Rabu, 23 Mei 2012

Dahlan: Ribut-ribut Petral dan Prinsip C&C


Ribut-ribut Petral dan Prinsip C&C

Senin, 21 Mei 2012, 06:57 WIB

Menneg BUMN Dahlan Iskan



Kadang timbul. Kadang tenggelam. Kadang timbul-tenggelam. Begitulah isu korupsi di Pertamina. Siklus timbul-tenggelam seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun. Belum ada yang mengamati: tiap musim apa mulai timbul dan mengapa (ada apa) tiba-tiba tenggelam begitu saja.



Sejak sekitar tiga bulan lalu isu ini timbul lagi. Belum tahu kapan akan tenggelam dan ke mana tenggelamnya. Sebenarnya menarik kalau bisa dirunut, mengapa (ada apa) isu ini kembali muncul, tiga bulan lalu. Ada kejadian apa dan siapa yang pertama kali memunculkannya. Dari sini sebenarnya akan bisa diduga kapan isu ini akan tenggelam dan bagaimana cara tenggelamnya.



Kadang isu yang muncul di sekitar sewa tanker. Kadang di sekitar ekspansi Pertamina di luar negeri. Kadang pula, seperti sekarang ini, soal anak perusahaan Pertamina yang bernama Petral.



Petral adalah anak perusahaan yang 100% dimiliki Pertamina. Tugasnya melakukan trading. Jual-beli minyak. Lebih tepatnya membeli minyak dari mana saja untuk dijual ke Pertamina. Semua aktivitas itu dilakukan di Singapura. Petral memang didesain untuk didirikan di Singapura. Sebagai perusahaan Singapura, Petral tunduk pada hukum Singapura.



Isu pertama: mengapa dibentuk anak perusahaan? Kedua: mengapa di Singapura? Dulu, segala macam pembelian itu dilakukan oleh induk perusahaan Pertamina di Jakarta. Apakah ketika itu tidak ada isu korupsi? Sama saja. Isunya juga luar biasa.



Tapi mengapa dipindah ke Singapura? Dan dilakukan anak perusahaan? Alasan pembenarnya adalah: supaya segala macam pembelian dilakukan oleh sebuah perusahaan trading. Direksi Pertamina jangan diganggu oleh pekerjaan trading. Alasan tidak formalnya: kalau transaksi itu dilakukan di Singapura dan tunduk pada hukum Singapura, intervensi dari mana-mana bisa berkurang.



Bagi orang korporasi seperti saya, sangat gampang menerima logika mengapa dibentuk anak perusahaan dan mengapa di Singapura. Tapi bagi publik bisa saja dianggap mencurigakan. Bagi publik, munculnya pertanyaan (mengapa dibentuk anak perusahaan dan mengapa di Singapura) itu saja sudah sekaligus mengandung kecurigaan. Pertamina memang bisa membuktikan praktik di Petral sudah sangat clean dengan tender internasional yang fair. Tim-tim pemeriksa yang dikirim ke sana tidak menemukan praktik yang menyimpang.



Kalau begitu apa yang masih diperlukan? Di sini kelihatannya bukan hanya clean yang perlu dipertunjukkan. Tapi juga clear. Perusahaan BUMN memang tidak cukup dengan clean: tapi juga harus C&C. Harus clean and clear. Clean berurusan dengan GCG (Good Corporate Governance), hukum, dan penjara. Clear berhubungan dengan public trust, alias kepercayaan publik.



Perusahaan yang tidak clear, tidaklah melanggar hukum. Semua bisa dipertanggungjawabkan. Tapi perusahaan yang tidak clear tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Karena BUMN adalah perusahaan milik publik, maka praktik C&C menjadi sangat penting.



Di manakah letak belum clear-nya praktik trading Petral di Singapura?



Begini: Pertamina adalah perusahaan yang sangat besar. Bahkan terbesar di Indonesia. Sebagai perusahaan yang terbesar, posisi tawar Pertamina tidak akan ada bandingannya. Boleh dikata, dalam bisnis, Pertamina memiliki hak mendikte: mendikte apa saja, termasuk mendikte pemasok dan bahkan mendikte pembayaran.



Inilah yang belum clear: sebagai perusahaan terbesar mengapa Pertamina belum bisa mendikte. Mengapa masih berhubungan dengan begitu banyak trader. Mengapa tidak sepenuhnya melakukan pembelian langsung dari pemilik asal barang: membeli BBM langsung dari perusahaan kilang dan membeli crude oil (minyak mentah) langsung dari perusahaan penambang minyak.



Dalam satu bulan terakhir tiga kali Presiden SBY mengajak mendiskusikan soal ini dengan beberapa menteri. Termasuk saya. Arahan Presiden SBY jelas dan tegas bagi saya: benahi Pertamina. Kalau ada yang mengaku-ngaku dapat backing dari Presiden, atau dari Cikeas, atau dari Istana; abaikan saja. Bisa saja ada yang mengaku-ngaku mendapat backing dari Presiden SBY. Tapi sebenarnya tidak demikian. Jangankan Presiden SBY, saya pun, di bidang lain, juga mendengar ada orang yang mengatakan mendapat backing dari Menteri BUMN!



Presiden SBY juga menegaskan itu sekali lagi minggu lalu. Dalam pertemuan menjelang tengah malam itu diundang juga Dirut Pertamina Karen Agustiawan. Karen melaporkan sudah siap melakukan pembelian langsung, tanpa perantara lagi. Tentu diperlukan persiapan-persiapan yang matang. Tidak bisa, misalnya seperti yang diinginkan beberapa pihak, besok pagi Petral langsung dibubarkan. Pasokan BBM bisa terganggu. Dan bisa kacau-balau.



Memang, kelihatannya banyak motif yang berada di belakang isu Petral ini. Setidaknya ada tiga motif: 1) Ada yang dengan sungguh-sungguh dan ikhlas menginginkan Pertamina benar-benar C&C dan bisa menjadi kebanggaan nasional. 2) Dengan adanya Petral mereka tidak bisa lagi 'ngobyek' dengan cara menekan-nekan Pertamina seperti terjadi di masa sebelum Petral. 3) Ada yang berharap kalau Petral dibubarkan jual-beli minyak kembali dilakukan di Jakarta dan mungkin bisa menjadi obyekan baru.



Tentu, seperti juga bensin oplos, ada juga campuran lain: politik! Ada politik anti pemerintah Presiden SBY. Tapi yang keempat ini baiknya diabaikan karena politik adalah satu keniscayaan.



Misalnya ketika ada yang menyeru: bubarkan Petral sekarang juga! Saya pikir yang dimaksud sekarang itu ya pasti ada tahapannya. Ternyata tidak. Ternyata benar-benar ada yang menginginkan Petral bubar saat ini juga. Mereka tidak berpikir panjang kalau Petral bubar sekarang, siapa yang akan menggantikan fungsi Petral. Siapa yang akan mendatangkan bensin untuk keperluan bulan depan dan beberapa bulan berikutnya.



Mungkin memang ada maksud terselubung: bubarkan Petral sekarang juga, biar terjadi kelangkaan BBM dan terjadilah gejolak sosial. Ini mirip-mirip dengan logika: jangan naikkan harga BBM dan pemakaiannya juga jangan melebihi 40 juta kiloliter setahun! Logika Joko Sembung yang tidak nyambung.



Tentu saya tidak akan terpancing pemikiran pendek seperti itu. Yang harus dilakukan Pertamina adalah langkah yang lebih mendasar: sebagai perusahaan raksasa, Pertamina, seperti ditegaskan Presiden SBY setegas-tegasnya, tidak boleh lagi membeli minyak dari perantara. Langkah seperti itu sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Pertamina. Tapi belum semua. Jadinya tenggelam oleh pembelian yang masih dilakukan lewat Petral.



Apakah kelak setelah Pertamina tidak lagi membeli minyak dari perantara otomatis tidak akan ada yang dipersoalkan? Tidak dijamin. Akan terus ada yang mempersoalkan. Misalnya:



1)     Mengapa membeli langsung kalau pedagang bisa memberikan harga lebih murah? (Dalam dunia bisnis, tidak dijamin pemilik barang menjual lebih murah dari pedagang. Bisa saja pedagang kuat membeli barang dalam jumlah besar dengan diskon yang tinggi. Lalu menjual kepada konsumen dengan harga lebih murah).

2)     Pertamina (atau siapa pun) dapat komisi dari pemilik barang.

3)     Mengapa membeli langsung kepada pemilik barang? Mengapa tidak pakai tender terbuka saja?



Dan banyak lagi yang masih akan dipersoalkan karena pada dasarnya memang banyak orang yang hobinya mempersoalkan apa saja.



Tapi ribut-ribut seperti itu tidak akan lama. Syaratnya manajemen Pertamina terus secara konsisten menjaga integritas. Tidak mudah memang. Dan memerlukan waktu yang panjang untuk membuktikan konsistensi itu.



Tapi dalam menjaga integritas itu Pertamina tidak akan sendirian. Perkebunan sawit BUMN juga harus melakukan hal yang sama. Misalnya dalam pembelian pupuk. Sebagai perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia, tentu aneh kalau PTPN masih membeli pupuk dari perantara. Perkebunan gula idem ditto.



PLN juga harus membeli batubara langsung dari pemilik tambang. Dan ini sudah dilakukan sejak dua tahun lalu: semua pemasok adalah pemilik tambang. Tidak ada lagi perantara batubara di PLN dalam dua tahun terakhir. Awalnya memang ribut-ribut terus, tapi sekarang sudah kempes.



Inilah prinsip yang harus dipegang:



Dengan clean kita memang tidak akan masuk penjara secara fisik.

Tapi dengan clear kita tidak akan masuk penjara secara rohani.

Hukum cukup menghendaki clean. Publik menghendaki clean and clear.



*Dahlan Iskan, Menteri Negara Urusan BUMN



Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar