Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
SETELAH 14 tahun berproses, reformasi
Indonesia malah nyaris salah arah. Reformasi politik cenderung membodohi
rakyat. Reformasi hukum berantakan, sementara reformasi ekonomi sama sekali
tidak fokus pada kepentingan nasional dan urgensi kemandirian.
Belum relevan untuk membahas atau
mempertanyakan kapan bangsa ini bisa menuntaskan semua agenda reformasi,
kendati prosesnya sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Bagaimana pun,
untuk membahas atau mengkaji jadual merampungkan reformasi, harus dilihat dulu
progresnya selama 14 tahun terakhir. Harus diakui bahwa persepsi publik tentang
progres reformasi terbelah dalam dua pandangan yang sangat kontradiktif atau
berlawanan. Mereka yang diuntungkan oleh kesemrawutan suasana sekarang
mengklaim bahwa reformasi Indonesia mencatat progres yang sangat signifikan.
Sementara kelompok-kelompok tidak memiliki daya untuk berkompetisi menilai
reformasi tidak menghadirkan nilai tambah apa pun. Satu-satunya nikmat dari
reformasi yang dirasakan seluruh elemen masyarakat hanyalah kebebasan, yakni kebebasan
berbicara dan kebebasan berserikat.
Namun, manakala tema kajian atau pembahasan
spesifik pada reformasi politik, hukum dan reformasi ekonomi, mayoritas rakyat
kecewa karena reformasi tiga agenda itu tidak memiliki arah yang
jelas. Alih-alih mengedukasi, reformasi politik malah lebih menonjolkan praktik
membodohi rakyat. Benar bahwa hak politik dan kedaulatan rakyat telah
dikembalikan kepada setiap individu. Namun, dominasi politik uang di panggung
politik praktis saat ini harus dilihat sebagai faktor perusak reformasi
politik. Politik uang merampas hak dan mengekspoitir ketidakberdayaan sebagian
besar rakyat, terutama masyarakat di lapisan terbawah.
Pun, sudah menjadi fakta terbuka bahwa
rakyat sangat kecewa dengan praktik penegakan hukum dalam tahun-tahun terakhir
ini. Pisau hukum di negara ini dirasakan aneh, karena hanya tajam ke bawah
tetapi tumpul ke atas. Rakyat melihat dengan sangat jelas terjadinya praktik
tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau negara sampai harus mendirikan
institusi ad hoc seperti Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) atau Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, itu bukti bahwa reformasi hukum terus dirundung
masalah dan nyaris tanpa progres.
Kalau liberalisasi tanpa reserve dipilih
sebagai menu utama reformasi ekonomi, harus disadari bersama bahwa Indonesia
saat ini sedang berjudi dengan agenda ketahanan ekonomi dan kemandirian
ekonomi. Berbagai kebutuhan rakyat, dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan
sekunder, dipenuhi dengan produk impor. Kran impor dibuka selebar-lebarnya,
sementara potensi kekuatan ekonomi rakyat yang dikelompokan dalam komunitas
UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) justru diabaikan. Padahal, pada
komunitas UMKM itulah sesungguhnya basis ketahanan ekonomi negara dan modal
dasar untuk mewujudkan kemandirian.
Kesimpulannya, reformasi politik, reformasi
hukum dan reformasi ekonomi memperlihatkan kecenderungan salah arah.
Ekstrimnya, tiga agenda reformasi itu belum berada di trek yang benar.
Reformasi Indonesia nyaris berantakan karena beberapa alasan. Paling utama
adalah negara tidak dipimpin oleh negarawan dengan visi kemandirian. Sangat
memprihatinkan karena para pemimpin dan para elit masyarakat tidak tahu apa itu
kepentingan nasional. Kedua, kepentingan jangka pendek dan kepentingan sempit
oknum-oknum penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan. Ketiga,
pemerintahan era reformasi sekarang sangat akomodatif terhadap
kepentingan asing dan tega mengorbankan kepentingan rakyatnya sendiri.
Akibatnya, disadari atau tidak, arah
reformasi Indonesia berbelok atau dibelokan ke arah yang serba tidak jelas dan
salah. Oleh karena itu, terlalu dini mempertanyakan kapan ketiganya bisa
dituntaskan. Sebab, yang harus dilakukan lebih dulu adalah meluruskan arah tiga
agenda reformasi itu. Untuk itu, tidak diperlukan revolusi. Indonesia
hanya harus memilih dan menunjuk seorang pemimpin dengan kaliber negarawan,
tahu apa itu kepentingan nasional dan kebutuhan rakyat, berambisi mewujudkan
kemandirian bangsa di segala bidang, dan berani menolak tekanan asing.
Jangan lagi memilih sosok pemimpin yang mudah
terbuai oleh puja puji pemimpin dan pebisnis asing. Selama ini, pujian yang
dialamatkan kepada Indonesia datang dari pemimpin dan pebisnis asing yang telah
mendapatkan keuntungan besar dari Indonesia. Sangat memprihatinkan karena
pemimpin kita tidak bisa membedakan mana pujian yang tulus dan mana yang
menjerumuskan. Karena angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemimpin kita
bangga dipuji orang asing. Padahal, pertumbuhan tinggi itu tidak mampu
mengurangi jumlah warga miskin dan menciptakan lapangan kerja, karena kualitas
pertumbuhannya memang sangat buruk.
Beban Reformasi
Tantangan untuk meluruskan arah reformasi
politik, hukum dan reformasi ekonomi memang tidak ringan. Bahkan, boleh jadi,
beban tantangannya bertambah berat. Sebab, upaya pelurusan proses reformasi itu
memaksa rakyat Indonesia berhadap-hadapan langsung dengan akumulasi kepentingan
yang sangat besar. Baik kepentingan sempit di bidang politik, kepentingan besar
komunitas koruptor dari sektor hukum dan kepentingan besar ekonomi asing serta
lokal yang diuntungkan oleh liberalisasi pasar dalam negeri. Akan tetapi, tidak
ada pilihan lain. Demi kepentingan anak cucu dan masa depan bangsa yang lebih
baik, generasi terkini Indonesia memang harus dan wajib meluruskan arah
reformasi politik, hukum dan reformasi ekonomi. Jangan sampai di kemudian hari
masih terdengar ungkapan sinis ‘orang miskin dilarangsakit dan dilarang
bersekolah’. Diyakini bahwa beban atau tantangan itu akan terasa ringan jika
rakyat Indonesia bisa memilih seorang negarawan sebagai pemimpin.
Tantangan untuk meluruskan arah reformasi
ekonomi terbilang kompleks. Para ekonom independen pernah menyimpulkan, kondisi
perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Realisasi program yang
tidak maksimal akibat buruknya koordinasi antarkementerian dan lemahnya
kepemimpinan menyebabkan ruh pembangunan untuk rakyat hilang.
Potret buruk disain dan produktivitas ekonomi
nasional bisa dibaca dari penetrasi produk manufaktur impor ke pasar dalam
negeri. Dari peralatan dapur, mainan anak, alas kaki, TPT, telepon seluler
hingga obat-obatan. Pemberian akses masuk tanpa batas untuk produk impor itu
secara tidak langsung menjadi senjata pembunuh UMKM di berbagai pelosok daerah.
Selain itu, ketergantungan pada bahan pangan impor sudah sangat tinggi.
Nilai impor bahan pangan per tahunnya rata-rata di atas Rp50 triliun untuk
impor beras, kedelai, susu, gandum hingga garam. Revitalisasi sektor pertanian
yang pernah dijanjikan tak lebih dari konsep tanpa aksi.
Terkait reformasi hukum, sudah muncul
kekhawatiran Indonesia sedang bergerak mundur. Hukum tidak ditegakkan
sebagaimana mestinya. Mereka yang diatas mengubah hukum menjadi sangat
diskriminatif. Hukum kita tidak berfungsi dengan tegas dan lugas terhadap
sejumlah kasus besar, seperti skandal Bank Century dan mafia pajak. Namun, saat
merespons kasus kecil, hukum begitu ‘galak’ dan tidak pandang bulu. Tersangka
pencuri cabai pun diinapkan di ruang tahanan polisi.
Kecewa oleh hukum yang diskriminatif itu,
sebagian warga di akar rumput memilih caranya sendiri untuk menyelesaikan
persoalan yang membelit mereka. Bentrok berdarah dan aksi saling bunuh terjadi
di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta. Itulah benih-benih kegagalan fungsi
hukum. Progres reformasi hukum jangan dilihat dari berapa banyak KPK menangkap
koruptor, melainkan diukur dari kemauan masyarakat menaati hukum dan peraturan
perundang-undangan. Artinya, termasuk dalam tantangan meluruskan arah reformasi
hukum adalah memulihkan ketertiban umum.
Kalau ingin mengukur tantangan dalam
meluruskan arah reformasi politik, dinamika menjelang pemilihan gubernur DKI
Jakarta bisa dijadikan indikator. Terungkap cerita tentang seorang calon
gubernur (Cagub) yang coba mendekati sebuah Parpol untuk dijadikan kendaraan
politiknya. Sang Cagub langsung mundur ketika Parpol itu mengajukan angka
besarnya cukup fantastis. Lalu, berapa yang dibutuhkan untuk meraih kursi presiden?
Anda disarankan untuk menguasai dulu BUMN (badan usaha milik negara). []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar