Gerakan Mempertahankan
Ajaran Aswaja
Oleh: Muslimin Abdilla
Secara tradisi orang Islam penganut paham
Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia mewarisi ajaran Islam yang dibawa
oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan disebarkan oleh para wali melalui
berbagai media. Kebanyakan dari mereka menggunakan media yang sudah tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Selanjutnya media tersebut menjadi sesuatu yang tidak
terpisahkan dengan Islam yang berkembang di Indonesia.
Media yang digunakan oleh para wali dalam
memperkenalkan ajaran tauhid dalam Islam adalah media kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat setempat. Mereka para wali tidak membuat hal yang baru di dalam
masyarakat, kecuali mengubah nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai Islam. Salah
satu contoh adalah media pertunjukan wayang kulit, yang diubah nilainya menjadi
nilai yang mengajarkan syariat dan tauhid Islam.
Bahkan sistem pendidikan pesantren yang
merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi pra-Islam juga digunakan sebagai
sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan model asrama ini
menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli agama jauh sebelum para wali
datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kemudian, pada masa selanjutnya
sistem ini diubah isinya dengan tetap mempertahankan sistemnya.
Disamping mewarisi tradisi Islam yang
dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di Indonesia, pada masa selanjutnya
juga dikembangkan oleh para kiai pesantren yang mengenyam pendidikan di tanah
suci. Mereka belajar langsung kepada para guru yang memegang genealogi (sanad)
keilmuan yang sampai kepada pendiri mazhab dan Rasulullah SAW. Misalnya
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang belajar di tanah suci kepada para guru
(masyayikh) yang memiliki sanad kepada para Imam pendiri mazhab baik dalam
bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.
Islam tradisi yang diajarkan oleh para kiai
ini berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di awal abad ke-20, ketika beberapa
tokoh agama yang pernah menjadi santri di tanah suci mulai kenal dengan gerakan
pembaharuan Islam, dan selanjutnya membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran
pembaharuan tersebut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah
Islam tradisi yang mengajarkan paham Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai
ritual dan ajaran yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Islam digugat.
Muncul istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak sekali ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di masyarakat, baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik, misalnya yang terjadi di Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres Islam di Yogyakarta sebagai persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan Ulama yang berpegang teguh kepada ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang akan mengirim delegasi ke Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda. Hal ini terjadi ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.
Dari sinilah kemudian para kiai dan ulama
yang memegang teguh ajaran Islam Aswaja bersepakat membangun gerakan
mempertahankan ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan tersebut bisa berjalan
efektif, maka para kiai mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Nahdlatul
Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir dari proses pembangunan organisasi
yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar (gerakan pemikiran), kemudian
dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan para saudagar).
Disamping sebagai respon dari mulai
digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian organisasi ini juga sebagai respon
gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak terjadi. Hampir semua
kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi mendirikan organisasi.
Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi ini adalah sebagai
alat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Karena itu dapat dikatakan jika pendirian
organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah sebagai wadah gerakan penganut
Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon gerakan kaum puritan yang mulai
menggugat keberadaan Islam tradisi yang dijalankan oleh penganut Aswaja.
Sedangkan di sisi lain sebagai wadah gerakan dalam melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda.
Sayap Gerakan Aswaja
Sebagai sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di atas, gerakan Aswaja membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan. Organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan pendidikan dan pengembangan ekonomi.
Dari sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama
merupakan sayap gerakan Aswaja dalam bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap
gerakan dalam sosial-budaya, Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar
individu dan kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya,
Nahdlatul Ulama mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan
kelompok profesi.
Dalam perjalanannya, di awal masa pergerakan
kemerdekaan, hampir semua gerakan masyarakat yang memiliki latar belakang
ideologi yang beragam membangun sayap organisasi politik untuk menyuarakan
aspirasi politik dan sebagai persiapan pemilihan umum pertama. Hal ini menekan
gerakan Aswaja untuk turut membangun organisasi politik. Karena itu, gerakan
Aswaja juga turut membuat organisasi sayap politik, dan sayap politik yang
digunakan adalah sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul
Ulama menjadi sayap sosial-budaya, sekaligus sebagai sayap politik gerakan
Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun 1955.
Kondisi ini terjadi sampai pada Pemilu
pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena pada pemilu selanjutnya di masa
Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang diterapkan Orde Baru tersebut,
Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki sayap politik tersendiri, karena
PPP menjadi sayap politik bagi berbagai aliran dalam Islam. Kebijakan fusi
tersebut mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam korporatisme negara yang
menerapkan azas tunggal.
Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan
ketika menjadi bagian dari PPP, Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan.
Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama secara tegas menyatakan kembali ke
Khittah 1926, dengan konsekuensi harus keluar dari gerakan politik. Ini berarti
Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi salah satu bagian dari partai politik
manapun.
Setelah mengumandangkan gerakan kembali ke
Khittah 1926, Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat
sipil (civil society) yang sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa
dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi
masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit
melawan tirani Orde Baru.
Lima tahun setelah Nahdlatul Ulama menyatakan
kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya membangun sayap ekonomi gerakan Aswaja.
Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil menggandeng grup bisnis besar milik
William Soerjadjaja. Grup bisnis ini memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama
ini adalah didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR
akan didirikan sampai 2000 buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini
tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak
kerjasama mengalami kalah kliring dan dilikuidasi oleh pemerintah.
Setelah Suharto tumbang dan Indonesia masuk
dalam masa reformasi, euforia politik terjadi di mana-mana. Pada masa ini
gerakan Aswaja kembali mendirikan organisasi sayap politik. Hal ini setelah
banyaknya desakan yang kuat kepada PBNU dari daerah untuk mendirikan partai
politik. Desakan tersebut disambut oleh PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena
dikhawatirkan melanggar Khittah 1926. Namun karena desakan yang cukup kuat,
akhirnya PBNU membentuk panitia persiapan pendirian sayap politik, dan
selanjutnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai sayap
politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun pada masa-masa selanjutnya ternyata
sayap politik ini mengalami berbagai persoalan internal, yang berimplikasi
salah satunya adalah pada pola hubungan diantar sayap gerakan Aswaja yang lain
(NU). Disamping itu, juga mulai menguatnya kembali unsur-unsur politik lama
yang pernah bersinggungan dengan orang-orang NU.
Dari semua uraian di atas ada beberapa yang
perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan positioning sayap-sayap
gerakan Aswaja. Sayap gerakan tersebut harus menempati tempat yang telah ditentukan
sesuai dengan dimensi yang menjadi ruang geraknya. Namun sayap-sayap gerakan
tersebut akan bisa bertemu di wilayah gerak yang sama. Wilayah gerak tersebut
adalah dalam proses pengorganisasian, dimana semua sayap akan melakukan jika
ingin betul-betul melayani semua anggota atau warga yang menjadi bagian dari
gerakan Aswaja.
* Wakil Sekretaris PCNU Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar