dapat diminimalisir sebagai dampak dari keterbukaan informasi dan
keleluasaan ruang publik untuk berdiskusi dan berdebat. Iklim demokrasi telah
berkontribusi menekan volume konflik sosial. Bentuk minimalisir tersebut
seperti, beberapa bulan lalu Keluarga Puri Gerenceng, Denpasar, melestarikan
tradisi perayaan Galungan bersama muslimin pendatang di Pulau Bali. Dalam
perayaan itu, ratusan pemeluk agama Islam memadati halaman Puri Gerenceng di
Jalan dr Soetomo, Denpasar, atas undangan pihak puri. Galungan sebagai
identitas umat Hindu diisi kesenian muslim, seperti kasidah dan lagu-lagu
bernuansa Islami lainnya.
Bentuk lainnya adalah diskusi yang
diselenggarakan beberapa pihak gereja dan ormas keagamaan yang menolak RUU
Kerukunan Umat Beragama. Di Medan misalnya, beberapa waktu lalu mengadakan
diskusi yang intinya menolak RUU Kerukunan Umat Beragama yang sekarang sedang
dibahas DPR. Menurut mereka RUU KUB tersebut masih membatasi pendirian tempat
ibadah. Praksis persoalan ini telah bergeser ke ruang intelektual dan rasional,
baik berbentuk diskusi, seminar, workshop dan lainnya.
Maka advokasi atas keberagaman agama dan hak
mendapatkan pendidikan, baik yang dilakukan negara maupun masyarakat merupaka
resolusi konflik. Perdamaian memang harus diupayakan melalui proses terbuka dan
membagi proses penyelesaian konflik ke dalam tahapan sesuai dengan dinamika
konflik. Resolusi konflik perlu diposisikan sebagai bagian dari proses
perdamaian (Lund:1996).
* Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar