Hukum Bersetubuh
Bersama-Sama
Seperti kita fahami bersama bahwa poligami
dalam Islam bukanlah hal terlarang. Meskipun tidak pula dianjurkan. Dalam hal
ini, keadilan menjadi syarat yang harus diutamakan, seperti yang termaktub
dalam an-Nisa ayat 3:
فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian
senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak
akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja… (QS an-Nisa’ [4]: 3).
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan
keadilan dalam poligami, fiqih telah memformulasikan konsep al-Qismu. Yaitu
sebuah konsep praktis yang mengharuskan seorang suami membagi secara adil
malam-malam yang dilewatinya dengan para istri-istri tercintanya. Hal ini guna
menghindari kekecewaan atau kecemburuan diantara para istri.
Lalu bagaimana jika seorang suami
mengumpulkan dua isterinya atau lebih dalam satu ranjang, khususnya dalam hal
hubungan intim? Apakah hal itu diperbolehkan jika memang dirasa tidak melukai
konsep keadilan?
Dalam konsep al-qismu diterangkan bahwa haram
hukumnya bagi seorang suami tinggal di rumah seorang isterinya, lalu mengajak
isteri yang lain untuk tinggal di rumah tersebut karena keberatan hati mereka
untuk mendatanginya dan melebihkan seorang atau dua orang isterinya dibanding
yang lain.
Begitu pula haram hukumnya seorang suami
menempatkan dua isterinya dalam satu rumah. Karena dirasa dapat memicu
pertengkaran keduanya yang selanjutnya dapat merusak hubungan rumah tangga.
Kecuali keduanya rela.
“Adalah makruh hukumnya berhubungan intim
dengan sepengetahuan isteri yang lain karena jauh dari sifat muru‘ah. Hubungan
intim seorang suami pada seorang madunya dengan sepengetahuan isterinya yang
lain di satu atap dihukumkan makruh, sepanjang hatinya tidak terluka dan tidak
terlihat aurat suami dan madunya. Kalau keduanya terjadi (melukai hati dan
terlihat auratnya), maka haramlah hubungan intim yang dilakukan suami dengan
salah seorang isterinya,” [Syekh Qaliyubi dan Syekh Umairah, Hasyiyah ala Syarh
al-Mahalli ala Minhajit Thalibin lil Imamin Nawawi fi Fiqhi mazhabil Imamis
Syafi‘i, (Kairo: Maktabah wa Mathba‘ah al-Masyhad al-Husaini, tanpa tahun) Juz
3, hal. 300-301].
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar