Rabu, 16 Mei 2012

(Ngaji of the Day) Gerakan Mempertahankan Ajaran Aswaja


Gerakan Mempertahankan Ajaran Aswaja

Oleh: Muslimin Abdilla



Secara tradisi orang Islam penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia mewarisi ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan disebarkan oleh para wali melalui berbagai media. Kebanyakan dari mereka menggunakan media yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya media tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dengan Islam yang berkembang di Indonesia.



Media yang digunakan oleh para wali dalam memperkenalkan ajaran tauhid dalam Islam adalah media kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka para wali tidak membuat hal yang baru di dalam masyarakat, kecuali mengubah nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai Islam. Salah satu contoh adalah media pertunjukan wayang kulit, yang diubah nilainya menjadi nilai yang mengajarkan syariat dan tauhid Islam.



Bahkan sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi pra-Islam juga digunakan sebagai sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan model asrama ini menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli agama jauh sebelum para wali datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kemudian, pada masa selanjutnya sistem ini diubah isinya dengan tetap mempertahankan sistemnya.



Disamping mewarisi tradisi Islam yang dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di Indonesia, pada masa selanjutnya juga dikembangkan oleh para kiai pesantren yang mengenyam pendidikan di tanah suci. Mereka belajar langsung kepada para guru yang memegang genealogi (sanad) keilmuan yang sampai kepada pendiri mazhab dan Rasulullah SAW. Misalnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang belajar di tanah suci kepada para guru (masyayikh) yang memiliki sanad kepada para Imam pendiri mazhab baik dalam bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.



Islam tradisi yang diajarkan oleh para kiai ini berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di awal abad ke-20, ketika beberapa tokoh agama yang pernah menjadi santri di tanah suci mulai kenal dengan gerakan pembaharuan Islam, dan selanjutnya membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran pembaharuan tersebut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah Islam tradisi yang mengajarkan paham Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai ritual dan ajaran yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Islam digugat.


Muncul istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak sekali ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di masyarakat, baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik, misalnya yang terjadi di Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres Islam di Yogyakarta sebagai persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan Ulama yang berpegang teguh kepada ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang akan mengirim delegasi ke Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda. Hal ini terjadi ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.



Dari sinilah kemudian para kiai dan ulama yang memegang teguh ajaran Islam Aswaja bersepakat membangun gerakan mempertahankan ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan tersebut bisa berjalan efektif, maka para kiai mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir dari proses pembangunan organisasi yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar (gerakan pemikiran), kemudian dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan para saudagar).



Disamping sebagai respon dari mulai digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian organisasi ini juga sebagai respon gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak terjadi. Hampir semua kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi mendirikan organisasi. Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi ini adalah sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.

Karena itu dapat dikatakan jika pendirian organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah sebagai wadah gerakan penganut Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon gerakan kaum puritan yang mulai menggugat keberadaan Islam tradisi yang dijalankan oleh penganut Aswaja. Sedangkan di sisi lain sebagai wadah gerakan dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.



Sayap Gerakan Aswaja


Sebagai sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di atas, gerakan Aswaja membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan. Organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan pendidikan dan pengembangan ekonomi.



Dari sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama merupakan sayap gerakan Aswaja dalam bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap gerakan dalam sosial-budaya, Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar individu dan kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya, Nahdlatul Ulama mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan kelompok profesi.



Dalam perjalanannya, di awal masa pergerakan kemerdekaan, hampir semua gerakan masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam membangun sayap organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi politik dan sebagai persiapan pemilihan umum pertama. Hal ini menekan gerakan Aswaja untuk turut membangun organisasi politik. Karena itu, gerakan Aswaja juga turut membuat organisasi sayap politik, dan sayap politik yang digunakan adalah sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sayap sosial-budaya, sekaligus sebagai sayap politik gerakan Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun 1955.



Kondisi ini terjadi sampai pada Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena pada pemilu selanjutnya di masa Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang diterapkan Orde Baru tersebut, Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki sayap politik tersendiri, karena PPP menjadi sayap politik bagi berbagai aliran dalam Islam. Kebijakan fusi tersebut mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam korporatisme negara yang menerapkan azas tunggal.



Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan ketika menjadi bagian dari PPP, Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan. Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama secara tegas menyatakan kembali ke Khittah 1926, dengan konsekuensi harus keluar dari gerakan politik. Ini berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi salah satu bagian dari partai politik manapun.



Setelah mengumandangkan gerakan kembali ke Khittah 1926, Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil (civil society) yang sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit melawan tirani Orde Baru.



Lima tahun setelah Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya membangun sayap ekonomi gerakan Aswaja. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil menggandeng grup bisnis besar milik William Soerjadjaja. Grup bisnis ini memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama ini adalah didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR akan didirikan sampai 2000 buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak kerjasama mengalami kalah kliring dan dilikuidasi oleh pemerintah.



Setelah Suharto tumbang dan Indonesia masuk dalam masa reformasi, euforia politik terjadi di mana-mana. Pada masa ini gerakan Aswaja kembali mendirikan organisasi sayap politik. Hal ini setelah banyaknya desakan yang kuat kepada PBNU dari daerah untuk mendirikan partai politik. Desakan tersebut disambut oleh PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena dikhawatirkan melanggar Khittah 1926. Namun karena desakan yang cukup kuat, akhirnya PBNU membentuk panitia persiapan pendirian sayap politik, dan selanjutnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai sayap politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun pada masa-masa selanjutnya ternyata sayap politik ini mengalami berbagai persoalan internal, yang berimplikasi salah satunya adalah pada pola hubungan diantar sayap gerakan Aswaja yang lain (NU). Disamping itu, juga mulai menguatnya kembali unsur-unsur politik lama yang pernah bersinggungan dengan orang-orang NU.



Dari semua uraian di atas ada beberapa yang perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan positioning sayap-sayap gerakan Aswaja. Sayap gerakan tersebut harus menempati tempat yang telah ditentukan sesuai dengan dimensi yang menjadi ruang geraknya. Namun sayap-sayap gerakan tersebut akan bisa bertemu di wilayah gerak yang sama. Wilayah gerak tersebut adalah dalam proses pengorganisasian, dimana semua sayap akan melakukan jika ingin betul-betul melayani semua anggota atau warga yang menjadi bagian dari gerakan Aswaja.


* Wakil Sekretaris PCNU Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar