Ribut-ribut Petral
dan Prinsip C&C
Senin, 21 Mei 2012,
06:57 WIB
Menneg BUMN Dahlan
Iskan
Kadang timbul. Kadang
tenggelam. Kadang timbul-tenggelam. Begitulah isu korupsi di Pertamina. Siklus
timbul-tenggelam seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun. Belum ada yang
mengamati: tiap musim apa mulai timbul dan mengapa (ada apa) tiba-tiba
tenggelam begitu saja.
Sejak sekitar tiga
bulan lalu isu ini timbul lagi. Belum tahu kapan akan tenggelam dan ke mana
tenggelamnya. Sebenarnya menarik kalau bisa dirunut, mengapa (ada apa) isu ini
kembali muncul, tiga bulan lalu. Ada kejadian apa dan siapa yang pertama kali
memunculkannya. Dari sini sebenarnya akan bisa diduga kapan isu ini akan
tenggelam dan bagaimana cara tenggelamnya.
Kadang isu yang
muncul di sekitar sewa tanker. Kadang di sekitar ekspansi Pertamina di luar
negeri. Kadang pula, seperti sekarang ini, soal anak perusahaan Pertamina yang
bernama Petral.
Petral adalah anak
perusahaan yang 100% dimiliki Pertamina. Tugasnya melakukan trading. Jual-beli
minyak. Lebih tepatnya membeli minyak dari mana saja untuk dijual ke Pertamina.
Semua aktivitas itu dilakukan di Singapura. Petral memang didesain untuk
didirikan di Singapura. Sebagai perusahaan Singapura, Petral tunduk pada hukum
Singapura.
Isu pertama: mengapa
dibentuk anak perusahaan? Kedua: mengapa di Singapura? Dulu, segala macam
pembelian itu dilakukan oleh induk perusahaan Pertamina di Jakarta. Apakah
ketika itu tidak ada isu korupsi? Sama saja. Isunya juga luar biasa.
Tapi mengapa dipindah
ke Singapura? Dan dilakukan anak perusahaan? Alasan pembenarnya adalah: supaya
segala macam pembelian dilakukan oleh sebuah perusahaan trading. Direksi
Pertamina jangan diganggu oleh pekerjaan trading. Alasan tidak formalnya: kalau
transaksi itu dilakukan di Singapura dan tunduk pada hukum Singapura,
intervensi dari mana-mana bisa berkurang.
Bagi orang korporasi
seperti saya, sangat gampang menerima logika mengapa dibentuk anak perusahaan
dan mengapa di Singapura. Tapi bagi publik bisa saja dianggap mencurigakan.
Bagi publik, munculnya pertanyaan (mengapa dibentuk anak perusahaan dan mengapa
di Singapura) itu saja sudah sekaligus mengandung kecurigaan. Pertamina memang
bisa membuktikan praktik di Petral sudah sangat clean dengan tender
internasional yang fair. Tim-tim pemeriksa yang dikirim ke sana tidak menemukan
praktik yang menyimpang.
Kalau begitu apa yang
masih diperlukan? Di sini kelihatannya bukan hanya clean yang perlu
dipertunjukkan. Tapi juga clear. Perusahaan BUMN memang tidak cukup dengan
clean: tapi juga harus C&C. Harus clean and clear. Clean berurusan dengan
GCG (Good Corporate Governance), hukum, dan penjara. Clear berhubungan dengan
public trust, alias kepercayaan publik.
Perusahaan yang tidak
clear, tidaklah melanggar hukum. Semua bisa dipertanggungjawabkan. Tapi
perusahaan yang tidak clear tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Karena
BUMN adalah perusahaan milik publik, maka praktik C&C menjadi sangat
penting.
Di manakah letak
belum clear-nya praktik trading Petral di Singapura?
Begini: Pertamina
adalah perusahaan yang sangat besar. Bahkan terbesar di Indonesia. Sebagai
perusahaan yang terbesar, posisi tawar Pertamina tidak akan ada bandingannya.
Boleh dikata, dalam bisnis, Pertamina memiliki hak mendikte: mendikte apa saja,
termasuk mendikte pemasok dan bahkan mendikte pembayaran.
Inilah yang belum
clear: sebagai perusahaan terbesar mengapa Pertamina belum bisa mendikte.
Mengapa masih berhubungan dengan begitu banyak trader. Mengapa tidak sepenuhnya
melakukan pembelian langsung dari pemilik asal barang: membeli BBM langsung
dari perusahaan kilang dan membeli crude oil (minyak mentah) langsung dari
perusahaan penambang minyak.
Dalam satu bulan
terakhir tiga kali Presiden SBY mengajak mendiskusikan soal ini dengan beberapa
menteri. Termasuk saya. Arahan Presiden SBY jelas dan tegas bagi saya: benahi
Pertamina. Kalau ada yang mengaku-ngaku dapat backing dari Presiden, atau dari
Cikeas, atau dari Istana; abaikan saja. Bisa saja ada yang mengaku-ngaku
mendapat backing dari Presiden SBY. Tapi sebenarnya tidak demikian. Jangankan
Presiden SBY, saya pun, di bidang lain, juga mendengar ada orang yang
mengatakan mendapat backing dari Menteri BUMN!
Presiden SBY juga
menegaskan itu sekali lagi minggu lalu. Dalam pertemuan menjelang tengah malam
itu diundang juga Dirut Pertamina Karen Agustiawan. Karen melaporkan sudah siap
melakukan pembelian langsung, tanpa perantara lagi. Tentu diperlukan
persiapan-persiapan yang matang. Tidak bisa, misalnya seperti yang diinginkan
beberapa pihak, besok pagi Petral langsung dibubarkan. Pasokan BBM bisa
terganggu. Dan bisa kacau-balau.
Memang, kelihatannya
banyak motif yang berada di belakang isu Petral ini. Setidaknya ada tiga motif:
1) Ada yang dengan sungguh-sungguh dan ikhlas menginginkan Pertamina
benar-benar C&C dan bisa menjadi kebanggaan nasional. 2) Dengan adanya
Petral mereka tidak bisa lagi 'ngobyek' dengan cara menekan-nekan Pertamina
seperti terjadi di masa sebelum Petral. 3) Ada yang berharap kalau Petral
dibubarkan jual-beli minyak kembali dilakukan di Jakarta dan mungkin bisa
menjadi obyekan baru.
Tentu, seperti juga
bensin oplos, ada juga campuran lain: politik! Ada politik anti pemerintah
Presiden SBY. Tapi yang keempat ini baiknya diabaikan karena politik adalah
satu keniscayaan.
Misalnya ketika ada
yang menyeru: bubarkan Petral sekarang juga! Saya pikir yang dimaksud sekarang
itu ya pasti ada tahapannya. Ternyata tidak. Ternyata benar-benar ada yang
menginginkan Petral bubar saat ini juga. Mereka tidak berpikir panjang kalau
Petral bubar sekarang, siapa yang akan menggantikan fungsi Petral. Siapa yang
akan mendatangkan bensin untuk keperluan bulan depan dan beberapa bulan
berikutnya.
Mungkin memang ada
maksud terselubung: bubarkan Petral sekarang juga, biar terjadi kelangkaan BBM
dan terjadilah gejolak sosial. Ini mirip-mirip dengan logika: jangan naikkan
harga BBM dan pemakaiannya juga jangan melebihi 40 juta kiloliter setahun!
Logika Joko Sembung yang tidak nyambung.
Tentu saya tidak akan
terpancing pemikiran pendek seperti itu. Yang harus dilakukan Pertamina adalah
langkah yang lebih mendasar: sebagai perusahaan raksasa, Pertamina, seperti
ditegaskan Presiden SBY setegas-tegasnya, tidak boleh lagi membeli minyak dari
perantara. Langkah seperti itu sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Pertamina.
Tapi belum semua. Jadinya tenggelam oleh pembelian yang masih dilakukan lewat
Petral.
Apakah kelak setelah
Pertamina tidak lagi membeli minyak dari perantara otomatis tidak akan ada yang
dipersoalkan? Tidak dijamin. Akan terus ada yang mempersoalkan. Misalnya:
1) Mengapa membeli langsung kalau
pedagang bisa memberikan harga lebih murah? (Dalam dunia bisnis, tidak dijamin
pemilik barang menjual lebih murah dari pedagang. Bisa saja pedagang kuat
membeli barang dalam jumlah besar dengan diskon yang tinggi. Lalu menjual
kepada konsumen dengan harga lebih murah).
2) Pertamina (atau siapa pun) dapat
komisi dari pemilik barang.
3) Mengapa membeli langsung kepada
pemilik barang? Mengapa tidak pakai tender terbuka saja?
Dan banyak lagi yang
masih akan dipersoalkan karena pada dasarnya memang banyak orang yang hobinya
mempersoalkan apa saja.
Tapi ribut-ribut
seperti itu tidak akan lama. Syaratnya manajemen Pertamina terus secara
konsisten menjaga integritas. Tidak mudah memang. Dan memerlukan waktu yang
panjang untuk membuktikan konsistensi itu.
Tapi dalam menjaga
integritas itu Pertamina tidak akan sendirian. Perkebunan sawit BUMN juga harus
melakukan hal yang sama. Misalnya dalam pembelian pupuk. Sebagai perusahaan
perkebunan terbesar di Indonesia, tentu aneh kalau PTPN masih membeli pupuk
dari perantara. Perkebunan gula idem ditto.
PLN juga harus
membeli batubara langsung dari pemilik tambang. Dan ini sudah dilakukan sejak
dua tahun lalu: semua pemasok adalah pemilik tambang. Tidak ada lagi perantara
batubara di PLN dalam dua tahun terakhir. Awalnya memang ribut-ribut terus,
tapi sekarang sudah kempes.
Inilah prinsip yang
harus dipegang:
Dengan clean kita
memang tidak akan masuk penjara secara fisik.
Tapi dengan clear kita
tidak akan masuk penjara secara rohani.
Hukum cukup
menghendaki clean. Publik menghendaki clean and clear.
*Dahlan Iskan,
Menteri Negara Urusan BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar