Jumat, 18 Mei 2012

Gus Dur: Memahami Islam dan Tantangan Modernisasi


Memahami Islam dan Tantangan Modernisasi

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Banyak cara dapat digunakan dalam memahami agama Islam melalui sejarahnya yang panjang, lebih dari empat belas abad lamanya. Kita harus dapat memahaminya dengan tepat, untuk dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan kesimpulan yang dapat berakibat sangat berat bagi kaum Muslimin pada umumnya. Ambil sebagai contoh, tragedi gedung WTC di New York 11 September 2001. Tindak kekerasan yang ditimpakan atas diri Osama bin Laden, yang belum pernah dibuktikan melalui pengadilan manapun, telah menimbulkan citra di banyak negara bahwa para teroris saat ini “menguasai” dunia Islam. Bahkan lebih jauh, banyak orang di sejumlah negara menggangap Islam adalah agama terorisme, minimal Islam membenarkan penggunaan kekerasan. Ini tentu adalah tuduhan yang tidak benar, tetapi itu dipercayai banyak orang. Dan kalau yang percaya itu adalah seorang presiden, seperti Presiden Bush dari sebuah negara adi kuasa, dalam hal ini Amerika Serikat maka dapat dibayangkan betapa dahsyat akibatnya bagi kaum Muslimin.


Salah satu diantaranya adalah kesulitan bagi kaum Muslimin dari berbagai negara untuk memasuki Amerika Serikat, apalagi jika orang itu menggunakan nama berbahasa Arab. Ditambah, kalau orang yang bersangkutan bernama 3 orang Nabi, Muhammad Ismail Daud, walaupun dipakai seorang keturunan Tionghoa bermata sipit dan beragama Konghucu, jelas akan ditolak permintaannya untuk memperoleh visa memasuki negara tersebut. Ini belum lagi hal-hal lain, seperti wakil Perdana Menteri Malaysia, yang harus menanggalkan sepatu di sebuah lapangan terbang A.S, ketika melewati pemeriksaan security (keamanan). Hingga hari inipun, lebih setahun setelah terjadinya peristiwa tragis itu, kaum Muslimin masih menghadapi kesulitan-kesulitan itu.


Penulis sendiri pun mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Ketika diwawancarai oleh seorang penulis Amerika Serikat, penulis menyatakan bahwa ada kerancuan dalam sikap publik A.S terhadap kaum Muslimin hingga menggangap semua kaum Muslimin adalah teroris, karena itu harus menerima perlakuan tertentu sebagai teroris. Bukankah ini juga sebuah terorisme dari negeri itu? Ternyata dalam buku “ Bush on War” dimuat kutipan sepenggal saja, yaitu ucapan penulis bahwa bangsa Amerika Serikat adalah negara terorisme. Untunglah CIA (Central Intelegence Agency) di Amerika Serikat, melalui seorang direkturnya segera melakukan penelitian ulang tentang hal itu dengan bertanya apa lengkapnya ucapan penulis. Penulis menjawab dengan sejujurnya, ketika digambarkan di atas. Itupun penulis tidak tahu, apakah keterangan itu dipercaya atau tidak oleh pihak-pihak yang bersangkutan di negeri Paman Sam.



****


Untuk mencegah kesalahpahaman tersebut, pengetahuan mereka tentang agama Islam harus benar-benar mendalam, atau paling tidak kita mempercayai pandangan sejumlah pakar ke-Islam-an. Salah satu diantaranya, kita harus memahami benar bahwa hidup kaum Muslimin tidak dapat diterangkan hanya dengan menggunakan ajaran-ajaran formal Islam saja, namun juga harus digunakan hasil-hasil “kajian kawasan Islam” (Islamic Area Study’s). Penulis pernah mengajukan kepada Rektor Universitas PBB di Tokyo, perlunya didirikan 6 buah pusat kajian kawasan Islam tersebut. Yaitu Islam di masyarakat Afrika Hitam, masyarakat Turko-Persia-Afgan, di masyarakat Afrika utara dan jazirah Arab, di masyarakat Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India, Sri Lanka), masyarakat Asia Tenggara (ada 7 negara) dan minoritas muslim di negara berindustri maju.


Dalam mempelajari berbagai masyarakat muslim itu, kita juga harus mengetahui bahwa secara umum kaum Muslimin selalu membedakan antara dua buah pendekatan: pengetahuan tentang capaian masyarakat Islam secara kultural (budaya) dan capaian secara kelembagaan (institusional). Dari masa ke masa kaum Muslimin memberikan tekanan berbeda atas kedua pendekatan itu, sesuai dengan kebutuhan di masing-masing kawasan. Yang ideal, kalau dilakukan pendekatan berimbang atas kedua macam capaian tersebut. Tekanan pada capaian kultural saja, seperti di lakukan NU sejak lahir, akan menunjukan betapa berantakannya organisasi tersebut. Tetapi tekanan pada capaian institusional saja, -seperti yang dilakukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)- juga berakibat fatal dan hanya memenuhi ambisi-ambisi pribadi belaka.


Mencapai keseimbangan antara kedua capaian itu dalam pendekatan yang dilakukan kaum Muslimin dalam sebuah masyarakat, akan menunjukan hasil optimal secara teoritik. Walaupun “menggeliatnya” kaum Muslimin di negeri ini dalam beberapa dasawarsa tahun belakangan ini, sudah membawa hasil tersendiri. Bayangkan jika dalam pendekatan yang diambil untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi kaum Muslimin dalam berbagai bidang, ada keseimbangan antara kedua capaian tersebut. Kita sendiri sebenarnya sering kali menggunakan “temuan-temuan” orang lain yang tidak tepat untuk kita gunakan. Karenanya kita perlukan pendekatan masalah berdasarkan pengetahuan mendalam atas diri kita sendiri. Kepemimpinan politik umat harus diarahkan kepada penciptaan kondisi tersebut., bukan untuk kepentingan golongan sendiri. Kepentingan golongan atau kelompok memang harus diperjuangkan, tetapi tidak boleh merusak kepentingan bersama yang lebih besar.



****


Dari sekian banyak hal yang harus diperhatikan dalam memahami Islam, ada beberapa hal yang sangat penting. Umpamanya saja perbedaan antara berbagai kawasan kaum muslimin. Islam di Asia Tenggara, umpamanya, sudah terbiasa dengan adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Sedangkan di kawasan Timur-Tengah tidak demikian halnya. Bandingkan ini, di Indonesia ketua Palang Merah Indonesia (PMI) dipilih langsung oleh masyarakat, sedangkan di Mesir ditunjuk presiden. Hal lain misalnya, terlihat pada perbedaan di tiap kelompok masyarakat Islam tentang status wanita dan pembagian warisan. Belum lagi jika kita berbicara mengenai kaum Muslimin dimanapun berada dalam menghadapi tantangan masyarakat modern.


Aspek lain yang tidak boleh dilupakan adalah perbedaan responsi terhadap perkembangan zaman, antar masyarakat kawasan yang saling berbeda. Di banyak kawasan, kaum Muslimin meninggalkan baik secara harfiah maupun dalam sikap hidup mereka, perbudakan yang semula memang disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad S.A.W. Tetapi di beberapa kawasan, kaum Muslimin justru masih mempraktekan perbudakan. Juga kaum Muslimin sudah menggunakan berbagai bentuk sangsi dengan hukum ‘sekuler” atas pelanggaran-pelanggaran, tapi masihada juga yang memberlakukan hukuman potong tangan untuk pelanggaran-pelanggaran yang sama. Ini berarti terjadi perbedaan respon terhadap “berbagai tantangan modernisasi” yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini.


Jelas dari uraian diatas, bahwa Islam adalah agama yang berhubungan sangat erat dengan sejarah. Karenanya, jika kita hanya menggunakan versi-versi yang bersifat ajaran formal belaka, maka kita akan ditinggalkan masyarakat. Kita harus pandai memanfaatkan pendekatan formal maupun non-formal itu, jika Islam diinginkan maupun menjawab tantangan-tantangan tersebut. Wilfred Cantwell Smith, dalam salah satu tulisannya, menunjukkan perbedaan pengertian antara ajaran Islam dan ajaran Kristen. Orang Islam, menerima Al-Qur’an dan Hadist sebagai dua buah revelasi (wahyu) yang agak berbeda tingkatannya, sedangkan kaum Kristiani tidak memberlakukan kitab suci mereka sedemikian mutlak. Sebabnya karena Kitab Suci Injil adalah kumpulan “rekaman” para Rasul atas ucapan dan tindakan Yesus Kristus. Sedangkan bagi kaum Muslimin kedua sumber itu memang benar-benar berasal dari Tuhan; satu langsung dari-nya dan satu lagi melalui Nabi Muhammad SAW. Kita harus sanggup memahami itu semua, hal yang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 1 Oktober 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar