Membaca Shalawat Setelah
Adzan
Bila difahami lebih mendalam seringkali
sebuah laku ibadah memiliki nilai ganda. Satu nilai spiritual yang berorientasi
Yang Maha Kuasa (hablum minallah), Sisi lain nilai social (hablum minan nas)
menjadi syiar bagi Islam itu sendiri. Misalnya shalat Jum’ah, ibadah haji, Adzan
dan lain sebagainya. Akan tetapi sebagian kaum muslim tidak dapat memahami hal
ini dengan baik. Malahan sebaliknya, laku ibadah itu menjadi sumber perdebatan
yang ujungnya bermuara pada pembelaan ego sebuah kelompok tertentu. Sehingga
yang terjadi adalah saling tuding bid’ah dan klaim-klaim primordial.
Sebut saja perdebatan mengenai hukum khatib memegang tongkat dalam shalat jum’at. Atau hukum berziarah ke tempat-tempat bersejarah di Makkah-Madinah ketika haji. Atau sekedar membaca shalawat setelah adzan dalam setiap shalat dan masih banyak lagi lainnya. Perdebatan semacam ini tidak harus terjadi apabila kaum muslimin memahami konteks sebuah laku ibadah.
Di sinilah perlunya klarifikasi hukum
berdasar pada dalil hadits maupun sunnah. Seperti dalil seputar pembacaan
shalawat kepada Nabi setelah adzan yang asal hukumnya adalah sunnah, dan tidak
ada perbedaan pendapat di dalamnya. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim (hadits no. 384), dan Abu Dawud (hadis no. 523).
Yaitu:
اِذَا
سَمِعْتُمُ النِّدَأَ فَقُوْلُوْا مَثَلُ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ.
Artinya: Ketika kalian mendengarkan adzan
maka jawablah, kemudian setelah itu bacalah sholawat kepadaku. (H.R. Muslim dan
Abu Dawud)
Pendapat di atas ini juga didukung oleh Imam
Jalaludin as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Haitsami, Syeikh Zakariya al-Anshari, dan
lain lain.
Imam Ibnu Abidin dalam ‘hasyiyahnya’
mengatakan, bahwa pendapat yang didukung oleh Madzhab Syafi’i dan Hanbali
adalah pendapat yang mengatakan shalawat setelah adzan adalah sunah bagi orang
yang adzan dan orang yang mendengarkannya.
Para ulama memberikan penjelasan bahwa, pada
hakikatnya puji-pujian setelah adzan adalah dalam kategori bid’ah hasanah.
Sedangkan pengamalan puji-pujian secara
popular baru mulai sekitar tahun 781 H, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu
Abidin dalam kitab “Hasiyah” yang merujuk pada pendapat Imam as-Sakhawi.
Dalam kitab “taj al-jami” ada dijelaskan bahwa :
Dalam kitab “taj al-jami” ada dijelaskan bahwa :
اَلصَّلاَةُ
بَعْدَ اْلاَذنِ سُنَّةٌ لِلسَّامِعِ وَاْلمُؤَذّنُ وَلَوْ بِرَفْعِ الصَّوْتِ,
وَعَلَيْهِ الشَّافِعِيَّة وَاْلحَنَابِلَة وَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ .
Artinya : Membaca shalawat setelah adzan
adalah sunah, baik bagi orang yang adzan maupun orang yang mendengarkannya, dan
boleh mengeraskan suara. Pendapat inilah yang didukung oleh kalangan madzhab
Syafi’iyah, dan kalangan madzhab Hanbali.
Sumber: Dari Buku “Tradisi Amaliah NU dan
Dalilnya”, penerbit LTM (Lembaga Ta'mir Masjid) PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar